Malang nian nasib Maman Budiman, warga Pontianak, Kalimantan Barat. Kakek berumur 50 tahun itu tewas dihakimi ratusan orang di Kecamatan Sadaniang Desa Amawang Kabupaten Mempawah. Pengepul petai itu disangka penculik anak.
Kehadiran Maman pada 2 hari lalu di desa itu sesungguhnya untuk menjemput anak, sekaligus mengepul petai untuk dibawa dan dijual di pasar. Warga curiga, lantas menangkap, memukul dan membawanya ke kantor desa. Massa semakin banyak dan beringas, jumlah aparat yang tak memadai gagal menahan ratusan orang yang mengamuk. Luka di sekujur tubuh membuat Maman tak mampu bertahan. Nyawa pun melayang.
Maman bukan yang pertama. Sebelumnya di daerah lain pengidap gangguan jiwa jadi korban main hakim sendiri dengan tuduhan serupa. Begitulah buah yang dituai dari kabar bohong; amuk yang tak terkendali hingga tega merenggut nyawa orang lain. Belakangan di banyak daerah beredar kabar bohong maraknya penculikan anak untuk diambil organnya. Kepolisian, termasuk Kapolri Tito Karnavian, berkali-kali membantah berita itu.
Tapi berita bohong itu telanjur menyebarluas dan memakan korban. Siapa yang harus bertanggungjawab? Media sosial atau warga yang termakan kabar burung itu? Sepatutnya kepolisian tak mengabaikan aksi main hakim itu. Pelaku mesti mendapat hukuman yang setimpal. Abai pada penegakan hukum, hanya akan membuat segerombolan massa yang beringas ini akan kembali mengulangi tindakan main hakim sendiri.
Selain itu, mengusut pembuat –juga penyebar– kabar burung. Kepolisian mencatat ada 40 ribu hoax yang tersebar di media sosial. Pengusutan dan penindakan bisa dimulai dari hoax yang mengakibatkan kerusakan atau hilangnya nyawa. Pelaku harus mempertanggungjawabkan dampak perbuatannya di muka hukum demi keadilan bagi korban dan memberi efek jera.