PELAKOR merupakan akronim dari ‘perebut laki orang’, menjadi kosakata paling populer di media sosial sepanjang 2017, Bermula dari unggahan di Instagram, kosakata ini kemudian semakin dikenal sejak beredar video anak Sarita Harris (Shafa Harris) yang melabrak Jennifer Dunn.
Dalam KBBI (kamu Besar Bahasa Indonesia) dasar kata perebut adalah kata kerja re.but yang artinya “bermacam-macam perampokan atau perampasan”, dalam bentuk kata kerja lain Me.re.but mempunyai arti “mengambil sesuatu dengan kekerasan atau dengan paksa”. ‘Pe’ dalam kata kerja “perebut” adalah promina, fungsinya adalah sebagai penunjuk pelaku.
sehingga “pelakor” memiliki arti “pelaku orang yang mengambil sesuatu dengan kekerasan atau dengan paksa”.
Sedangkan Pebinor merupakan akronim dari ‘perebut bini orang’, mempunyai arti yang hampir sama dengan uraian diatas hanya dibedakan dalam subyek dan obyek saja, yakni pelaku di pelakor adalah perempuan di pebinor pelakunya adalah laki-laki
Pelakor/pebinor dapat di bagi menjadi 3 klasifikasi, yakni :
1. Pelakor hanya menjadi sebatas hubungan nafsu tanpa ikatan perkawinan
pidananya : tertangkap basah berhubungan suami istri tanpa ikatan perkawinan
2.Pelakor dalam ikatan perkawinan namun tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan
pidananya : Nikah Siri
3.Pelakor dalam ikatan perkawinan tanpa izin istri pertama
Pidananya : Nikah resmi di KUA dengan memalsukan status masih bujang atau duda, padahal masih dalam ikatan perkawinan
Apabila dalam perkawinan (agama Islam) maka perempuan yang telah sah dicatatkan di KUA menjadi istri kedua tidak dapat dikategorikan sebagai “pelakor”, karena dilindungi haknya oleh peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Melihat pada aturan pidana yang termuat dalam Kitab Undag-Undang Hukum Pidana (KUHPid) terdapat ancaman pidana atas klasifikasi 1 dan 2 pelakor/pebinor diatas, yakni :
Pasal 284 KUHPid
(1) Terancam dipenjara semaksimal mungkin sembilan bulan:
1.a. Pria yang sudah menikah dengan hantu (overspel) diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. Seorang wanita yang telah menikahi kawin, tapi memang begitu diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2.a. Namun, seorang pria yang berpartisipasi dalam melakukan tindakan itu dia tahu bahwa orang yang bersalah telah menikah;
b. seorang wanita yang sudah menikah berpartisipasi dalam tindakan tersebut, Meskipun diketahui bahwa orang yang tidak bersalah telah menikah dan Pasal 27 BW berlaku baginya.
Pada artikel itu unsur subjektif adalah “pria / wanita menikah”, dan “peserta pria / wanita”.
Sedangkan unsur obyektif atau perbuatan pidananya adalah “melakukan gendak (overspel)” yang tertuang dalam pasal 27 BW/Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi “dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya seorang laki sebagai suaminya”.
unsur lainnya adalah gendak (overspel), dalam KBBI gen.dak mempunyai arti perempuan yang disukai (diajak bermukah); perempuan simpanan.
Bagi yang beragama Islam maka unsur pasal 27 BW/Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak dipakai namun berlaku UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Namun tidak serta merta ancaman pidana tersebut berlaku karena pada ayat 2 (dua) mengatur khusus bahwa pidana tersebut merupakan delik aduan absolut/mutlak, yang bunyinya
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Sedangkan pelakor ataupun pebinor yang masuk dalam klasifikasi ketiga dari uraian diatas maka akan dapat ancaman pidana berlapis, yakni :
Pasal 263
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Dan ;
Pasal 279 KUHpid
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Perkawinan dalam Agama Islam, pria ataupun wanita dinyatakan sah dan diakui oleh negara harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Indonesia pada dasarnya tidak melarang dilaksanakan poligami (istri lebih dari satu orang) bagi yang ber agama Islam, namun apabila hendak menikah lebih dari satu istri (tidak mengatur suami lebih dari satu) harus se izin istri pertama seperti yang tertera di pasal 5 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Masyarakat yang hendak menikah lagi di KUA terkadang tidak mau repot ataupun ada niatan yang buruk dengan membuat surat palsu atau memalsukan identitas pribadinya, dengan maksud agar mudah dalam melangsungkan dan mencatatkan pernikahannya lagi, akibatnya maksud yang baik tersebut dapat mengakibatkan dampak yang buruk baginya yakni dapat dipidana.
Perbuatan berdasarkan klasifikasi tersebutlah yang dimaksudkan sebagai pelakor/pebinor yang dapat diancam pidana, sehingga berhati-hati lah jangan sampai tergelincir, karena “niat yang baik haruslah dibarengi dengan cara yang benar”.
kamu juga bisa menulis karyamu di vebma,dibaca jutaan pengunjung,dan bisa menghasilkan juta rupiah setiap bulannya,