SEBELUM terlalu dalam, baiknya kita ajukan satu pertanyaan. Apakah menjadi penjilat itu sebuah pilihan atau takdir? Sebelum menjawab, mungkin langkah pertama yang patut dilakukan adalah memperjelas di mana posisi kita ketika aksi jilat-menjilat itu kita lakoni. Dalam kondisi normal, ketika aksi jilat hanya dimaksudkan sebagai sarana memperkuat posisi guna memperoleh keuntungan, maka jurus jilat itu adalah pilihan. Sebaliknya, dalam kondisi sekarat, di mana gerakan jilat menjadi satu-satunya jalan mempertahankan posisi, tidak untuk mencari keuntungan, tapi hanya menghindari kerugian, maka dalam kondisi ini jilat menjadi takdir. Namun demikian, tesis ini masih terbuka untuk dikritik, sebab ia bukan ayat kitab suci.
Hardiman (2005), dalam bukunya Memahami Negativitas, menyebut penjilat sebagai manusia kosong yang cukup lihai menyembunyikan kekosongan itu dengan berlagak patuh. Aksi penjilatan, masih menurut Hardiman, adalah suatu aksi yang menggunakan instrumen-instrumen ketundukan guna merangsang kepatuhan targetnya. Sang penjilat berpura-pura patuh dengan maksud memerintah dan ia berlutut di atas bumi agar tergetnya tersungkur mencium bumi. Sebagai sebuah teori, apa yang disampaikan Hardiman ini pun masih bisa dikuliti dan tak wajib diikuti.
Namun demikian, dilihat dari praktiknya, aksi jilat-menjilat pada umumnya memang dilakoni oleh manusia-manusia kosong yang telah menceraikan akal sebelum akal itu dikenalnya. Penjilat adalah orang-orang yang telah menggunting kemaluannya sebagai satu-satunya syarat menuju identitas baru manusia bermuka tembok. Dalam kondisi inilah seorang penjilat bebas melakukan aksinya melalui berbagai jurus sehingga mata tuannya menjadi sayu dan akhirnya menunduk sembari mengangguk.
Aksi jilat-menjilat bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Aksi ini tidak mengenal tempat dan waktu. Setiap kita memiliki peluang yang sama untuk menjadi penjilat-penjilat yang sukses. Ketika nafsu telah memuncak, akal pun tertidur. Dalam kondisi ini otak tidak lagi berfungsi dan hati pun terkunci sehingga jiwa dibuai mimpi dan akhirnya khayal pun berlari-lari. Dalam dunia penjilatan, kejujuran sama sekali tidak berharga dan kemunafikan pun menjadi niscaya.
Para penjilat akan semakin jumawa ketika ia berhadapan dengan tuan-tuan lemah tak berdaya. Di hadapan tuan-tuan lemah ini, si penjilat tampil bagaikan pahlawan yang senantiasa menabur mantera penyejuk hati. Suara lembut dan gerak badan meyakinkan dari si penjilat membuat kita tidak sadar, bahwa dia adalah pembunuh berdarah dingin yang mencincang kewarasan. Dengan lidah manisnya, si penjilat menyembur mantera beracun dan menebar propaganda. Bagi hati yang galau, semburan racun itu dianggapnya sebagai harapan sehingga ia pun percaya.
Di hadapan kita, si penjilat berpura-pura tunduk dan patuh, tapi di belakang dia menabur jarum-jarum kebencian. Pada saat tuannya di puncak kejayaan, si penjilat senantiasa bersenandung menyanjung puja. Sebaliknya, ketika si tuan tersungkur layu, si penjilat pun berpaling muka sambil mencaci maki.
Nafsu penjilat tidak pernah mati. Ia terus hidup dan menjadi teman setia manusia-manusia kosong. Semakin kosong jiwanya semakin keras pula jilatannya. Sampai saat ini, para penjilat dalam segala wujudnya terus bergentayangan mencari mangsa. Dia mencari tuan-tuan lemah untuk dikelabui dan ditundukkan dengan jurus kepatuhan palsu. Si penjilat menjual kepatuhan agar tuannya patuh pada kehendaknya. Si penjilat juga mempersembahkan ketundukan sebagai sebuah strategi menundukkan tuannya.
Jika kita percaya di mana ada gula di situ ada semut, maka kita pun harus yakin bahwa di mana ada kuasa di situ ada penjilat. Setelah jilatannya kering, si penjilat pun akan meludah di hadapan kita. Saat itulah kita menangis. Tentunya ini adalah akhir yang tragis. Tersebab itu kenalilah para penjilat yang saat ini terus bergentayangan di sekitar kita. Atau kita sendiri seorang penjilat?