Pemerintah telah memutuskan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah di Indonesia diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Penyelenggara pemilu telah menjalankan tahapan.
Namun, pada situasi pandemi Covid-19 saat ini, biaya pilkada jadi melonjak. Pasalnya, wajib mengikuti standar protokol Covid 19. Di sisi lain, pilkada berkualitas harus pula dijaga oleh penyelenggara.
“Ongkos pilkada bertambah tinggi, dari Rp15 triliun menjadi Rp20 triliun. Padahal pilkada yang baik itu tidak berbiaya tinggi,” ujar pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan
Dengan kebutuhan sebesar itu, berat bagi pemda dan pemerintah menyediakan anggaran karena dana APBN dan APBD sudah “berdarah-darah” digunakan untuk kepentingan penanganan Covid-19.
Kondisi tersebut membuat pusing kepala. “Bikin pusing tujuh keliling. Di era normal saja, pilkada kita masih banyak masalah. Apalagi kini di masa wabah yang belum terkendali,” kata guru besar IPDN ini.
Selain itu, pemda dan aparat keamanan bisa terpecah perhatiannya antara menangani pandemi dengan mengurus pilkada.
Hal yang lebih mencemaskan lagi, kata mantan Dirjen Otonomi Kemendagri itu, kondisi masyarakat tingkat kedisiplinannya masih rendah dalam menjalankan protokol kesehatan. Sehingga rawan memunculkan kluster baru Covid-19 di pilkada.
Belum lagi tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada yang diprediksi bakal rendah.
Karena itu, lanjut Djohermansyah, agaknya mayoritas negara di dunia memilih menunda dulu pemilihan nasional dan pemilihan lokalnya.
“Toh bila habis masa jabatan kepala daerah bisa diangkat Penjabat Kepala Daerah,” jelas penulis buku “Koki Otonomi” ini.
Selain itu, Pj. Gubernur Riau 2013-2014 tersebut lebih lanjut menjelaskan, di dunia pemerintahan selalu ada solusi untuk mengatasi masalah.
Dalam praktik empirik, Indonesia mengenal pilkada asimetrik seperti di Aceh, Papua, Yogyakarta, dan DKI Jakarta.
Konstitusi membuka pula celah. Pilkada juga bisa dilaksanakan secara demokratis lewat DPRD.
“(Maka) Sebaiknya khusus pilkada 9 Desember 2020 dilaksanakan melalui DPRD saja dengan peserta dari parpol dan perseorangan,” tukasnya.
Dengan sistem tersebut, pendaftaran sampai penetapan pasangan calon jadi tanggung jawab KPU.
Penyampaian visi dan misi dilanjutkan dengan pemilihan hingga pelantikan, ranahnya DPRD.
Untuk mencegah terjadinya politik uang, pengawasan ketat harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengaturannya bisa dengan Perppu, karena mendesaknya waktu.
“Dengan kebijakan itu, insya Allah rakyat bisa selamat dari bahaya virus korona. Negara yang sedang susah tidak perlu pula menambah biaya pilkada. Legitimasi kepala saerah terpilihpun tetap tinggi,” paparnya.
“Bukankah dalam keadaan darurat, barang haram saja bisa dihalalkan, apa lagi bila memang barangnya sudah halal. Semoga menjadi pertimbangan pengambil keputusan,” tambah pakar pemerintahan asal Sumbar itu.(esg)