Konflik perebutan Kota Jerusalem antara Palestina dan Israel memiliki sejarah panjang. Sebenarnya, dukungan internasional lebih sering berpihak kepada Palestina. Tapi, Israel dengan dukungan Amerika Serikat selalu bergeming. Mereka menyerobot kota suci tiga agama itu.
Pada 29 November 1947, PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang intinya menetapkan Jerusalem sebagai kota internasional. Lalu, pada 1967, PBB menetapkan Resolusi 242 yang salah satunya memerintah Israel untuk pergi dari wilayah pendudukan. Yakni, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur.
Setahun kemudian, pada 1968, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan Resolusi 252 agar Israel membatalkan semua aktivitas di Jerusalem. Pada 1971, Resolusi 298 PBB menyatakan, tindakan Israel untuk mengubah status Jerusalem seperti penyitaan tanah adalah hal yang melanggar hukum.
Masih ada beberapa resolusi lagi yang dikeluarkan PBB terkait dengan aktivitas Israel di wilayah pendudukan. Tapi, kenyataannya, Israel tidak sepenuhnya tunduk pada resolusi tersebut.
Pada 1993, Amerika Serikat tampil sebagai mediator antara Palestina dan Israel dalam kesepakatan Oslo. Hasilnya, status Jerusalem harus diputuskan bersama kedua pihak dengan duduk bersama. Tidak ada keputusan sepihak. Maka, tindakan Presiden AS Donald Trump saat ini dengan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel itu jelas menyalahi kesepakatan yang dimediasi sendiri oleh Negara Paman Sam tersebut.
Perundingan Palestina dengan Israel bukannya berhenti di situ saja. Pada 2013 hingga April 2014, selama sembilan bulan, perundingan kembali dilakukan. Namun, perundingan berakhir tanpa kesepakatan karena Israel menawarkan empat kantong wilayah bagi penduduk Palestina di Tepi Barat. Sedangkan Palestina meminta kesepakatan memberikan hak pulang bagi 4 juta warganya yang terusir selama konflik. Selama ini mereka mengungsi ke Lebanon, Syria dan Jordania.
Tentu, Israel menolak tawaran tersebut. Meskipun PBB juga mengharuskan hak pulang mereka itu ke kampung halaman yang sekarang dikuasai Israel. Bila penduduk sebanyak itu pulang, tentu warga Israel akan kembali menjadi minoritas. Dikhawatirkan, pada saat pemilu, orang-orang Israel akan kalah.
Lantas, apa yang membuat Trump berani mengambil langkah yang jelas-jelas bisa memancing kemarahan umat muslim itu? Diduga kuat, AS mendapat dukungan dari Arab Saudi. Khususnya dari putra mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman.
Pada Oktober lalu, dalam sebuah pertemuan di Riyadh, Arab Saudi, Presiden Palestina Mahmoud Abbas diundang bersamaan dengan Mohammed Dahlan yang merupakan rival politik Mahmoud Abbas di Palestina. Pada saat itu, ada gagasan bahwa kemerdekaan Palestina akan diberikan dengan wilayah yang sangat terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Hal menarik lain terkait dengan manuver AS di Timur Tengah adalah kedatangan Jared Kushner, penasihat politik presiden AS yang sekaligus menantu Donald Trump. Sejak Agustus lalu, Kushner beberapa kali berkunjung ke Riyadh dalam kaitan proposal perdamaian antara Palestina dan Israel.
Namun, proposal perdamaian itu akhirnya ditolak karena tidak menguntungkan Palestina. Saat Mahmoud Abbas kembali ke Palestina, dia pun membersihkan orang-orang Mohammed Dahlan dari pemerintahan.
Meski ada indikasi Saudi mendukung manuver AS, bisa jadi secara resmi mereka akan membantah dukungan tersebut. Sebab, isu Jerusalem memang begitu sensitif, terutama bagi masyarakat muslim dalam negeri. Karena itu, kalau terang-terangan mendukung manuver AS, bisa jadi kerajaan akan kehilangan legitimasinya di mata rakyat Saudi.
Namun, Saudi sebenarnya juga punya kepentingan untuk mendapatkan dukungan dari Israel. Sebab, Saudi sedang berebut pengaruh untuk melawan Iran. Hal itu tak mungkin dilakukan kalau isu Palestina terkatung-katung tidak jelas. Sementara itu, tidak mungkin Jerusalem Timur diberikan kepada Palestina. Sebab, posisi Israel sangat kuat dan Jerusalem menjadi identitas kaum Yahudi.
Nah, pada posisi itulah Trump salah perhitungan. Meski sudah mendapatkan dukungan dari Saudi, ternyata hampir seluruh dunia marah. Sebab, meski secara ekonomi kuat dan menjadi pelayan dua kota suci—Mekkah dan Medinah—sebagai kultur budaya dan negara Islam, Saudi tidak mempunyai posisi yang kuat di dalam Islam. Yang kuat justru Mesir.
Sementara itu, bagi Palestina, Jerusalem merupakan sumber ekonomi yang bisa menyokong negeri tersebut. Devisa bisa didapatkan dari turis yang datang ke Masjidil Aqsa. Bagi umat Islam, peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad menjadi bukti vitalnya keberadaan Masjidil Aqsa. Karena itu, wajar kalau sekarang ini umat Islam kecewa dan marah atas sikap Trump. Semua tidak rela kota suci itu berada di bawah kontrol negara Yahudi.
Nah, bisa jadi tindakan Trump tersebut malah akan menyatukan negara-negara Timur Tengah yang selama ini kerap berseberangan dalam mendukung AS. Yang masuk dalam sekutu AS adalah Arab Saudi, Jordania, dan Mesir. Musuh AS adalah Iran, Irak dan Syria. Sedangkan negara seperti Aljazair, Maroko dan Libya relatif netral terhadap AS.
Namun, yang perlu dikhawatirkan, tindakan Trump tersebut bisa memicu perang terbuka dengan skala luas. Israel sebelah selatan berbatasan dengan Jalur Gaza yang didominasi Hamas yang terkenal dengan gerakan intifadahnya. Sedangkan di utara Israel ada Lebanon yang dihuni milisi bersenjata Hizbullah yang pro-Iran dan mendukung Palestina.
Dengan kata lain, Trump sebenarnya tidak hanya memprovokasi milisi di sekitar Jerusalem, tapi juga seluruh umat Islam. Sebab, isu Jerusalem bisa sangat sensitif. Kawasan Timur Tengah, mulai Maroko paling barat sampai Pakistan paling timur, Kazakhstan di utara dan Yaman di selatan, dipastikan bakal mendidih karena sikap arogan Trump. (*)
LOGIN untuk mengomentari.