Stabilitas Kurs – The Fed Kini Kuasai 3,5 Triliun Dollar AS Surat Utang Pemerintah AS
JAKARTA – Para pelaku ekonomi diminta mewaspadai potensi ketatnya likuiditas valuta asing (valas) ke depan. Sejumlah faktor global meliputi kebijakan perdagangan dan normalisasi moneter di Amerika Serikat (AS) serta geopolitik dikhawatirkan dapat mengganggu lalu lintas valas ke dalam negeri. Di ranah internasional, rencana kebijakan proteksi perdagangan oleh Presiden AS, Donald Trump, terhadap sejumlah negara rekanan berisiko memicu ketatnya likuiditas valas.
Selain itu, faktor lainnya adalah pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral AS (The Fed) melalui kenaikan kembali bunga acuan (FFR). Dari kawasan regional, ketegangan politik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang dibantu sekutunya AS juga berpotensi memengaruhi stabilitas perekonomian di kawasan Asia.
“Semua faktor eksternal tersebut berpotensi menyebabkan permintaan valas di pasar keuangan meningkat sehingga dollar AS berpotensi menguat terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah,” kata Direktur Utama BNI Syariah, Abdullah Firman Wibowo, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Sentimen dari global dan regional itu, jelas Firman, yang menjadi pertimbangan Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan suku bunga acuan BI-7 day Repurchase Rate.
Sebelumnya, Asisten Gubernur Kepala Departemen Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo, dalam kesempatan terpisah mengatakan The Fed saat ini memegang 3,5 triliun dollar AS surat utang pemerintah AS atau US Treasury Notes dan sekitar satu triliun dollar AS dalam bentuk mortgage- backed securities. Kebijakan normalisasi atau penurunan besaran neraca The Fed, katanya, akan dilakukan dengan melepas surat berharga yang mereka pegang sehingga likuiditas akan tersedot kembali kepada bank sentral.
Dengan demikian, terjadi pengurangan likuiditas valas secara global bergantung berapa besar jumlah yang dilepas. “Ini tentunya secara bertahap akan dilepas satu per satu. Mekanisme dan strateginya bagaimana itu belum kami dengar dari The Fed,” kata Dody. Dampak normalisasi terhadap negara berkembang adalah kemungkinan penguatan dollar AS akibat likuiditas valas global yang terserap ke sistem moneter Bank Sentral AS.
Kendati demikian, masih akan ada penempatan dana di negara berkembang dalam konteks investasi portofolio. “Sepanjang fundamentalnya dijaga, tetap akan ada aliran dana ke negara berkembang. Indonesia masih cukup diminati dalam konteks return yang diperoleh investor,” katanya.
Rupiah Terapresiasi
Sebelumnya, BI menyatakan kurs rupiah selama triwulan I-2017 menguat sebesar 1,09 persen (year to date) ke level 13.326 per dollar AS. Penguatan rupiah ditopang stabilitas makroekonomi, persepsi positif prospek perekonomian, serta risiko global yang berkurang.
“Penguatan rupiah didukung aliran modal asing yang terus meningkat sejalan prospek investasi pada aset domestik yang menarik bagi investor asing, serta membaiknya faktor global,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara, dalam keterangannya.
bud/E-10