Jakarta, BP–Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai usulan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Usulan serupa juga sudah diusulkan PP Muhammadiyah saat menerima kunjungan pimpinan MPR RI pada 16 Desember 2019.
“Ruang dialektika mengenai Utusan Golongan ataupun berbagai hal kebangsaan lainnya harus dibuka lebar, tak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya. Karena itulah, pimpinan MPR RI giat mendatangi berbagai organisasi kemasyarakatan. Khususnya yang berbasis keagamaan, seperti PBNU, PP Muhammadiyah, dan PGI. Sehingga kelak kita bisa tarik benang merah kesimpulan. Terbukanya ruang dialektika, disisi lain akan semakin berkontribusi bagi proses pencerdasan kehidupan berbangsa,” ujar Bamsoet usai Silaturahim Kebangsaan MPR RI dengan PGI, di kantor pusat PGI, Jakarta, Rabu (22/1).
Sementara, pengurus PGI yang hadir antara lain Ketua Umum Pdt. Gomar Gultom, Ketua Olly Dondokambey, Sekretaris Umum Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty, Ketua PGI Banten Pdt Elkarya Telaumbanua, Sekretaris Umum PGI DKI Jakarta Pdt. Ferry Simanjuntak, Wakil Bendahara Umum PGI DKI Jakarta Pdt. Franky Rompas, dan perwakilan dari berbagai sinode gereja.
Menurut Bamsoet, dengan silaturahim kebangsaan ke berbagai Ormas, MPR RI bisa memahami isi hati terdalam dan pandangan Ormas terhadap berbagai masalah kebangsaan. Khususnya, terkait rencana MPR RI melakukan perubahan terbatas UUD NRI 1945 untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
“Sidang Tahunan PGI yang akan dilaksanakan pada 3-6 Februari 2020 di Lombok, NTB, salah satu agendanya akan membahas secara mendalam, terstruktur dan sistematis mengenai PPHN. Pandangan PGI tersebut akan melengkapi berbagai pandangan yang sudah diterima MPR RI dari berbagai ormas keagamaan lainnya. Seperti PBNU dan PP Muhammadiyah yang sudah terlebih dahulu menyatakan dukungannya kepada MPR RI untuk menghadirkan PPHN,” tutur Bamsoet.
Dia yakin, kelak MPR RI melakukan perubahan terbatas UUD NRI 1945, pembahasannya tidak akan melebar diluar PPHN. Ketatnya aturan melakukan perubahan terbatas akan menjadi tembok, sekaligus mengunci kemungkinan munculnya penumpang gelap yang akan mengusik ideologi Pancasila dan semangat Bhineka Tunggal Ika.
“Proses panjang mengamandemen UUD NRI 1945 diatur dalam Pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Dimulai dari diusulkan secara resmi minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR RI, sekitar 237 dari 711 anggota (Ayat 1). Usulan perubahan pasal-pasal tersebut diajukan secara tertulis disertai penjelasan mengapa harus diubah (Ayat 2). Usulan merubah pasal-pasal tersebut ditetapkan dalam sidang MPR RI yang dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR RI, yakni 474 dari 711 anggota (Ayat 3),” papar Bamsoet.
Ditambahkan, di ayat 4 dijelaskan bahwa putusan mengubah pasal-pasal UUD NRI 1945 tersebut bisa dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu anggota MPR RI, sekitar 357 dari 711 anggota. Jadi prosesnya sangat panjang dan terbuka.
“Mengubah UUD NRI 1945 tidak sama dengan mengubah undang-undang yang bisa tiba-tiba memasukan perubahan diluar daftar inventaris masalah. Mengubah UUD NRI 1945 tidak bisa mendadak. Tidak bisa juga diam-diam lalu tiba-tiba sudah diputuskan diubah. Perubahannya harus sangat terbuka, melibatkan seluruh komponen rakyat, sekaligus melewati perdebatan dan dialektika yang mendalam. Sehingga perubahan yang dilakukan bisa menjawab persoalan bangsa, bukan justru menambah persoalan baru,” pungkas Bamsoet.#duk
in Nasional