in

Dusun Sembilang Penjaga Tradisi Simbur Cahaya


Oleh : Mohamad Ali Direktur Yayasan Depati

Pengantar

Mengatur dan menjaga kelestarian alam telah tertuang didalam Undang Undang Simbur Cahaya Bab II pasal 15, aturan tertulis didalam Kitab Undang Undang Simbur Cahaya ini dipatuhi oleh masyarakat marga untuk tidak sembarangan menebang pohon tanpa seizin pasirah (Ngabehi). Pohonyang dilarang untuk ditebang antara lain pohon klutum, kulim dan tembesu. Selain itu ada ketentuan yang lain untuk tidak mengambil kulit pohon kerawan tanpa menebang pohonnya pasal 25 dan 26.

Dibagian lain dalam kitab Undang Undang Simbur Cahaya disebutkan pula bahwa, adanya ketentuan untuk memelihara ladang. Jika pembakaran untuk berladang menyebabkan kebun orang lain didekatnya ikut terbakar, maka dikenakan denda sebesar enam sampai dua belas ringgit, sekaligus wajib memberikan ganti rugi sesuai kesepakatan antara mereka.

Pemilik kerbau juga berkewajiban untuk meberikan ganti rugi apabila hewan ternaknya tersebut merusak kebun atau ladang milik orang lain pasal 20 dan 22. Begitu pula dalam hal memelihara sungai tidak diperkenankan membuang batang kayu yang telah ditebang dalam rangka membuka ladang kesungai. Untuk kasus ini, bagi pelanggarnya dikenakan denda sebesar satu sampai enam ringgit. Disebutkan pula adanya larangan nubai sungai (Menangkap ikan dengan cara mengunakan racun), juga ketentuan untuk menjaga jangan sampai lahan orang lain ikut terbakar pada saat seseorang membakar ladangnya, aturan menjaga hewan ternak, dan lainnya. Tidak diperkenankan memetik kapas sebelum benar-benar masak, dan kesemuanya diatur didalam Undang-Undang Simbur Cahaya, Bab II. Hal ini menunjukkan bahwa betapa peraturan-peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat secara terperinci dan kesemuanya demi kepentingan penduduk untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam didalam wilayah marga.

Hutan Larangan Marga
Sebelum ditetapkan menjadi taman nasional Sembilang, sembilang adalah bagian dari hutan larangan marga yang ada di dalam wilayah marga Sungsang, Selain sebagai hutan mangrove dan Lebak Berayun didalam hutan larangan marga Sungsang banyak terdapat beraneka jenis pohon dan binatang yang dilindungi, Hutan Larangan tersebut tidak dapat dimasuki ataupun diambil sesuatu didalamnya tanpa terkecuali kalau tidak ada izin dari pesirah Sungsang.

Seiring dengan perkembangan waktu marga yang ada di Sumsel dibubarkan lewat Sk Gubernur Dati I Sumatera Selatan no:142/KPTS/III/1983 tentang pembubaran Pemerintahan dan DPR marga.

Selanjutnya status hutan larangan marga Sungsang didasarkan pada rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui surat Gubernur No 522/5459/BAPPEDA-IV/1998, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76/Kpts-II/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Selatan tanggal 15 Maret 2001, yang didalamnya tercantum penunjukan kawasan Sembilang menjadi Taman Nasional. Kemudian ditindaklanjuti oleh Gubernur Provinsi Sumatera Selatan melalui Surat Gubernur No 522/5128/I tanggal 23 Oktober 2001 untuk meminta penetapan kawasan Taman Nasional Sembilang dengan luas 205.750 ha.
Berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Selatan Nomor 5 tahun 1994 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), kawasan seluas 205.750 ha yang ditunjuk sebagai Taman
Nasional ini merupakan penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa (SM) Terusan Dalam (29.250 ha), Hutan Suaka Alam (HSA) Sembilang seluas 113.173 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sungai Terusan Dalam seluas 45.500 ha dan kawasan perairan seluas 17.827 ha.

Penilaian potensi yang dilakukan oleh Ditjen Bangda Departemen Dalam Negeri, bekerjasama dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan tahun 1996/1997, juga menyimpulkan bahwa kawasan Sembilang memenuhi kriteria sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan bentuk Taman Nasional. Sehingga berdasarkan usulan, kajian dan rekomendasi tersebut, Kawasan Sembilang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan konservasi sebagai Taman Nasional, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret 2003, dengan luas 202.896.31 ha.

Dusun Sembilang
Dusun sembilang merupakan Pemukiman nelayan di Muara Sungai Sembilang, Pemukiman ini sudah ada sebelum marga Sungsang dibubarkan, pada awalnya, Dusun Sembilang hanya merupakan kilung atau bagan-bagan penangkapan ikan yang juga membuat ikan asin dan kecap udang. Keberadaan ikan dan udang yang melimpah di lepas pantai muara Sungai Sembilang membuat para nelayan berdatangan dari berbagai daerah lainnya seperti, Sungsang, Palembang, Jambi, bahkan dari Riau dan Jawa dan daerah lainnya.

Sebelum Menjadi Dusun sembilang, dusun Sembilang adalah bagian dari kawasan yang menjadi objek lelang perikanan didalam marga Sungsang proses lelang sendiri mereka namakan Tunggu Kumbang. Dusun Sembilang merupakan sebuah dusun yang secara administratif masuk kedalam wilayah pemerintahan Desa Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Letak wilayah Dusun Sembilang berada di Zona Kawasan Pemanfaatan Taman Nasional (TN) Berbak Sembilang dan aliran Sungai Sanjang, berada disekitar Selat Bangka.

Wilayah Dusun Sembilang merupakan kawasan enclave di dalam arel Taman Nasional (TN) Berbak-Sembilang. Masyarakat yang menghuni wilayah Sembilang adalah masyarakat asli yang berasal dari Marga Sungsang dimana mereka sudah datang dan menempati wilayah Sembilang sebelum ditetapkannya Sembilang mejadi sebuah kawasan Taman Nasional (TN) Sembilang pada tahun 2003.

Keberadaan masyarakat yang menempati wilayah Dusun Sembilang yang berada berbatasan langsung dengan kawasan TN Sembilang menjadi penting untuk turut menjaga kelestarian sumberdaya alam baik flora dan fauna yang terdapat disekitar kawasan Taman Nasional Sembilang serta dalam menjaga wilayah Taman Nasional dari ancaman kejadian kebakaran hutan dan lahan gambut.

Kebudayaan dan Tradisi didusun Sembilang

1.Sedekah Dusun KeBatu Buruk
Sedekah Dusun Kebatu Buruk adalah sebagai bentuk ucapan terima kasih dan rasa syukur masyarakat dusun sembilang kepada sang pencipta yang telah memberikan mereka rezeki berupa hasil laut yang berlimpah, yang mereka dapatkan selama satu tahun berjalan.
Batu Buruk sendiri adalah batu karang yang terletak dilaut dan berada disekitar dusun sembilang, Menurut masyarakat Sembilang, nama Batu Buruk tersebut diberikan karena Batu Buruk ini tidak pernah tergenang air. Ketika air pasang besar dan volume air Laut sekitar Laut Sembilang meningkat, Batu Buruk tidak akan Tengelam dan akan terlihat dari kejauhan terapung di atas perairan Laut Sembilang.

Prosesi Sedekah keBatu Buruk sendiri dilaksanakan dengan cara masyarakat dusun sembilang datang kebatu buruk dengan membawa 3 ekor kambing , kambing kambing tersebut dibawa langsung oleh ketua adat dan kepala dusun Sembilang, prosesi selanjutnya kambing yang dibawah kebatu buruk kemudian dilepaskan.
Setelah prosesi pelepasan kambing dilanjutkan dengan membaca do’a dan Tahlilan yang dipimpin oleh ketua adat dusun sembilang dan berdo’a, do’a yang dipanjatkan adalah do’a kepada sang pencipta sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rezeki yang mereka dapatkan dari laut dan memohon agar dusun sembilang terhindar dari segala macam mara bahaya.

Setelah prosesi kebatu buruk selesai, penduduk dusun sembilang diwajibkan memakai bedak, bedak yang dipakai terbuat dari beras dan dikasih air kemudian disiramkan kerumah penduduk dusun sembilang prosesi selanjutnya adalah masyarakat dusun Sembilang mengunakan Retip (Padi yang digoreng) selesai digoreng Retip tersebut dihamburkan kedalam rumah masing masing. Selesai menghamburkan retip prosesi selanjutnya penduduk dusun Sembilang memakai bedak yang terbuat beras, memakai bedak dan menghamburkan Retip bermakna seluruh warga dusun sembilang menjadi suci dan mempererat ikatan tali silaturahmi antar warga dusun sembilang.
Sedekah Dusun Kebatu Buruk dilaksanakan pada bulan November Setiap tahunnya.

2.Latipan
Latipan adalah pantangan tidak boleh melaut pada tanggal 1 Muharam, menurut kepercayaan masyarakat dusun sembilang pada tanggal 1 Muharam tersebut seluruh penunggu dusun sedang melakukan Pesta.
Prosesi Latipan sendiri dilaksanakan pada saat perpindahan hari Selepas Sholat Magrib. Prosesi Latipan dipimpin langsung oleh kepala dusun, pelaksanaan tradisi tahunan tersebut dimulai dari pangkal sampai keujung dusun kemudian balik lagi kepangkal peserta yang mengikuti tradisi latipan sambil berjalan keliling kampong mereka berzikir dan menyebut asma Allah dilanjutkan dengan membaca yasin dan tahlilan, suasana sana dusun dalam tradisi Latipan gelap gulita tidak tidak adak ada yang boleh menghidupkan lampu sampai prosesi latipan selesai dilaksanakan.
Makna dari Tradisi Latipan tersebut Selain mendo’akan para leluhur yang telah mendahului mereka juga bermakna menjaga keselamatan hidup mereka agar senanatisi hidup damai dengan makhluk lainnya baik yang berada di laut maupun hutan sekitar dusun Sembilang.
3.Berniat
Berniat adalah prosesi mengantar kambing ke Makam Buyut Sanjang (Buyut Sanjang adalah perintis berdirinya dusun Sembilang) setelah sampai di makam buyut sanjang kambing yang dibawah kemudian dilepaskan, prosesi berniat ini sebagai ungkapan terimakasih kepada para leluhur yang telah berjasa mendirikan dusun sembilang sekaligus menjaga tradisi dusun sembilang agar tidak punah, biasanya yang melakukan prosesi berniat dilaksanakan oleh warga yang punya nazar sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada tuhan yang maha esa bahwa mereka terhindar balaq dan mara bahaya diberikan limpahan rezeki kesehatan bagi seluruh keluarga yang berada didusun Sembilang.

4.Dak Boleh Munuh Babi
Warga Dusun Sungai Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan, dilarang membunuh satwa liar yang ada seperti babi, biawak, terlebih harimau sumatera yang hidup di hutan mangrove Sembilang. Jika dilanggar, pelaku dan warga dusun akan mendapat bencana, juga diikuti para pendatang yang menetap di Dusun Sungai Sembilang, seperti Bugis, Jawa, dan Padang.

Tradisi dan larangan membunuh satwa dinilai masih terkait dengan ajaran tetua wong Palembang dalam Kitab Simbur Cahaya. Kita ini ditulis Ratu Sinuhun, istri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan yang berkuasa selama enam tahun (1636 – 1642 M), merupakan pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra Selatan, Kitab ini memadukan ajaran adat dengan ajaran Islam. Mulai dari hubungan lelaki dengan perempuan, hingga pedoman mengelola hutan atau lingkungan hidup.
Tradisi warga Dusun Sungai Sembilang ini sebagai bentuk pelestarian keseimbangan ekosistem. Larangan membunuh babi dan biawak dikarenakan satwa Satwa tersebut adalah makanan hewan buas seperti harimau.

Penutup
Sesuai dengan Visi Misi Gubernur Sumatera Selatan di bidang budaya, maka tujuan yang akan dan ingin dicapai adalah “mewujudkan daerah yang mempunyai budaya daerah yang kuat dan berakar pada nilai-nilai leluhur yaitu mengembangkan dan melestarikan budaya daerah”. Dari tujuan tersebut sasarannya adalah: “mewujudkan daerah yang mempunyai jati diri sejati yang tidak luntur dengan kemajuan ekonomi dan teknologi, serta pengaruh budaya baru”, dengan sararan yaitu terwujudnya daerah tujuan wisata berbasis warisan budaya leluhur yang mampu mengangkat harkat, martabat masyarakat, khususnya Dusun Sembilang.#

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kominfo Sebut Desain Istana Negara di Palangkaraya Masuk Laporan Hoaks

Komunitas Pese Fahum UIN Raden Fatah Palembang Hadiri Bedah Buku Pers Perlawanan