Gubernur Sulut Bantah Terima Suap
Tersangka kasus dugaan memberikan keterangan palsu dalam sidang mega korupsi e-KTP, Miryam S Haryani menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kamis (27/4), lembaga antirasuah melaporkan daftar pencarian orang (DPO) atas nama Miryam kepada Polri. Mereka meminta Polri membantu mencari dan menangkap mantan anggota komisi II DPR tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, instansinya sudah berulang kali memanggil Miryam untuk dimintai keterangan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, perempuan yang juga berstatus sebagai saksi dalam sidang megakorupsi e-KTP itu tidak kunjung hadir.
Terakhir, dia malah menyampaikan surat gugatan praperadilan kepada KPK Selasa (25/4). “Jadi, KPK sudah memasukan (Miryam) ke dalam DPO,” ungkap dia, kemarin.
Pria yang akrab dipanggil Febri itu menjelaskan, KPK tidak sembarangan mencatat Miryam dalam data DPO. Menurut dia, itu sesuai aturan undang-undang. Aturan itu pula yang menjadi dasar KPK meminta bantuan Polri untuk mencari dan menangkap Miryam.
“Jika penangkangkapan sudah dilakukan, maka itu (Miryam) diserahkan ke KPK,” pinta mantan peneliti sekaligus aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sebelum Miryam menjadi buronan KPK, instansi tersebut sudah berupaya memanggil politisi Partai Hanura itu untuk dimintai keterangan. Tidak kurang dua kali KPK memanggil Miryam sebagai tersangka kasus dugaan memberikan keterangan palsu dalam sidang e-KTP.
“Kami sebelumnya sudah memberikan kesempatan kepada MHS (Miryam) untuk dipanggil secara patuh,” ungkap Febri. Yakni pada Kamis (13/4) dan Selasa (18/4). Namun, Miryam tidak hadir.
Melalui kuasa hukumnya, Aga Khan Abduh Miryam meminta pemanggilan dan pemeriksaan ditunda sampai Rabu (26/4). Namun, sehari sebelumnya Aga malah menyerahkan surat gugatan praperadilan atas penetapan kliennya sebagai tersangka kasus dugaan memberikan keterangan palsu dalam sidang e-KTP.
“Bahkan sampai hari ini (kemarin), kami belum menerima kedatangan tersangka MHS,” terang dia.
KPK juga sudah menggeledah kediaman tempat tinggal Miryam di bilangan Tanjung Barat tiga hari lalu (25/4). Namun, dalam penggeledahan itu penyidik tidak bertemu dengan Miryam.
“Tentu saja jika pada saat itu ada MSH, kami lakukan tindakan-tindakan penyidikan pada saat itu,” beber Febri. Keterangan Miryam sebagai tersangka kasus dugaan memberikan keterangan palsu dalam sidang e-KTP penting bagi KPK.
Karena itu, sambung Febri, KPK merasa perlu menerbitkan surat DPO atas nama Miryam. “Kemudian menyerahkan kepada pihak kepolisian,” ucap dia. KPK pun meminta bantuan masyarakat untuk turut menginformasikan apabila mengetahui keberadaan Miryam. “Dapat melaporkan ke kantor kepolisian yang terdekat karena saat ini kami mengirimkan surat DPO tersebut kepada Kapolri,” terangnya.
Meski Miryam sudah mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangka yang dia terima dari KPK, Febri menegaskan bahwa itu tidak lantas menghentikan proses penyidikan yang tengah berlangsung.
“KPK yakin praperadilan tidak akan menghalangi kegiatan–kegiatan diproses penyidikan,” tegas dia. KPK pun siap menghadapi gugatan praperadilan Miryam yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Selain menetapkan Miryam sebagai DPO, KPK juga sudah mencegah Miryam bepergian ke luar negeri. “Sudah dicekal,” imbuh Febri. Lembaga yang berkantor di Gedung Merah Putih itu memastikan bahwa Miryam masih berada di Indonesia. Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Agung Sampurno menyebutkan, permintaan pencegahaan atas nama Miryam disampaikan KPK Senin (24/4). “Beraku enam bulan ke depan,” ujarnya.
Selaras dengan keterangan Febri, data Ditjen Imigrasi juga menyatakan Miryam masih berada di Indonesia. Namun demikian, mereka tidak dapat mengungkap secara rinci lokasi pasti Miryam berada.
“Data perlintasan merupakan materi penyidikan sehingga tidak bisa di share,” jelas pria yang akrab dipanggil Agung itu. Dia pun meminta semua pihak menghormati proses dan kerja yang tengah dilakukan penyidik KPK.
Sementara itu, pihak Interpol menyatakan belum mengetahui adanya permintaan bantuan dari KPK untuk mencari Miryam. “Saya belum terima suratnya, dan kebetulan memang sedang berada di Jogjakarta,” ujar Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Brigjen Naufal Yahya saat dihubungi kemarin.
Meskipun demikian, Naufal memastikan pihaknya siap untuk mam-back up KPK mencari keberadaan Miryam. Terutama, bila memang dia berada di luar negeri pada saat penetapan DPO itu terjadi. “Kalau kita dimintai itu, kami akan bantu,” lanjutnya. dia akan mengecek dahulu bagaimana rincian permintaan KPK tersebut.
Terpisah, kemarin sore tim kuasa hukum Miryam menggelar konferensi pers terkait status DPO politikus Partai Hanura itu. Pengacara Miryam, Aga Khan, mempertanyakan status DPO yang disematkan kepada kliennya. “Kami tidak pernah diberitahu oleh KPK,” ujarnya.
Dia juga memastikan Miryam masih berada di Indonesia, tidak ke luar negeri. Hanya saja, Aga enggan mengungkapkan di mana Miryam berada saat ini. “Kalau klien kami dipanggil untuk pemeriksaan sebagai saksi, akan kami hadirkan. Namun, bila dipanggil sebagai tersangka, tunggu dulu,” lanjutnya.
Hal itu tidak lepas dari upaya hukum yang saat ini sedang ditempuh oleh Miryam. Dia sedang mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan kesaksian palsu. Gugatan praperadilan itu akan disidangkan 8 Mei mendatang. Aga juga akan melayangkan surat protes ke KPK atas penetapan DPO tersebut.
Olly Bantah Terima Dana e-KTP
Di sisi lain, Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Olly Dandokambey dan kemenakan Ketua DPR Setya Novanto sekaligus mantan Direktur Utama (Dirut) PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi, kemarin (27/4), dihadirkan KPK dalam sidang lanjutan e-KTP. Keduanya dihadirkan lantaran turut muncul dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Ketika proyek e-KTP bergulir, Olly menjabat sebagai wakil ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR sekaligus anggota komisi XI DPR. Dalam surat dakwaan JPU KPK, politisi PDIP itu menerima aliran dana USD 1,2 juta.
Sementara itu, PT Murakabi Sejahtera adalah salah satu perusahaan yang turut serta dalam tender proyek tersebut. Bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irvanto membentuk Konsorsium Murakabi Sejahtera.
Namun Olly membantah dakwaan tersebut. “Tidak pernah (menerima uang),” kata dia ketika ditanya oleh JPU KPK Wawan Yunarwanto. Jawaban serupa dia sampaikan ketika kuasa hukum terdakwa kembali bertanya surat dakwaan yang menyeret namanya. Tidak hanya membantah surat dakwaan JPU KPK berkaitan aliran dana proyek e-KTP kepada dirinya, pria yang menjabat Gubernur Sulut sejak Februrai 2016 itu menyatakan tidak mengenal Andi Narogong.
Olly menyebutkan bahwa dirinya mengetahui sosok Andi Narogong pasca KPK mengungkap penyidikan kasus tersebut kepada publik. “Saya baru lihat saat ada kasus. Saat (Andi Narogong) ditahan (KPK),” ungkapnya.
Sebelumnya dia tidak pernah berhubungan dengan Andi Narogong. Lebih dari itu, pria kelaharin Manado tersebut menyebutkan, tidak pernah bersentuhan langsung dengan proyek e-KTP. Sebab, itu bukan tugasnya. Baik di Banggar maupun Komisi XI DPR.
Sesuai ketentuan yang berlaku, Banggar memang mengesahkan seluruh anggaran yang sudah dibahas pemerintah bersama DPR. Termasuk di antaranya anggaran untuk proyek e-KTP yang digarap oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Namun, kata Olly, dia tidak ikut membahas. Ketika pengesahan berlangsung, dirinya juga tidak memeriksa satu per satu. “Kami tidak berhak mengubah. Itu melanggar UU,” kata dia.
Tapi, pria yang kini berusia 55 tahun itu mengakui bahwa kerap kali ada pihak tertentu yang berupaya meraup keuntung ketika pembahasan anggaran berlangsung.
“Di dalam kebijakan kami pasti ada orang yang memanfaatkan,” ungkap Olly. “Pengalaman saya di DPR dan Banggar, percaloan itu pasti ada. Tapi, kami mana mau tahu,” tambah dia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.