Bagaimanapun, tim ekonomi kabinet kita saat ini memang dihuni para Keynesian, sebuah kepercayaan yang meya kini bahwa belanja besar pemerintah akan mampu mendongkrak kelesuan ekonomi.
Maka sesungguhnya tak perlu heran apabila defisit APBNP 2017 kini melesat menjadi 2,92 persen dari kue ekonomi nasional. Jumlah nya mencapai Rp 397,24 triliun. Artinya, dibutuhkan utang sebanyak itu untuk memenuhi gairah belanja pemerintah.
Citra pribadi Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang begitu prudent dalam mengelola APBN pun kini dipertaruhkan oleh keyakinan ekonominya sendiri. Para ekonom sesungguhnya juga amat mafhum atas jalan yang ditempuh pe merintah. Satu-satunya cara adalah meng genjot belanja produktif. Dan itu semua perlu uang.
Celakanya, uangnya tidak bisa diambilkan semua dari ekonomi (melalui pajak). Sudah dilakukan beraneka cara pun, penerimaan pajak tidak pernah memenuhi target. Tidak pernah. Maka satu-satunya jalan adalah menambah utang dari pasar fi nansial.
Apakah pasar bisa menyerap kebutuhan itu semua? Itu adalah persoalan lain. Pada titik itu, mengandalkan dana mengendap seperti dana haji agar bisa digunakan untuk membeli sukuk (ngutangi pemerintah) menjadi menemukan permaklumannya.
Tidak ada yang salah dengan yang dilakukan pemerintah. Setidaknya jika didasarkan pada keyakinan ekonomi yang dianut. Sayang, teoriteori itu tidak dipraktikkan di ruang hampa.
Ada faktor kegaduhan-kegaduhan yang sayangnya diciptakan pemerintah sendiri. Maka jangan heran apabila kini terjadi anomali. Makroekonomi membaik, tetapi sejumlah indikator di sektor riil masih lesu. Ekonomi triwulan kedua sudah bisa tumbuh 5,01 persen, lebih tinggi dari tahun lalu yang belum bisa menembus 5 persen. Namun, sektor properti masih tiarap. Penjualan motor turun. Penjualan mobil masih lesu. Konsumsi semen masih drop.
Kita hanya bisa berharap langkah agresif pemerintah dengan menambah utang lebih banyak tersebut diikuti pemanfaatan secara efektif. (*)
LOGIN untuk mengomentari.