Beberapa waktu lalu (31/8) saat di Bursa Efek Indonesia, Presiden Jokowi mempertanyakan sikap wait and see pebisnis. Padahal, pemerintah telah mempermudah aturan investasi, antara lain, melalui bunga dan inflasi yang rendah, tingkat kepercayaan ke pemerintah yang tinggi, raihan peringkat layak investasi alias investment grade dari semua lembaga pemeringkat dunia, serta tersedianya infrastruktur.
Terkait dengan bunga dan inflasi rendah, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate (BI 7-DRR) menjadi 4,50 persen yang telah bertahan sejak Oktober 2016. Penggunaan instrumen BI 7-DRR diharapkan bisa segera menurunkan bunga funding yang kemudian berimbas pada penurunan bunga lending.
Penyesuaian bunga funding melalui mekanisme penurunan bunga instrumen operasi moneter tenor 12 bulan mencapai 40 basis poin. Hal tersebut menjadi acuan bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menetapkan batas atas (capping) suku bunga deposito. Capping bunga deposito untuk bank umum berdasar kelompok usaha (BUKU) IV menjadi 7,1 persen dari sebelumnya 7,5 persen. Sementara itu, BUKU III capping bunga deposito turun menjadi 7,35 persen dari sebelumnya 7,75 persen. Setelah suku bunga deposito dapat ditekan sedemikian rupa, bank akan menghitung ulang komposisi penyesuaian (penurunan) bunga lending.
Intermediasi Perbankan
Fungsi utama perbankan adalah intermediasi keuangan. Yakni, proses pembelian surplus dana dari sektor usaha, pemerintah maupun rumah tangga, untuk disalurkan kepada unit ekonomi yang defisit. BI menjadikan kebijakan moneter sebagai transmisi dalam mendorong intermediasi perbankan. Diharapkan, fungsi intermediasi berjalan efektif, yakni loan funding ratio (LFR) bank bisa menyentuh batas atas 92 persen. Pebisnis diharapkan bisa memanfaatkan penyaluran dana itu untuk menggerakkan industri korporasi, menengah, dan kecil.
Selain masalah keran intermediasi perbankan, sebenarnya pemerintah juga terus mengimbau perbankan agar menghadirkan suku bunga pinjaman yang rendah. Perbankan diharapkan memberikan suku bunga pinjaman di bawah level 10 persen (single-digit rate) dari posisi level dua digit (10–12 persen).
Saat ini pengusaha berdalih bahwa seretnya gerak dunia usaha dalam meningkatkan kapasitas ekspansi usahanya disebabkan mahalnya biaya dana (cost of fund). Pemicunya, bunga lending perbankan yang mahal. Kalaupun dunia usaha tetap mengeksekusi dana yang mahal itu, ujungnya dikompensasikan dengan mengalihkan (pass-through) terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Alhasil, biaya produksi naik sehingga harga barang naik dan daya beli konsumen tertekan.
Ketidaksiapan Pebisnis
Sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh, perbankan (terutama bank BUMN) telah berupaya memenuhi keinginan pemerintah untuk menetapkan suku bunga pinjaman di bawah doubledigit. Itu bisa dilihat dari program kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga pinjaman 9 persen. Bahkan, untuk beberapa debitor kredibel dengan kriteria tertentu (as-is) di segmen korporasi, menengah, dan kecil, perbankan (terutama bank BUMN) sudah memberlakukan fasilitas bunga pinjaman single-digit (7,0-9,5 persen).
Namun seolah, lambatnya ekspansi kredit bank umum per Juni 2017, yang tumbuh hanya 7,6 persen atau Rp 4.526,43 triliun (year-on-year) disebabkan mahalnya suku bunga pinjaman. Karena itu, pebisnis tidak mampu menyerap penyaluran dana yang ada. Namun, jika kita potret lebih detail, akan terlihat jelas bahwa pertumbuhan di BUKU IV sudah mencapai 21,53 persen (Juni 2016 sebesar Rp 1.862,88 triliun dan Juni 2017 sebesar Rp 2.263,54 triliun), sedangkan BUKU I, II, dan III mengalami kontraksi masing-masing sebesar 32,26 persen; 6,20 persen; dan 2,79 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa ekspansi kredit untuk BUKU IV sangat agresif (lebih dari 200 persen), melebihi target ekspansi kredit 2017 yang dipatok BI sebesar 8,0–10,0 persen. Sementara itu, BUKU I, II, dan III masih mengalami kontraksi dan diharapkan penurunan bunga acuan BI 7-DRR menjadi cambuk motivasi agar penyaluran kredit mereka dapat tumbuh.
Melihat kondisi tersebut, yang paling urgen dibahas adalah kesiapan, serta kemauan pebisnis dalam mengembangkan dan memulai usaha dengan memanfaatkan kelebihan likuiditas perbankan. Pebisnis harus lebih kreatif, serta sigap mengambil setiap kesempatan dan momentum pertumbuhan ekonomi. Pebisnis harus tahan banting dan tidak mudah menyerah. Ditengarai, sikap pebisnis masih wait and see melihat perkembangan lebih lanjut ekonomi domestik maupun global.
Karena itu, di tengah ketidakpastian, para pebisnis menempatkan dana pihak ketiga (DPK) di bank hingga menembus angka Rp 5 kuadriliun. Yakni, DPK tabungan maupun deposito per Juni 2017 mencapai Rp 5.012,45 triliun (tumbuh 11,18 persen) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 4.508,45 triliun.
Dukungan BI 7-DRR
Agar transmisi moneter berjalan efektif, BI 7-DRR masih membutuhkan dukungan. Bentuk dukungan itu, pertama, menjaga inflasi di level rendah. Kedua, konsisten mendorong efisiensi sektor perbankan. Ketiga, kepastian regulasi. Salah satunya yang terbaru adalah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi XVI terkait dengan sistem perizinan, konsistensi, dan kemudahan berusaha, serta implementasi pelaksanaan di lapangan yang lebih baik melalui monitoring satuan tugas (satgas).
Output yang diharapkan adalah penerapan sistem perizinan terintegrasi (single submission), regulasi yang konsisten, sehingga mempermudah investasi di dalam negeri. Kondisi itulah yang membuat pengusaha konfiden dalam menjalankan usaha, serta bisa memanfaatkan secara optimal intermediasi perbankan.
Semoga ke depan kebijakan penurunan suku bunga bisa lebih mendorong intermediasi perbankan, sehingga menarik hasrat pebisnis dalam berinvestasi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.