Alhamdulillah, pelaksanaan Hari Raya Kurban 1438H/2017 tahun ini serentak dilaksanakan pada Jumat, tanggal 1 September 2017. Nilai, spirit dan makna Idul Adha, haji dan kurban luas dimensinya, tentu harus dapat dijadikan solusi bagi penyelesaikan masalah kehidupan kolektif.
Dalam konteks ibadah haji dan kurban banyak nilai yang dapat disarikan untuk dijadikan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah hidup. Makna hakiki dari iman adalah penyelesaian masalah.
Mementingkan Iman
Kini di saat kita memperingati kurban, patut sekali direnungkan bagaimana dia dapat membentuk dan meneguhkan iman dalam kehidupan manusia modern, sehingga dapat keluar dari masalah rumit dan kompleks. Nabi Muhammad telah menerapkan perilaku iman dalam kehidupan sehari-hari, sehingga semua masalah, serumit apapun dapat diselesaikannya.
Iman solutif adalah menjadikan Allah sebagai pangkal tolak, inspirasi, motivasi dan akhirnya menjadi regulasi dalam menjalani kehidupan. Menjadikan iman sebagai rambu-rambu kehidupan, Nabi mengibaratkan perilaku orang-orang beriman itu seperti kehidupan perilaku lebah, yang dimakannya sari-sari bunga, keluar dari perutnya madu yang penuh khasiat. Diranting yang lapuk sekalipun dia hinggap, tidak mematahkan ranting itu.
Allah mengibaratkan kehidupan orang beriman dengan tidak laksana orang yang tidak melihat (buta) dengan orang yang nyalang matanya (melihat), bagaikan orang yang hidup dalam kegelapan dengan hidup penuh cahaya terang benderang. Tanpa iman hidup akan gelap, hidup tanpa pedoman, hidup tak tentu arah, hidup tak tentu jalan, hidup dalam kelam dan penuh kegelapan.
Pada awal surat Al Baqarah (QS. 2:8-20, red) digambarkan kehidupan dan perilaku orang yang imannya tidak kokoh (munafik), seperti orang berjalan di malam gelap dengan petir dan halilintar yang sambung-menyambung. Di waktu kilat, dia sedikit menampak jalan. Tetapi setelah kilat hilang dan sirna, ia kembali dalam kegelapan dan tidak tampak jalan. Begitulah nasib yang akan dialami dan diderita orang yang berkata dusta, memungkiri janji, mengkhianati sumpah, serta tidak mengamalkan apa yang diucapkannya.
Di saat melaksanakan haji dan hari raya Idul Adha dengan paket kurban ini, sangatlah patut kita merenungkan bagaimana sikap kita mementingkan iman dalam kehidupan nyata, sebagaimana diperlihatkan Nabi Ibrahim, Ismail dan anak cucunya Muhammad SAW. Bukankah Allah telah mengajar manusia dengan ibadah kurban yang dilakukan Nabi Allah Ibrahim, Ismail dan Siti Hajir. Drama ujian iman yang hebat dan mencekam itu meninggalkan satu sejarah tersendiri bagi kehidupan jutaan umat manusia. Kepatuhan sang anak, ketabahan sang ayah dan keikhlsan sang ibu menerima perintah Allah, akhirnya menjadi keluarga sebagai tonggak sejarah tersendiri dalam pradaban umat manusia.
Sabar Buah Iman
Iman menjadi simbol dan abstrak ketika tidak dinyatakan dalam kehidupan sehar-hari. Wujud paling nyata dari iman adalah sabar. Ibadah kurban memberikan pembelajaran abadi bahwa buah iman, yaitu sabar terhadap ujian hidup adalah indikator awal menuju sukses nan monumental.
Allah mengabadikan jejak hidup keluarga Ibrahim, anak dan istrinya. (QS. As-Shaffat, 100-103). Kisah sukses (succes story) keluarga Ibrahim itu dapat dikatakan bahwa imanlah yang membuahkan sabar.
Hanya dengan sabar bisa mencapai derajat iman dan perjuangan. Hanya dengan sabar, kebenaran dapat ditegakkan. Hanya dengan sabar menyampaikan nasihat kepada orang lain. Contoh hidupnya (best practices), seperti ditunjukkan sejarah lewat adanya kurban. Rasulullah SAW juga memberikan penegasan bahwa sabar itu buah iman yang sangat besar manfaatnya bagi peningkatan kepribadian dan akhlak mulia.
Realisasi sabar dalam hidup dari segi bentuk dan keadaan terbagi dua. Pertama, sabar bersifat jasmani yaitu, kesabaran badan dalam memikul beban yang berat-berat, mendapat cobaan, ditimpa kemiskinan, menderita sakit dan lain-lain.
Kedua, sabar bersifat rohaniah yaitu; (a) menahan nafsu; (b) teguh hati menahan musibah; (c), menahan diri dari kehidupan mewah; (d), sabar dalam perjuangan; (e) menahan diri dari amarah; (f) lapang dada; (g) memilihara rahasia; (h) menahan diri dari hidup yang berlebihan. (QS Al-Baqarah: 177) .
Memanusiawikan nilai yang sangat kuat dalam ibadah haji dan kurban adalah mendidik manusia menjadi manusia manusiawi. Manusia manusiawi adalah manusia yang dengan jelas mampu menyembelih sifat dan karakter kebinatangannya. Prosesi kurban yang dikisahkan Al Quran menyiratkan bahwa kualitas jiwa manusia yang sejati adalah mereka yang dapat memupus habis karakter kehewanannya. (QS. Al-Shaffat, 107-8).
Karakter rakus, sombong dan bejat moral yang menjakiti manusia modern hari ini telah dengan nyata merusak tatanan manusiawinya manusia. Ada orang dengan melenggang santai membakar lahan tanpa aturan. Akibatnya, kehidupan manusia lain dan lingkungan hidup menjadi rusak.
Ada pula orang berpendidikan tinggi, berjabatan terhormat, tetapi gagal mengendalikan sifat kehewanannya, lalu ia korupsi uang milik masyarakat. Manusia yang menari di atas penderitaan dan bangkai orang lain adalah tak ubahnya seperti hewan kurban yang harusnya disembelih di Hari Raya Idul Adha ini.
Ibadah haji juga tidak kalah kuat nilai-nilainya yang hendaknya dipraktikkan oleh mereka yang sedang dan selesai berhaji, yakni sikap hidup penuh persaudaraan dan saling menolong. Semangat persaudaraan dan saling menolong dalam haji adalah nilai tertinggi yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia yang manusiawi itu adalah bersaudara dan saling menolong. Ketika persaudaraan dan tolong menolong pupus dan didasari transaksi belaka, saat itulah manusia kehilangan manusiawi. Manusia serigala bagi manusia lainnya, filosof menyebutnya homo honi lupus.
Ketika modernisasi boleh mendapatkan dan mengunakan apa saja, saat ini sangat perlu diperkuat karakter manusiawinya. Karakter manusiawi adalah menempatkan manusia sebagai makhluk mulia, punya perasaan, hak, kewajiban, harga diri, martabat dan kebutuhan lainnya pada dasarnya sama. Soal keberuntungan (nasib) dan keadaan yang menjadikan satu lebih dari yang lain.
Manusiawi itu adalah menjadikan manusia sebagai manusia, bukan sebagai benda dan barang tak bergerak. Hubungan manusia yang manusiawi bukan atas dasar kedudukan, fungsi, harta, jabatan dan status sosial, akan tetapi di atas asas kemanusiaannya. Perbedaan nasib dalam hidup tidak boleh menjadikan manusia lain sebagai pihak yang harus ditindas, akan tetapi itu adalah sunnatullah yang saling menghargai dan memuliakan.
Ibadah haji dan kurban begitu efektif, artinya dalam mendidik dan membiasakan hidup lebih beriman, sabar dan memiliki kesadaran untuk tetapkan memanusiakan manusia. Ibadah tidak banyak artinya saat nilai-nilainya tidak mampu membentuk diri menjadi hamba Allah yang hanif. Hamba Allah yang sadar, sabar dan rendah hati.
Kurban yang diterima dapat diamati dari gaya hidup yang taat dan dekat dengan Tuhan-Nya. Haji yang mabrur dapat diraba dari prilaku, budaya dan gaya hidup yang dapat dikonfirmasi dengan nilai agama, hak-hak kemanusiaan dan memanusiakan manusia telah menjadi kepribadiannya dan misi suci perjuangan hidupnya.
Akhirnya, kita berkesimpulan bahwa ibadah haji dan kurban yang dilakukan umat sedunia ini memiliki banyak rahasia, hikmah dan pelajaran yang harus dihidupkan dalam nurani kita.
Ada dua hal penting yang hendaknya kita resepi dan pedomani dalam hidup. Pertama, kehidupan yang baik dan memiliki arti bila ia diisi dengan iman, taat, ikhlas dan sabar. Sebagaimana Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti Hajir telah melakoninya. Bahwa keteguhan iman, taat, ikhlas dan sabar pada akhirnya dapat menjadikan manusia hidup seimbang, bahagia dan tidak mudah diperbudak materi dan kehidupan dunia ini.
Kedua, nilai memanusiakan manusia, (manusiawi) yang terdapat dalam haji dan kurban baru dapat berkesan saat pelakunya dapat menerapkan pola hidup Islami, menjaga martabat manusia, malu, berbudaya, dan dapat terus menerus mengendalikan, sifat kehewanan, seperti rakus, tamak, loba, egois, mau menang sendiri, memperkaya diri dengan menindas yang lemah dan sifat kebinatangan lainnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.