Judul : Rentang Kisah
Penulis : Gita Savitri Devi
Penerbit : GagasMedia
Cetakan : 2017
Tebal : 207 Halaman
ISBN : 978-979-780-903-4
Kesan pertama setelah membaca synopsis di halaman cover belakang buku adalah buku ini akan bercerita tentang perjuangan penulis dalam menyelesaikan studinya di Jerman dan akan ditutup dengan cerita yang super success dan happy ending setelah 7 tahun kuliah di Jerman. Walau bukan bercerita yang mengharubirukan pembacanya, penulis berhasil secara sederhana menggambarkan dirinya sebagai seorang yang awalnya sebagai regular person, bukan juga seorang juara dikelasnya dan juga selesai kuliah di Jerman di waktu yang juga bukan waktu yang singkat.
Tapi kesederhanaan tersebut yang membuat alur ceritanya menjadi menarik karena penulis menjadi ‘juara’ dan berhasil menaklukan semua rintangan yang ditemukan di sepanjang perjalanan menjadi seorang yang graduated from one of Germany University, yang bisa menjadi pembelajaran semua orang yang punya mimpi untuk kuliah ke Jerman. Gita merasakan sosok ibunya adalah pribadi yang selalu berlawanan dengan dirinya (hal 3-4), sering merasa tidak di support oleh ibunya, dia lebih memilih ketemu kuntilanak dari pada melihat Ibunya marah (hal 4).
Tapi sakit yang dialaminya, yang awalnya diduga kanker kelenjar getah bening, kemudian di opname karena sakit DBD akhirnya mengubah pandangannya 180 derajat terhadap Ibunya (hal 16). Sakit mengubah cara pandangnya dalam melihat ibunya dan menyadari bahwa ibunya sangat menyayanginya, ibunya punya caranya sendiri dalam menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya walau tidak dengan cara seperti yang dia inginkan Kebingungan akan melanjutkan kuliah di mana setelah SMA, karena sampai lulus SMA Gita masih belum menemukan passion dan cita-citanya.
Karena senang menggambar, Gita memutuskan untuk mencoba peruntungannya masuk Fakultas Seni Rupa dan Design ITB Bandung. Dia tidak tertarik dengan jurusan-jurusan serius seperti teknik, ekonomi, kedokteran dan jurusan-jurusan lainnya. Sementara ibunya berkeinginan lain agar dia masuk jurusan Teknik Perminyakan. Gita berhasil diterima di Fakultas Senirupa dan Design ITB, tapi ibunya punya ide yang bikin dia kaget ‘bagaimana kalau kuliah di Jerman?’ (hal 33). Gita kembali mempertanyakan dirinya kembali, dan mungkin karena orang tuanya pernah tinggal di Berlin Jerman, akhirnya Gita memutuskan untuk kuliah di Jerman (hal 36).
Gita tidak langsung bisa kuliah di Jerman karena syarat umur minimum belum terpenuhi, 18 tahun. ‘Menganggur setahun’, dan berangkat ke Jeman Oktober 2010 (hal 37). Tahun pertama Gita harus mengikuti kuliah pre-university Studienkolleg (STK/Studkol) sebelum bisa masuk ke Universitas yang diiginkannya. Apakah artinya lulusan SMA Indonesia tidak selevel dengan lulusan SMA Jerman?. Mungkin juga, karena hal ini adalah persyaratan mutlak untuk siwa yang berasal dari non- Jerman, termasuk Indonesia. Tahun 2012 diterima di STK TU Berlin (hal 61).
Kebiasaan menyotek di SMA tidak bisa dilanjutkan di STK. Siswa STK dituntut belajar mandiri bukan lagi untuk menghafal rumus tapi sampai mengerti bagaimana konsep atau asal muasal rumus (hal 63). Melewati masa STK dengan segala kesulitannya akhirnya dia berhasil masuk Freie Universitat Berlin, cerita yang bisa meninspirasi dan memotivasi buat mahasiswa Indonesia yang sedang berjuang untuk lulus Studkol atau mencari Universitas yang diinginkan di Jerman (hal 68). Berbagi kisah patah hati, namun sayangnya tidak di share dengan pembacanya, siapa raja tega yang membuat Gita broken heart dengan kisah – kasih LDR nya (hal 76). Agak naif juga sepertinya kalau mengharapkan kisah LDR bisa bertahan seperti di sinetronsinetron. Sisi positifnya, kegagalan LDRnya membuat Gita lebih dekat dengan Tuhan.
Diresensi oleh Irwan Anwar,
Lulusan ITB –
Institut Teknologi Bandung