Ibadah kurban merupakan ibadah yang disyariatkan kepada umat Islam setiap Hari Raya Idul Adha (10 Djulhijjah) dan hari-hari tasyri’ (11-13 Djulhijjah). Kurban tidak sekadar ibadah ritual tahunan, tetapi mengandung pesan edukatif kepada setiap muslim untuk menjadi hamba Allah SWT yang taat, cerdas dan progresif.
Setidaknya ada empat hal yang menjadi edukasi dalam ibadah kurban. Pertama, pendidikan tauhid. Tauhid yang benar dibuktikan dengan keyakinan yang kokoh tanpa sedikit pun keraguan untuk menjalankan semua perintah Allah. Hal itu juga tersirat dalam perintah ibadah kurban di era Nabi Adam a.s. Firman Allah SWT: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah/5: 27).
Qabil adalah gambaran manusia yang meragukan perintah Allah. Ahli sejarah menyebutkan bahwa Qabil menolak perintah Allah melalui Nabi Adam a.s. agar Qabil menikah dengan saudara perempuan (kembaran) Habil. Sementara Qabil tetap bersekukuh untuk menikah dengan saudara perempuan (kembaran)-nya sendiri. Mengatasi pertentangan itu, Allah perintahkan keduanya untuk berkurban. Ayat di atas menegaskan bahwa kurban Habil yang diterima, sedangkan Qabil ditolak.
Qabil memang memenuhi perintah itu, tetapi tidak ikhlas sehingga yang dikurbankannya hanyalah hasil pertaniannya yang buruk dan sudah rusak. Akibatnya, kurban itu ditolak lalu Qabil dikuasai oleh nafsunya sehingga ia gelap mata dan nekat membunuh sauda kandungnya, Habil.
Keraguan Qabil terhadap perintah Allah menunjukkan bahwa ia tidak memiliki akidah yang lurus. Rasionalitas dan nafsunya berada di atas keimanannya. Baginya, perintah Allah untuk menikah dengan kembaran perempuan Habil merugikannya. Ia lebih mencintai makhluk dari pada Khaliq.
Jika Qabil ragu akan perintah Allah, berbeda halnya dengan Nabi Ibrahim a.s. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putra semata wayang yang telah lama dirindukan. Tapi Ibrahim a.s. meyakini Allah sepenuh hati, termasuk segala perintah-Nya, sehingga tanpa ragu ia sembelih putranya, Ismail. Namun keyakinan Nabi Ibrahim tidak disia-siakan Allah. Ismail diselamatkan sehingga yang dikurbankan adalah hewan, berupa kibas (kambing).
Kisah ini menegaskan bahwa beriman kepada Allah tidak sekadar meyakini keberadaan-Nya, tetapi juga kepasrahan dan ketaatan secara totalitas tanpa adanya ruang rasa ragu. Maka ibadah kurban yang kita lakukan dewasa ini mesti menguatkan keimanan kita pada Allah SWT. Esensi kurban bukan pada daging dan darahnya, tetapi harus didasari oleh takwa. Firman-Nya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya… (Qs. Al-Hajj/22: 37).
Kedua, pendidikan yang memanusiakan. Penyembelihan hewan kurban juga memuat pesan agar manusia menyembelih sifat-sifat kebinatangannya. Manusia yang sejati adalah manusia yang memiliki fitrah dan menjalani kehidupannya sesuai dengan fitrah tersebut.
Dalam Al Quran, paling tidak ada enam perumpamaan manusia yang disamakan dengan hewan. Ada manusia al-an’am (seperti binatang ternak), yaitu mereka yang tidak memanfaatkan hati, mata, dan telinganya untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan Allah (QS al-A’raaf/179). Kondisi mereka lebih sesat dari hewan ternak yang memang tidak dibekali akal seperti manusia. Manusia yang memperturutkan hawa nafsunya dan mendustakan ayat-ayat Allah disebut sebagai manusia kalb, yaitu seperti anjing (QS al-A’raaf/7: 176).
Mereka yang fasik, mengetahui tetapi tidak berperilaku seperti apa yang diketahuinya diumpamakan seperti qird atau kera, bahkan seperti khinzir, atau babi (QS al-Maidah/5: 60). Manusia yang angkuh, merasakan kelebihan yang ia miliki semata-mata hasil kinerjanya atau ia bergantung dan berlindung kepada selain Allah diumpamakan pula sebagai manusia ankabut atau laba-laba (QS al-Ankabut/29: 41). Sementera mereka yang diberi petunjuk berupa kitab Al Quran, tetapi tidak dijadikannya sebagai pedoman hidup sehingga kitab tersebut tidak memberi efek positif baginya, maka ia seperti himar atau keledai (QS al-Jumu’ah/62: 5).
Maka ibadah kurban mengajarkan manusia untuk menghilangkan sifat-sifat kebinatangan, seperti enam perumpamaan di atas. Jadilah manusia yang sesungguhnya memiliki dimensi ruhani dan jasmani yang tunduk pada ketentuan Ilahi.
Ketiga, mendidik sikap solidaritas sosial. Hewan kurban yang disembelih bukan “sesajen” yang persembahkan pada Tuhan, sebab Allah adalah Tuhan Yang Maha Kaya dan tidak butuh pada makhluk-Nya. Akan tetapi, daging kurban mesti diberikan kepada tetangga dan orang-orang miskin untuk dinikmati. Bahkan saat penyembelihannya pun dibutuhkan kerja sama antara anggota masyarakat. Maka hewan kurban mengajarkan kepada kita untuk memiliki solidaritas dan kepedulian pada sesama.
Keempat, ibadah kurban mendidik kita untuk meneladani kehidupan Nabi Ibrahim a.s. Di antara kisah yang paling menarik dari Nabi Ibrahim a.s. adalah sikap Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail saat menerima wahyu dari Allah untuk menyembelih Ismail. Ibrahim telah sukses mendidik putranya, Ismail, menjadi anak yang saleh, taat kepada Allah dan patuh pada orang tuanya.
Patut kita renungkan, bagaimana kiat Nabi Ibrahim a.s. mendidik Ismail yang saleh itu. Jika ditelusuri dari Al Quran, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam berinteraksi dengan Ismail a.s. Misalnya, Nabi Ibrahim mengutamakan istri yang salehah dari pada sekedar kecantikan dan kekayaannya. Awalnya Siti Sarah tidak dikaruniai anak, maka Ibrahim menikahi Siti Hajar, seorang pembantu berkulit hitam, tetapi taat kepada Allah. Memilih istri yang salehah merupakan prasyarat untuk melahirkan anak-anak yang saleh. Sebab istri akan menjadi madrasah pertama (al-ummu madrasah) bagi anak-anaknya.
Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah agar dikaruniai anak yang saleh. Meskipun Ibrahim as sebagai Nabi Allah dan kekasih-Nya (khalilullah), akan tetapi ia tetap bermunajat kepada Allah agar dikaruniai anak yang saleh. Doa itu diabadikan dalam al-Qur’an: rabbi habli minashshalihin, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang tergolong ke dalam hamba-hamba yang Saleh”(Qs. Ash-Shafat/37: 100).
Ismail menjadi saleh juga tidak terlepas dari keteladanan yang ditampilkan oleh Nabi Ibrahim sebagai uswatun hasanah (Qs. al-Mumtahanah/60: 4 dan 6). Isma’il memiliki sifat halim/santun dan Ibrahim a.s. juga berkarakter halim (Qs. Hud/11: 75).
Tidak cukup keteladanan, Nabi Ibrahim juga memilih lingkungan yang baik untuk perkembangan mentalitas anak. Siti Hajar dan Ismail pun ditempatkan di lingkungan yang bersih dan nyaman, yaitu Mekah lalu Ibrahim bermunajat agar tempat itu diberkahi dan baik untuk perkembangan mentalitas anaknya (Qs. Ibrahim/14: 37).
Ibrahim bersifat demokratis dan komunikatif kepada anaknya. Sikap demokratis dan komunikatif Nabi Ibrahim a.s. terlihat dari kisah penyembelihan putranya, Isma’il. Ketika Ibrahim mendapat perintah untuk menyembelih anaknya, ia panggil Isma’il dengan menggunakan kata Ya Bunayya, Wahai anakku sayang. Kata itu merupakan panggilan penuh kasih sayang, komunikatif antara seorang ayah dengan anak.
Setelah itu, Ibrahim juga meminta pendapat Isma’il tentang perintah tersebut dengan berkata fanzhur madza tara?, “Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” (Q.s. As-Shaffat/37:102). Suatu perintah yang wajib dilaksanakan, tetapi tetap dikomunikasikan secara demokratis kepada putranya, Isma’il.
Hal ini mengisyaratkan kepada orang tua agar mendidik anaknya dengan cara yang demokratis dan komunikatif. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya, kecuali hal-hal yang bersifat prinsip, misalnya persoalan ketaatan pada ajaran agama. Orang tua juga jangan menampilkan diri sebagai sosok yang ditakuti anak, tetapi jadilah sosok guru yang disayangi, dihormati dan diidolakan.
Kemudian Ibrahim melibatkan anak membangun baitullah, beribadah bersama anak dan melibatkannya menegakkan agama Allah. Ibn Katsir dalam kitab Qishash al-Anbiya’ menjelaskan bahwa Isma’il turut mengumpulkan batu dan mengulurkannya kepada Ibrahim, lalu Ibrahim membangun bangunan Ka’bah yang sebelumnya mengalami kerusakan. Ketika membangun baitullah itu bersama anaknya, Ibrahim juga berdoa kepada Allah SWT agar mereka menjadi hamba yang ta’at dan negeri itu diberkahi (Qs. al-Baqarah/2: 126-129).
Cara Ibrahim a.s. mendidik Isma’il ini mengajarkan untuk melibatkan anak-anak kita beribadah kepada Allah SWT. Orang tua yang gemar memakmurkan masjid sejatinya melibatkan anaknya secara aktif; baik membangun masjid, terutama membangun jamaahnya. Sebab sesulit membangun fisik masjid, jauh lebih sulit membangun jamaah di dalamnya.
Dengan demikian, Hari Raya Ibadah Kurban mengajarkan kita untuk mencintai anak-anak kita dengan mempersiapkan mereka menjadi anak yang saleh. Wallahu a’lam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.