in

UU Cipta Kerja Akomodasi Perubahan ke Digital

>> Jumlah penduduk yang besar malah berpotensi jadi bencana demografi, bukan bonus.

>> Di Mahkamah Konstitusi memungkinkan semua pihak beradu rasionalitas dan argumen.

JAKARTA – Pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus law Cipta Kerja dinilai sudah mengakomodasi perubahan ke depan, terutama dalam upaya menyejahterakan masyarakat yang berkeadilan melalui penciptaan lapangan kerja.

Akomodatifnya produk legislasi tersebut ka­rena dengan kemajuan teknologi digital di satu sisi membuat proses kerja lebih efisien, namun di sisi lain akan mendegradasi banyak tenaga kerja. Sebab itu, dibutuhkan penambahan in­vestasi untuk memperluas lapangan kerja sam­bil meningkatkan kualitas pekerja.

Politisi Partai Demokrat, Ferdinand Huta­haean, dalam keterangannya di Jakarta, Ming­gu (11/10), mengatakan UU itu sebenarnya mengatur semua kelompok masyarakat Indo­nesia, bukan hanya buruh atau pengusaha saja dengan tujuan menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

UU Cipta Kerja, papar Ferdinand, juga men­jadi dasar perubahan besar bagi bangsa, sehing­ga menjadi kontroversi dan polemik bagi me­reka yang tidak siap berubah.

“Saya memahami dan mengerti apa yang di­inginkan oleh buruh agar hak-haknya tidak ada yang berkurang dan situasi tetap dalam keada­an seperti sekarang tanpa ada perubahan. Saya pun meminta kepada pemerintah agar negara hadir mengambil alih, menanggung bila ada hak buruh yang dikurangi demi mencapai rasa ke­adilan antara buruh dan pelaku usaha,” katanya.

Regulasi tersebut, tambahnya, juga mem­perjuangkan pembukaan lapangan kerja bagi 10 juta jiwa lebih pengangguran, dan mem­persiapkan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang sedang menuntut ilmu saat ini dan akan lulus beberapa waktu ke depan.

“Jika lapangan kerja tidak tersedia, mereka hanya akan jadi pengangguran baru bila tidak mampu membuka usaha sendiri. Jadi, bila ada angkatan kerja baru, pengangguran yang ikut-ikutan menolak UU ini, sama saja Anda me­nutup masa depan Anda,” kata Ferdinand.

Apalagi, pemerintah menargetkan pertum­buhan ekonomi yang tidak rendah dengan ter­ciptanya UU itu, supaya negara mampu memeli­hara 26,5 juta jiwa lebih orang miskin.

“Bagaimana pemerintah akan memelihara orang miskin jika pemerintah kita hambat me­lakukan upaya untuk itu? Ayolah berlaku adil, jangan lihat dari sudut kecil semata,” katanya.

Aturan, tambahnya, memang memberikan iklim usaha yang sehat bagi pengusaha agar bisa membuka lapangan kerja. “Jadi, salahnya di mana pengusaha dimudahkan? Bukankah tujuannya baik? tanya Ferdinand.

Bencana Demografi

Sementara itu, salah seorang profesor asal Indonesia yang meneliti Artificial Intelligence (AI) dan Robotic di Jepang, Pitoyo Hartono, di laman Facebook-nya mengecam aksi anarkisme saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Dia menilai tindakan tersebut disebabkan oleh ren­dahnya mutu intelegensia karena terbengka­lainya investasi pendidikan selama ini.

Dengan kemajuan teknologi, jelasnya, se­bagai ahli mereka sudah tahu apa yang bisa dilakukan dan yang tidak oleh AI dan robot da­lam lima tahun ke depan.

“Kalau dibiarkan dalam kondisi sekarang, mahasiswa/i seperti ini, dan juga sebagian be­sar buruh di Indonesia akan dengan mudah tergantikan oleh AI dan robot,” kata Pitoyo.

Dengan mutu pendidikan seperti itu, dia me­ngatakan jangan berkhayal tentang bonus de­mografi. Karena sebaliknya, Indonesia malah terancam menghadapi bencana demografi.

Sementara itu, Anggota DPD, Jimly Asshid­diqie, mengatakan jalan terbaik yang bisa di­lakukan buruh maupun elemen masyarakat lainnya yang menolak UU tersebut adalah me­nempuh jalur hukum dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo, pe­kan lalu. Sebab, di sana mereka bisa adu ra­sionalitas dan argumentasi. n ers/ola/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Update Covid-19 Muba: Nihil Penambahan Kasus

Paus Fransiskus: Tarik Investasi dari Perusahaan yang Abai pada Lingkungan