in

Kebergantungan pada Impor Pangan dan Utang LN Memperbudak Bangsa Indonesia

» Segala sesuatu terkait pangan selalu diselesaikan dengan impor. Akibatnya, pemerintah tersandera oleh kepentingan pedagang.

» Harusnya, harga produk petani yang layak di ibu kota juga tidak masalah selama itu produksi nasional.

JAKARTA – Kian besarnya kebergantungan pada impor pangan dan utang luar negeri (ULN) telah membuat bangsa Indonesia jadi budak di negeri sendiri. Monopolistik yang di­kuasai oknum pedagang juga membuat 260 juta rakyat ter­gantung makan dari segelintir pedagang. Sistem yang berlang­sung berpuluh tahun ini telah mematikan petani dan inisiatif dalam negeri sehingga Indone­sia jadi negara terbelakang.

Pengamat ekonomi politik dari Kaukus Muda Indonesia, Edi Humaidi, mengatakan kebergantungan Indonesia pada impor pangan dan utang me­rupakan realita yang sudah berlangsung puluhan tahun.

“Ini terjadi karena pemerin­tah menutup-nutupi kondisi perekonomian dengan berbagai rekayasa. Seperti menjaga inflasi dengan mengandalkan impor pangan yang mengha­biskan devisa dan utang eks BLBI berupa obilgasi rekap yang hingga sekarang masih di­tanggung negara,” katanya saat dihubungi, Rabu (10/6).

Diketahui, impor pangan Indonesia telah menguras de­visa sekitar 18 miliar dollar AS per tahun. Adapun, utang luar negeri hingga kuartal I 2020, seperti dilaporkan Bank Indo­nesia (BI), mencapai 389,3 mi­liar dollar AS atau sekitar 5.450 triliun rupiah (asumsi kurs 14.000 rupiah per dollar AS).

Menurut Edi, beban impor pangan yang besar membuat pemerintah terlena. Segala se­suatu terkait pangan selalu di­selesaikan melalui impor. Aki­batnya, pemerintah tersandera oleh kepentingan pedagang. “Kepedulian pemerintah ke­pada peningkatan produksi pe­tani nasional jadi abai. Petani selalu dikalahkan oleh impor­tir. Akibatnya, Indonesia ber­gantung impor, seperti budak di negerinya sendiri,” katanya.

Edi menyatakan seharusnya harga produk pangan meng­untungkan petani Indonesia. Tidak bisa menggunakan pa­tokan harga pangan impor yang disubsidi dan di-dumping oleh negara eksportir untuk menggerus devisa Indonesia. Sebab, harga petani yang la­yak dengan keuntungan ada­lah harga pasar yang sebenar­nya, sama dengan harga pasar di seluruh dunia. Kenapa di Thailand harga jual gula hanya 75 sen dollar AS atau sekitar 11.000 rupiah per kg, sedang­kan untuk ekspor ke negara lain cuma 8.000 rupiah per kg.

Edi mengatakan kalau peta­ni tidak bisa menjual harga la­yak berarti memang sengaja di­matikan atas arahan pedagang. “Ironis, negara agraria tapi 60 persen produk pangannya im­por, ini menjadi tertawaan du­nia. Ini terjadi karena oknum pejabat dan kroni yang sengaja ingin mematikan petani Indo­nesia,” ujarnya.

Diungkapkan, keserakahan dan kejahatan ekonomi tersebut membuat perdagangan monop­olistik yang membunuh perta­nian dan membuat satu bangsa makannya tergantung dari sege­lintir orang. Kejahatan monopo­listik dan ekonomi ini berjalan secara sistematis, karena ok­num pejabat diperalat dan me­nikmati rent seeking. Pedagang berkuasa dengan untung besar dan keuntungan itu digunakan untuk mengatur pemerintah.

Menurut Edi, guna mene­kan kebergantungan pada im­por pangan, pemerintah mesti menjadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pendo­brak membangun entrepreneur nasional. “Menteri BUMN mesti bisa membuka pintu bagi rakyat kecil menjadi enterpreneur dan industriawan baru. Tujuannya agar praktik segelintir konglo­merasi yang mematikan potensi rakyat bisa dihentikan,” katanya.

Peran Kementerian BUMN

Dihubungi terpisah, peng­amat kebijakan publik dari Lembaga Riset dan Strategi Pemerintah, Sri Mulyono me­ngatakan Kementerian BUMN mampu menjadi jembatan un­tuk enterpreneur dan industri­awan baru membangun peme­rataan ekonomi. “Kalau ada program harus buka ke orang baru, jangan ke konglomerat. Jembatan menghapus dispari­tas dan membangun peme­rataan ekonomi bagi rakyat In­donesia,” ujarnya.

Menurut Sri, guna mening­katkan peran negara, seluruh pangan impor harus melalui BUMN, swasta membeli dari BUMN. “Kenapa tindakan drastis ini harus dilakukan, karena Indonesia tidak ada yang me­nyelamatkan kalau bukan diri kita sendiri,” tegasnya.

Kalau ada yang bilang hal ini melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Sri Mulyono mengatakan Indone­sia bisa belajar dari kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang menilai WTO justru men­jalankan aturan perdagangan yang tidak seimbang, memati­kan perdagangan AS. “Di sini­lah Kementerian BUMN bisa menjadi pejuang bagi bangsa Indonesia. BUMN sebagai pusat penampung keuntungan impor dan barang strategis. BUMN juga harus menjadi pendobrak enterpreneurship rakyat jelata,” paparnya.

Sri mengatakan BUMN mesti bisa menjembatani rakyat peng­usaha kecil dan industriawan kecil menjadi kelas menengah serta menjembatani disparitas dan pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat.

“Sebab, Kementerian Perta­nian (Kementan) selama ini ti­dak berperan memperjuangkan petani. Malah Kementan terke­san beraliansi dengan importir. Demikian juga Kementerian Perdagangan bukan menjadi tempat atas perdagangan nasio­nal untuk ekspor,” ungkapnya.

Harga Layak

Sri Mulyono juga menilai pe­merintah selama ini tidak adil. Terbukti, ketika harga produk petani dengan keuntungan la­yak dijual di ibu kota dikatakan mahal. Namun, produk impor dengan harga dua kali lipat di Indonesia Timur yang berlang­sung selama belasan tahun di­nilai tidak masalah.

“Mengapa sejak belasan ta­hun lalu di Indonesia Bagian Timur harga pangan naik dua kali lipat, termasuk BBM tidak dipersoalkan? Padahal, yang diuntungkan adalah orang kaya dan mampu. Mengapa orang Papua, Maluku, dan penduduk pedalaman Sulawesi, Kaliman­tan, dan Sumatera harus mem­bayar pangan lebih mahal dari ibu kota? Sedangkan mereka rakyat miskin, kenapa itu tidak diributkan? “Bukankah ini keti­dakadilan?,” katanya.

Menurut Sri Mulyono, ha­rusnya harga produk petani yang layak juga tidak masalah di ibu kota selama itu produksi nasional dan produktivitas di­tingkatkan sehingga kebutuh­an impor berkurang. Selain itu, jika bisa meningkatkan pro­duktivitas dan kurangi impor, apalagi bisa menghapus impor, uang devisa yang habis untuk petani asing akan berputar di petani dan rakyat Indonesia.

Sri Mulyono menyayangkan kondisi sekarang ini dibiarkan terus dari tahun ke tahun se­hingga ketika krisis seperti yang diperingatkan Badan Pangan Dunia (FAO), semua panik. Pa­dahal, ini terjadi karena negara eksportir menahan barang un­tuk cadangan rakyatnya sendiri.

Akibatnya, di saat kita perlu dan tidak ada pilihan tiba-tiba barang tidak ada, seperti yang terjadi pada bulan puasa lalu, barang pangan hilang dan tidak ada yang bertanggung jawab.

“Di saat krisis mengancam, terbukti yang selamatkan siapa lagi kalau bukan produksi na­sional. Jadi, sistem yang sudah merugikan petani nasional ini harus dibasmi jika ingin berta­han sebagai negara berdaulat dan merdeka,” katanya. uyo/ers/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik

Bupati Solok Selatan Didakwa Terima Suap 3,37 Miliar Rupiah