Sudah Masuk Usulan Pemekaran 292 Nagari
Kucuran dana desa untuk Sumbar masih senjang dibanding provinsi lainnya. Dana desa untuk Sumbar tahun 2017 sebesar Rp 700 miliar, dibagi untuk 880 nagari/desa. Sementara provinsi lain yang jumlah penduduknya lebih sedikit, justru mendapat kucuran dana desa hingga triliunan.
“Total penduduk Sumbar mencapai 5 juta jiwa, sementara dana desa yang diterima hanya kisaran Rp 700 miliar. Sedangkan provinsi Aceh, Bengkulu yang jumlah penduduknya lebih sedikit, menerima dana desa mencapai Rp 5 triliun lebih,” ungkap Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno dalam rapat koordinasi (Rakor) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Sumbar, di Hotel Pangeran Beach Hotel, Padang, kemarin (29/3).
Menurut Irwan, hal itu disebabkan jumlah desa provinsi tetangga itu lebih banyak. ”Padahal, besarnya dana desa yang diterima sangat menentukan percepatan pembangunan dan kesejahteraan,” jelasnya.
Untuk menyeimbangkan penerimaan kucuran dana desa dari pemerintah pusat antara Sumbar dengan provinsi lain, kata Irwan, pemekaran nagari di Sumbar juga diperlukan.
“Pemprov mengizinkan pemerintah daerah melakukan pemekaran nagarinya. Namun, sebelum berencana melakukan pemekaran, bupati/wali kota harus bermusyawarah dan bermufakat dengan tokoh adat dan nagari,” ucap Irwan.
Irwan meyakini, pemekaran ini tidak akan merusak keberadaan nagari sebagai lembaga adat. “Contohnya di Pesisir Selatan, nagari induk tetap, ditambah nagari baru untuk mengurus pemerintahan. Kerapatan Adat Nagari (KAN) tetap satu, sehingga fungsi adatnya tidak tergerus,” ujarnya.
Kepala Biro Pemerintahan Setprov Sumbar, Mardi mengatakan, saat ini pihaknya telah menerima usulan pemekaran nagari dari kabupaten dan kota sebanyak 292 nagari. Namun yang resmi mengajukan secara riil yakni Kabupaten Pasaman Barat, dengan jumlah pemekaran 72 nagari.
Untuk kabupaten tersebut sudah ada Peraturan Bupati Pasaman Barat untuk pembentukan nagari persiapan. “Saat ini, peraturan itu masih kita evaluasi. Kalau tidak ada masalah, langsung dibentuk nagari persiapan dan bupati bisa menunjuk Pj (penjabat) wali nagarinya,” ujar Mardi.
Nagari tak Bertuan
Di sisi lain, Gubernur menginstruksikan pemerintah kabupaten/kota segera membentuk tim penetapan dan penegasan batas desa/nagari. Pembentukan tim itu untuk memfasilitasi pemerintahan nagari/desa dalam menentukan tapal batas.
Penetapan dan penegasan batas desa/nagari merupakan amanah Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa. Permendagri ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum.
“Selama ini dari 1.130 desa/nagari di Sumbar, sudah terdapat batas berupa batas alam ditandai sungai, bukit, ataupun gunung. Tetapi, batas tersebut belum bisa dikatakan batas tegas antar-nagari/desa. Akibatnya, banyak desa/nagari yang sampai ini menjadi kawasan abu-abu atau tidak bertuan,” kata Irwan.
Ia menegaskan, terdapat satu desa/nagari yang berada di batas. Kadang-kadang tidak jelas masuk di kecamatan mana, kabupaten/kota mana sehingga penduduknya sering kesulitan mengurus administrasi kependudukan, bahkan tidak tersentuh bantuan.
“Untuk itu, kami meminta bupati/wali kota harus bergerak cepat menyelesaikan penegasan batasan tersebut. Jika pemimpin daerah cepat, otomatis dapat meminimalisir munculnya konflik antarmasyarakat di desa/nagari,” ungkap Irwan.
Mardi menambahkan, penetapan dan penegasan batas desa/nagari sepenuhnya kewenangan bupati/wali kota. “Kami di provinsi hanya memfasilitasi untuk memberikan pembinaan tenaga ahli dari kabupaten/kota yang nantinya bertugas menentukan batas,” sebutnya.
Ia menyebutkan, realisasi penegasan dan penetapan batas di lapangan harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, karena bisa memicu konflik. Penetapan titik koordinat harus benar-benar disepakati dua belah pihak (antarnagari, red) yang kemudian dituangkan dalam peta.
“Jika terjadi perselisihan, harus difasilitasi pihak kecamatan dan pemerintah kabupaten/kota,” tuturnya.
Sementara persoalan yang terjadi selama ini adalah ada sejumlah batas yang bertepatan berada di tanah ulayat masyarakat. Hal itu merupakan kendala bagi pemerintah dalam menentukan batas antar nagari/desa.
“Kalau perselisihan antardesa/nagari beda kecamatan atau kabupaten/kota, penyelesaiannya difasilitasi bupati/wali kota. Paling lambat perselisihan diselesaikan 6 bulan. Kalau tidak selesai juga, bupati/wali kota yang memutuskan melalui peraturan,” jelas Mardi.
Seperti diketahui, salah satu konflik tapal batas yang terjadi di Sumbar seperti konflik tapal batas antar-Kenagarian Kunangan Parik Rantang, Kecamatan Kamangbaru, Sijunjung dengan Jorong Kampungsurau, Nagari Gunungselasih, Kecamatan Pulaupunjung, Dharmasraya, pada Juli 2016 lalu.
Konflik serupa juga terjadi antara Pesisir Selatan dengan Mukomuko, Jambi. Konflik menahun tak kunjung tuntas ini sampai sekarang juga dipicu pemindahan tapal batas akibat peladangan berpindah-pindah.
Konflik tapal batas yang terjadi itu juga pernah menjadi perhatian serius pemerintah Pusat. Pada awal Agustus lalu, salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Letjen TNI (Purn) M Yusuf Kartanegara diinstruksikan turun ke Sumbar.
Kedatangannya ke Sumbar guna melakukan kajian dan pemahaman guna mengetahui lebih detail sejumlah konflik yang terjadi di Sumbar. Penetapan dan penegasan batas desa/nagari di Sumbar harus diperjelas dengan adanya regulasi yang mengikat.
Regulasi tersebut bisa berupa peraturan daerah atau peraturan bupati. Tidak jelasnya regulasi tersebut berpotensi memicu konflik antarmasyarakat nagari. Oleh sebab itu, cegah konflik, batas daerah harus dipertegas.
Bukan Solusi
Ketua Forwana (Forum Wali Nagari), Irmaizar menilai, pemekaran 292 nagari bukan lah solusi rendahnya alokasi dana desa di Sumbar. Melainkan, hal itu bisa mengganggu sistem adat nagari yang sudah dibentuk sejak lama.
“Hal itu, bisa juga mengganggu keharmonisan yang sudah berjalan dan kesiapan pemangku adat,” ujar Irmaizar ketika dihubungi Padang Ekspres, tadi malam (29/3)
Dia lebih sepakat merekomendasikan jorong di Sumbar menjadi desa dalam artian undang-undang. Dengan begitu, bisa memperbanyak alokasi dana desa di Sumbar.
“Kita dapat mengajukan ini dengan melengkapi persyaratannya kepada Mendagri. Tentunya, dilengkapi dengan data persyaratan 800 KK dan 4.000 jiwa sesuai UU,” tambahnya.
Kedua, lanjut Irmaizar, perlunya menerapkan kembali Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2014 soal dana desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Karena, penerapan PP 60/2014 bukan kepada pembagian rata setiap desa, tetapi kepada penilaian indikator jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan sesuai pasal 11 dan 12 PP 60/2014.
Sementara PP 22/2015 pengganti PP 60/2014, pembagian dana desa dibagi rata dengan hitungan 90 persen. Lalu, dibagi rata ke seluruh desa dan 10 persen sesuai indikator yang ditetapkan, akhirnya desa seperti di Papua yang penduduknya hanya 80 orang, mendapatkan Rp1 miliar kucuran dana desa.
“Jika kita merujuk kepada PP yang lama, maka pengalokasian dana desa diterima secara adil karena berdasarkan indikator penilaian. Sehingga untuk Sumbar sendiri, tidak perlu melakukan pemekaran nagari.
Sementara itu, Ketua LKAAM Sumbar, M Datuk Sayuti menyatakan bahwa dalam persoalan pemekaran nagari ini secara sisiologi dapat dianalogikan pemekaran ini terkait dengan komunitas manusia, hukum adat yang berlaku dan masyarakat hukum adat itu sendiri.
“Perkara ini sebenarnya dapat dianalogikan dengan pemecahan komunitas manusia. Hukum adat yang sudah berlaku dan masyarakat hukum adat, kita dapat menilai apakah pemimpin hari ini menginginkan pemecahan komunitas yang sudah ada, membuat komunitas baru, atau ingin mempertahankan yang sudah ada dan membuat pembaharuan. Kita bisa melihat hal tersebut dari kepentingannya,” ujarnya.
Di sisi lain, pengamat pemerintahan, Rusdi Lubis berpandangan pemekaran nagari bukan hanya soal bantuan dana desa yang minim dari pemerintah pusat, tetapi lebih kepada efektivitas penyelenggaraan nagari, agar proses pelayanan kepada masyarakat lebih mudah dicontrol dan kritik.
Seharusnya, ada pemisahan pemikiran bahwa seiring adanya penataan nagari dengan pemekaran, bisa merusak keadaan/tatanan masyarakat adat. Sepanjang perangkat nagari masih utuh, maka pemerintahan adat tetap dapat dipertahankan yang dipecah hanya proses administrasinya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.