Setelah sepuluh bulan bertahan, Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan 25 basis poin men jadi 4,50 persen. Sebelumnya, BI 7-days reverse reporate itu ber tahan di posisi 4,75 persen sejak Oktober 2016. Tentu, kebijakan bank sentral itu menjadi kabar gembira bagi pelaku usaha, termasuk para debitor kredit konsumsi yang selama ini tercekik bunga tinggi.
Di tengah stagnasi perekonomian nasional, kalangan dunia usaha memang berharap suku bunga dikoreksi. Setidaknya, hal tersebut diharapkan bisa menggairahkan sektor riil.
Selanjutnaya, kapan penurunan itu diikuti suku bunga kredit yang rata-rata masih di atas 10 persen? Sulit memastikannya. Dari beberapa pernyataan petinggi perbankan, mereka rata-rata meminta waktu untuk menurunkan suku bunga kredit. Sejumlah banker menyebutkan, setidaknya dibutuhkan waktu tiga bulan untuk menurunkan suku bunga kredit.
Mengapa begitu lama? Pertimbangannya macam-macam. Katanya, penentuan suku bunga kredit tak hanya dari biaya dana. Ada hal lain seperti overhead cost, margin, risiko kredit macet, dan kondisi likuiditas. Selain itu, kondisi dan proyeksi makroekonomi ke depan. Misalnya, pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Jika melihat kondisi perekonomian yang lesu darah, koreksi bunga kredit memang harus segera dilakukan. Tidak perlu menunggu tiga bulan lagi. Sebab, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi tinggi. Itu bisa diperoleh bila didukung suku bunga kredit rendah. Dana murah membuat aktivitas sektor swasta dan masyarakat lebih optimal dalam menopang pertumbuhan, mendukung gerak pemerintah yang kurang lincah lantaran keterbatasan anggaran.
Karena itu, ketika bank sentral sudah proaktif melonggarkan kebija kan moneter, pemerintah mesti mendukungnya dengan langkah lebih aktif. Misalnya, mendorong bank pelat merah mulai menurunkan suku bunga kredit. Langkah itu diharapkan diikuti bank-bank swasta lain. Jika sinergi kebijakan berjalan optimal, perekonomian diyakini bisa melaju lebih kencang. (*)
LOGIN untuk mengomentari.