Cari Suasana Beda, Meningkat karena Medsos
Sejak beberapa tahun belakangan, tren buka puasa bersama di kafe, restoran maupun hotel tengah menjamur di Kota Padang. Banyak alasan tren ini terus meningkat setiap tahun. Salah satunya, masyarakat ingin mengganti suasana dan tak repot memasak.
Seperti yang disampaikan Yetti Marnis. Wanita 46 tahun ini setidaknya mengagendakan sekali acara berbuka bersama suami dan kedua anaknya. Untuk berbuka puasa di luar, ia harus memilih dengan selektif tempat berbuka puasa terlebih dahulu. Memikirkan selera suami dan kedua anak-anaknya.
“Suami saya kurang suka makanan kafe, jadi kami berbuka puasa pasti di restoran atau rumah makan seperti dengan menu yang sama seperti di rumah,” tutur Yetti kepada Padang Ekspres, Selasa (30/5).
Dalam satu bulan berpuasa, sedikitnya satu kali pasti mengadakan buka puasa di luar bersama keluarga atau teman. Berbuka puasa baginya tidak untuk merayakan sesuatu, namun mengganti suasana saja.
Harus diakui Yetti, saat berbuka puasa di luar, shalat Tarawih memang tertinggal. Namun untuk shalat Magrib, Yetti mengatakan tidak boleh ditinggalkan mengingat di tempat ia dan keluarga berbuka puasa pasti disediakan ruang untuk shalat.
Selain Yetti, juga ada Sisca Fatma Yani, gadis 23 tahun. Ia mengatakan juga sering mengadakan berbuka bersama dengan keluarganya di kafe atau restoran.
Dalam mengatur jadwal berbuka puasa di luar, Sisca harus merencanakan dari jauh hari. Terlebih dahulu mencari tempat berbuka yang sesuai selera orangtuanya. Kafe atau restoran yang menyediakan tempat shalat juga menjadi pertimbangan Sisca.
“Tempat untuk shalat itu harus ada, dan kedua bersih. Kadang ada tempat berbuka puasa yang bagus tapi minim fasilitas untuk shalat,” cerita gadis berlesung pipi ini, Selasa (30/5).
Dalam satu bulan, sedikitnya dua kali gadis ini mengadakan berbuka puasa di luar bersama keluarga. Biasanya untuk mengganti suasana saja. Untuk biaya, Sisca biasanya tidak mematok harga, momen berbuka puasa yang terpenting untuknya.
Berbuka puasa di luar tidak hanya bersama keluarga, bersama teman-teman pun juga sering dilakukan. Seperti Desvika Pertiwi, mahasiswi tingkat akhir Universitas Bung Hatta (UBH) ini mengatakan, biasanya ia lebih senang berbuka puasa bersama teman-teman di kafe dari pada restoran atau rumah makan.
“Kafe lebih enak buat nongkrong,” tuturnya sambil tertawa. Berbuka puasa di luar bersama teman, ini harus dijadwalkan jauh-jauh hari, bahkan sebelum masuknya bulan puasa. Mengingat jadwal buka puasa yang cukup banyak membuatnya harus mengatur jadwal agar tak bentrok dengan jadwal lainnya.
Untuk urusan harga, gadis berkerudung ini mengaku kadang memikirkannya. Mengingat anggaran yang harus dibagi dengan jadwal buka puasa lainnya seperti reunian sekolah dan lainnya.
Berbuka puasa di luar rumah dikatakan Vika, panggilan akrab Desvika Pertiwi tak mengurangi momen berbuka puasa di rumah bersama keluarga. Gadis kelahiran tahun 1993 ini menuturkan, dalam sebulan berpuasa ia tak sepenuhnya berbuka puasa di luar.
“Berbuka bersama keluarga itu pasti. Seminggu pertama puasa pasti dengan keluarga,” katanya.
Biasanya, Vika menyediakan waktu minggu kedua dan ketiga untuk mengadakan buka puasa bersama teman-teman. Untuk shalat, Vika mengaku Tarawih yang tertinggal, sedangkan shalat Magrib dapat dilaksanakan di mushala di kafe. Anak bungsu ini bercerita, kadang orangtuanya protes apabila ia dalam satu minggu berbuka puasa dalam kurun waktu yang berdekatan.
“Jadi harus atur jadwal, misalnya hari ini buka puasa di luar, dua hari ke depan buka puasa di rumah. Hari ketiganya baru buka puasa di luar lagi,” katanyanya sambil tertawa.
Selain Vika, juga ada Fina Rizki Ananda. Bidan ini mengaku lebih sering berbuka puasa di luar dari pada di rumah. Ini dikarenakan jadwal kerja di klinik yang kadang sampai malam. “Buka puasa kadang di klinik, kadang di luar. Ganti suasana,” tutur warga Siteba ini.
Fina mengaku, jam kerja yang membuatnya harus pasrah untuk tidak berbuka puasa di rumah. Kadang gadis 23 tahun ini merindukan berbuka puasa di rumah bersama keluarganya.
Untuk urusan suasana, Fina memastikan pasti berbeda. Bercengkrama dengan keluarga menunggu azan Magrib menjadi momen yang berharga baginya.
Saat berbuka puasa di luar, Fina mengaku lebih memilih rumah makan ketimbang kafe.
“Buka puasa di kafe paling sedikit Rp 35 ribu. Aku lebih suka buka puasa di tempat-tempat seperti pecal ayam. Rasanya enak dan juga harga tidak mahal,” katanya sambil tertawa.
Namun tak menutup kemungkinan gadis bertahi lalat ini berbuka puasa di kafe apabila reuni bersama teman-teman dekat saat sekolah dulu. “Sekali-sekali gak masalah lah ya,” ucapnya lagi.
Sebagai umat muslim, Fina pasti melaksanakan shalat Magrib. Untuk shalat tarawih diakui sulung dua bersaudara ini sering lalai. Tetapi tak menuntup kemungkinan ia shalat tarawih sendiri rumah.
Menyikapi fenomena ini, pengamat sosial dari Universitas Andalas, Alfan Miko mengakui sudah menjadi pemandangan biasa setiap tahunnya selama bulan Ramadhan.
Namun fenomena ini terus meningkat sejak berkembangnya media sosial seperti WhatsApp dan Facebook. Ditunjang berkembangnya teknologi semakin membuat fenomena tersebut makin hits.
“Buka puasa bersama itu tujuannya lebih kepada memperkuat ikatan emosional dalam lingkungan pergaulan tertentu. Seperti teman sekolah, seprofesi atau hobi. Dalam bentuk lain hal tersebut juga dikatakan sebagai reuni atau ajang titik kumpul tentunya,” terangnya.
Untuk meningkatkan ekonomi hal tersebut bukanlah sebagai dongkrakan besar tetapi hanya gejala sesaat karena bukan merupakan pengembangan model ekonomi terbaru. Hanya bersifat sementara yang tidak bertahan lama.
Ada pun aspek yang ditimbulkan dari fenomena tersebut adalah aspek ekonomi yang dapat memberikan pemasukan bagi masyarakat yang bersifat sementara. Seperti adanya pasar pabukoan.
Aspek sosial, adanya fenomena berkumpul bersama dengan lingkungan yang bukan keluarga intim. Seperti berkumpul bersama teman satu sekolah yang telah menjadi alumni. Ini akan menjalin komunikasi yang sudah lama tidak terjalin dan mempererat tali silahturahmi.
Dampak lain adalah terbaginya waktu untuk keluarga yang mungkin hanya dapat dirasakan pada momentum Ramadhan serta ibadah yang hanya dapat dilakukan selama Ramadhan menjadi terabaikan.
Pengamat ekonomi Universitas Andalas, Rahmi Fahmi. Dia melihat tren ini belum dapat diklasifikasikan sebagai terobosan dalam peningkatan ekonomi saat ini.
Karena hanya bersifat sementara dan perlu kajian dalam atau sensus untuk mengetahui seberapa jauh dampak ekonomi yang dihasilkan dari fenomena tersebut. Apakah mampu bertahan lama atau hanya sebuah seremonial Ramadhan.
Namun yang jelas, disaat itu memang terjadi pertumbuhan ekonomi. Lihat saja, di sejumlah kafe, restoran, bahkan di hotel saat berbuka puasa memang ramai.
Dia mengatakan kafe, restoran ataupun hotel yang menyedikan layanan dan paket buka bersama selama Ramadhan harus memperhatikan fasilitas ibadah sebagai sarana wajib. “Karena jarak antara waktu berbuka seorang muslim dengan waktu shalat Magrib yang singkat,” tutur Rektor Universitas Dharma Andalas ini. (*)
LOGIN untuk mengomentari.