in

Guru Pencari Perhatian Murid

Yona Evasari, S.Pd
Kepala UPT SD Negeri 36 Lubukjantan

Pernahkan kita mendengar guru mencari perhatian murid. Ya, rasanya cukup lucu juga. Karena biasanya murid yang mencari perhatian guru? Begitulah seharusnya. Betapa sering terdengar keluhan guru yang menyatakan bahwa murid-muridlah yang mencari perhatian dari guru.

Sehingga tingkahnya membuat jengkel guru. Ada saja ulahnya yang menerbitkan aneka emosi guru. Kejadian di kelas dengan keriuhan dan celotehan anak-anak yang tidak memperhatikan keterangan guru. Lebih mementingkan mengobrol dengan teman sebelah, sehingga kelas menjadi berisik.

Guru tidak bisa menyampaikan penjelasan dengan nyaman. Ada saja yang mengerjakan pekerjaan iseng yang tidak terkait dengan pelajaran. Mencoret-coret kertas karena bosan dengan materi yang tidak menarik, merupakan cara anak-anak menghabiskan waktu di kelas.

Akhirnya guru dan siswa diselamatkan oleh bunyi bel akhir pelajaran. Guru sudah berbagai cara mengajak muridnya untuk aktif dan terlibat dengan pelajaran. Namun anak-anak malah menyiasati dengan izin ke luar kelas pergi ke toilet.

Atau sembunyi-sembunyi berkumpul di kantin untuk menikmati aneka jajanan. Dan serba-serbi lainnya yang biasa guru-guru temui pada anak-anak di kelas. Sebagaimana diketahui, guru kini menghadapi karakter murid yang lebih beragam.

Apalagi program zonasi menyebabkan sekolah tidak bisa lagi menempatkan murid dengan kemampuan yang seragam. Guru dihadapkan pada situasi kelas yang heterogen. Guru yang menginginkan keseragaman agaknya akan kesulitan pada masa ini.

Gambaran kelas di atas sepertinya murid yang membutuhkan perhatian guru. Padahal situasinya terbalik, gurulah yang membutuhkan perhatian dari murid. Karena guru kurang menarik maka siswa mencari kegiatan yang lebih menarik.

Bukan berarti anak-anak tidak menghargai gurunya. Karena memang begitulah otak bekerja. Otak akan menyaring mana informasi yang dibutuhkan dan dirasa penting, maka itulah yang akan diperbolehkan masuk ke dalam proses ingatan.

Melalui alat sensori semua informasi di tangkap, tetapi hanya sedikit yang diteruskan. Itulah yang terjadi apabila guru tidak memberikan kesan kepada murid. Akibatnya yang datang dari guru diabaikan. Dan celakanya hanya satu persen saja dari jutaan informasi yang diterima oleh murid setiap harinya yang bisa diingat.

Begitu menurut penelitian ahli syaraf Michael Gazzaniga (1999) (dalam Sprenger : 2011). Apalagi informasi dari guru yang tidak dianggap penting, tidak mengandung konten emosi, minat, pendengaran dan visualnya (Shaun Kerry dalam Sprenger : 2011).

Jadi, sekalipun guru meminta perhatian murid, namun minat, emosi, pendengaran dan visualnya tidak dibangkitkan maka guru tidak serta merta mendapatkan perhatian itu. Bisa jadi, guru mendapatkan perhatian dari murid hanya sebentar saja. Atau mendapatkan perhatian yang semu. Selanjutnya, murid akan sibuk dengan perhatiannya sendiri.

Bagaimana guru mengatasi hal ini, agar pembelajaran bisa berlangsung efektif. Guru perlu membangun kesadaran tentang datangnya informasi dalam belajar. Artinya proses penerimaan informasi oleh murid kemudian mengendap dalam ingatan jangka panjang.

Ada banyak stimulus yang ditangkap oleh sensori anak namun tidak semua menjadi perhatian. Hanya yang benar-benar menjadi perhatianlah yang akan dipikirkan olehnya. Perhatian membantu anak-anak mengarahkan pikirannya.

Itulah sebabnya, anak-anak yang fokus pada perhatiannya akan mampu mengendalikan syarafnya untuk terus-menerus terlibat dalam kegiatan yang menjadi minat. Dan mengabaikan setiap ganguan stimulus lain yang dianggap tidak penting.

Bagi anak, perhatian membutuhkan tiga elemen agar hadir; yakni : kesadaran, orientasi dan fokus. Kesadaran mengajak syaraf terjaga. Lalu mengarahkan anak pada orientasi stimulus baru. Selanjutnya bagian tertentu dalam otak meminta mengabaikan gangguan stimulus dan terus mempertahankan perhatian anak ( Carter dalam Sprenger : 2011).

Cukup rumit dan berlangsung sangat cepat sepersekian detik. Dalam hal ini, guru dengan kesadaran mengetahui pengaruh emosi dalam proses belajar. Emosi mengarahkan dan menutup anak berpikir.

Emosi pula yang memberikan pondasi bagi anak untuk terlibat dalam pembelajaran secara penuh. Ini pula yang kerap diabaikan oleh guru dalam kelas. Seolah, pembelajaran akan terjadi begitu saja, apa bila guru hadir dalam kelas lalu memberikan materi pelajaran.

Sudah saatnya, bukan murid yang mencari perhatian guru, akan tetapi gurulah yang mencari perhatian murid. Dengan demikian pembelajaran dapat berlangsung penuh makna dan menyenangkan.(***)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Menjadi Guru Yang Efektif

Mau Shalat Subuh, Nenek-Nenek Disekap, Emas Dicuri