JAKARTA, METRO–Keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa-Bali menjalani tes PCR mulai memicu polemik. Banyak pihak yang berkeberatan dengan aturan tersebut karena alasan biaya. Namun, tidak sedikit yang mendukung kebijakan tersebut dengan alasan kesehatan dan keselamatan.
Seperti diketahui, tarif swab antigen untuk Jawa-Bali ditetapkan maksimal Rp 99 ribu. Untuk daerah di luar Jawa-Bali, tarif maksimal Rp 109 ribu. Tarif tes PCR ditetapkan maksimal Rp 495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk area di luar Jawa-Bali.
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, kewajiban tes PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti bakal memberatkan. Konsumen enggan kembali memanfaatkan transportasi udara. “Dampaknya juga akan dirasakan dunia penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya kemarin (23/10).
Di sisi lain, kata dia, kebijakan itu kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya calon pengguna moda transportasi udara yang diwajibkan tes PCR. Pengguna moda transportasi lain masih diperkenankan memakai hasil swab antigen. Bahkan, ada yang hanya perlu menunjukkan bukti telah divaksin.
Selain itu, menurut dia, perubahan level PPKM menjadi level 2 dan 1 seharusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha. Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, syarat penerbangan semestinya cukup dengan melampirkan hasil swab antigen.
Karena itu, Agus mendesak kebijakan itu dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis. Bukan sebagai alat skrining perjalanan. “Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab, tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” jelasnya.
Namun, bila masih bersikukuh menjadikan tes PCR sebagai kewajiban penumpang pesawat, pemerintah perlu menekan biaya tes seminimal-minimalnya. Dengan demikian, konsumen bisa menjalani tes PCR dengan harga terjangkau. “Jangan sampai menimbulkan praduga di masyarakat bahwa kebijakan ini kental aura bisnisnya,” katanya.
Berbeda dengan YLKI, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena justru mendukung penuh langkah pemerintah tersebut. Menurut dia, syarat itu diterapkan sebagai langkah untuk mencegah penularan Covid-19. “Lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik mencegah potensi munculnya klaster daripada baru diobati,” tutur politikus Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut.
Dia mengakui, kasus Covid-19 di Indonesia mulai melandai. Meski begitu, masih ada potensi penularan Covid-19 di ruang publik. Belum lagi, risiko munculnya penularan gelombang ketiga yang kini meluluhlantakkan sejumlah negara.
Karena itu, kata dia, syarat tes PCR bisa digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan penularan Covid-19 di ruang publik. Tidak terkecuali di dalam pesawat terbang. Selain itu, Melki berharap pemerintah melakukan pemeriksaan Covid-19 secara rutin di ruang-ruang publik lain. Bukan hanya di sarana transportasi massal, tetapi juga di sekolah-sekolah yang kini mulai menyelenggarakan PTM terbatas, pusat-pusat perdagangan, atau perkantoran. Mengingat, saat ini aktivitas masyarakat berangsur pulih.
“Mesti ada upaya untuk kita secara periodik tes acak. Misalnya, seminggu sekali atau dua kali di kantor. Di sekolah, ada swab antigen, acak gitu,” tuturnya.
Pada bagian lain, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) kembali mengeluarkan aturan baru terkait dengan sistem kerja aparatur sipil negara (ASN) pada masa pandemi. Sistem kerja tersebut tercantum dalam SE Menteri PAN-RB 24/2021 tentang Perubahan atas SE Menteri PAN-RB 23/2021 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai ASN Selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19. “Perubahan dilakukan setelah melihat status persebaran Covid-19 di tanah air saat ini,” ujar Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo.
Berbeda dengan sebelumnya, kini sistem kerja ASN di wilayah PPKM level 1 juga mulai diatur. Untuk sektor nonesensial di Jawa dan Bali, misalnya. Di wilayah PPKM level 1, 75 persen pegawai sudah bisa masuk kantor. Kemudian, di wilayah PPKM level 2, sebanyak 50 persen karyawan WFO dan level 3 (25 persen WFO). Seluruhnya hanya diperuntukkan pegawai yang sudah divaksin Covid-19. “Sementara, di wilayah PPKM level 4, pegawai masih 100 persen work from home (WFH),” katanya.
Kemudian, untuk luar Jawa dan Bali, di wilayah yang masuk PPKM level 1 dan 2 dengan kabupaten atau kota berstatus zona hijau, kuning, dan oranye, WFO diberlakukan bagi 50 persen pegawai. Di kabupaten atau kota berstatus zona merah, 25 persen karyawan WFO.
Selanjutnya, untuk PPKM level 3 sebanyak 50 persen WFO dan PPKM level 4 (25 persen WFO). Seluruhnya diprioritaskan bagi pegawai yang telah divaksin. Lalu, jika ditemukan klaster Covid-19, kantor wajib ditutup selama lima hari.
Beda lagi dengan kantor pemerintahan sektor esensial. Untuk wilayah Jawa dan Bali yang masuk PPKM level 1, 100 persen pegawai WFO. Sementara, untuk PPKM level 2, sebanyak 75 persen pegawai WFO serta PPKM level 3 dan 4 maksimal 50 persen karyawan WFO.
Untuk di luar Jawa dan Bali di wilayah PPKM level 3, 100 persen pegawai WFO. Kemudian, yang berada di PPKM level 4 WFO maksimal 50 persen. Sementara, untuk kantor pemerintahan sektor kritikal, baik Jawa dan Bali maupun di luar wilayah tersebut, pegawai bisa masuk kantor secara penuh. (jpg)