JAKART (Berita) : Para petani di sejumlah sentra produksi padi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang saat ini sedang melakukan panen raya, mengeluhkan jatuhnya harga gabah dan absennya peran Bulog dalam menolong petani.
Ketua Umum DPN HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Fadli Zon, yang juga merupakan Wakil Ketua DPR RI, mendesak pemerintah agar segera meminta Bulog untuk proaktif menyerap gabah petani.
“Ini saatnya pemerintah berpihak pada petani. Bulog harus difungsikan sebagai lembaga penolong petani melalui kegiatan operasi pasar pembelian gabah petani pada tingkat harga keekonomian yang berlaku. Jangan biarkan harga gabah jatuh sehingga petani jadi kehilangan insentif dari pekerjaan yang ditekuninya.”
“Supaya itu bisa dilakukan, maka Inpres No. 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah harus segera diganti. Pemerintah harus segera mengganti konsep HPP (Harga Pembelian Pemerintah) menjadi kebijakan harga dasar (floor price). Sejauh ini kebijakan HPP telah membuat Bulog jadi tak memiliki keleluasaan untuk membeli gabah petani pada harga keekonomian yang berlaku.”
“Coba bayangkan, harga beras sudah melambung ke Rp 11 ribu hingga Rp 12 ribu/kg, tapi HPP gabah kering panen yang ditetapkan pemerintah masih ada di level Rp3.750/kg.
Sudah tiga tahun angka itu tak pernah direvisi. Sebagai pembanding, di beberapa tempat saat ini harga gabah kering panen (GKP) di pasar sudah mencapai Rp 5.500/kg. Dan menurut data IRRI yang saya pegang, pada 2016 ongkos yang dikeluarkan petani untuk menghasilkan satu kilogram gabah adalah sebesar Rp 4.079. Jadi, HPP adalah kebijakan yang membunuh petani secara diam-diam, karena harga jual ditetapkan di bawah BPP (Biaya Pokok Produksi).”
“Dengan kebijakan HPP, Bulog jadi tak bisa menyerap harga gabah petani jika harganya lebih dari Rp 3.750/kg. Sebab, bila Bulog memaksa untuk membeli gabah petani di atas HPP, maka Bulog bisa dianggap melanggar hukum atau dituduh melakukan tindak pidana korupsi.
Konsep HPP terbukti tidak mendukung upaya mensejahterakan petani! Ini produk kebijakan IMF 20 tahun lalu yang memaksa liberalisasi dan melucuti peran negara.” “Saya menduga, rendahnya daya serap Bulog atas gabah petani selama ini adalah karena belenggu Inpres No. 5/2015 tadi.
Tahun ini, misalnya, Bulog hanya menargetkan penyerapan gabah petani sebesar 2,7 juta ton. Padahal realisasi penyerapan gabah tahun 2015 dan 2016 saja angkanya mencapai 2,6 dan 2,9 juta ton. Gudang Bulog itu isinya kosong melompong, karena mereka tak bisa menyerap gabah petani.”
“Itu sebabnya HKTI meminta agar Pemerintah segera mencabut Inpres No. 5/2015. Ganti konsep HPP dengan konsep ‘floor price’ (harga dasar). HKTI mengusulkan agar harga dasar gabah ditetapkan di angka 120 persen dari Biaya Pokok Produksi.
Dengan kebijakan ini, petani dipastikan untung 20 persen jika menjual gabahnya ke Bulog. Di sisi lain, gudang Bulog juga dipastikan tak akan banyak menganggur, cadangan pangan kita bisa penuh, karena Bulog jadi bisa menyerap maksimal gabah petani.”
“Saat harga gabah naik melebihi Harga Dasar, Bulog diberikan instrumen Harga Pasar, di mana Bulog diberikan keleluasaan untuk membeli gabah hingga batas maksimal tertentu, misalnya Rp5.500/kg.
Dengan demikian, Bulog masih bisa bersaing membeli gabah petani saat harganya naik di atas Harga Dasar. Dua instrumen ini, Harga Dasar dan Harga Pasar, akan membuat Bulog jadi lebih lincah sebagai lembaga pengelola pangan.”
“Adanya jaminan harga di atas BPP juga akan membuat petani jadi lebih bergairah dengan profesinya, sehingga dalam jangka panjang produktivitas sektor pertanian kita diharapkan akan meningkat.”
“Sebelum Inpres No. 5/2015 dicabut oleh pemerintah, HKTI tetap meminta kepada Bulog untuk segera turun ke sentra-sentra produksi padi yang sedang panen raya dan membeli gabah petani pada harga HPP.
Sebab, saya mendapat informasi dari sejumlah pengurus HKTI di daerah, bahwa di beberapa daerah di Jawa Timur yang sedang panen, harga gabah ada yang anjlok di bawah Rp3.700. Bulog harus mengambil inisiatif, tak boleh hanya berdiam diri saja.(aya)