in

Kita Hasil Pendidikan tak Bermutu?

Pagi Senin 16 Oktober 2017, saya membaca sebuah tulisan dari detik.com yang berjudul Riset Bank Dunia: RI Butuh 45 Tahun Kejar Ketertinggalan Pendidikan. Mengagetkan isinya, tapi juga menantang otak saya berpikir.

Riset Bank Dunia itu memaparkan, Indonesia butuh waktu 45 tahun untuk mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan dalam hal membaca. Sementara untuk ilmu pengetahuan, Indonesia butuh waktu sampai dengan 75 tahun.

Saya tidak tahu persis apa maksud Bank Dunia menghitung-hitung ketertinggalan Indonesia di bidang pendidikan. Tentu ada maksud tertentu; kalau tidak mana mungkin lembaga itu melakukan penelitian yang sudah pasti makan biaya besar. 

Biasanya penelitian mengawali sebuah program. Kalau penelitian itu dilakukan Bank Dunia, hampir dapat dipastikan program itu akan berkaitan dengan uang. Mungkin akan ada skim ’peningkatan kapasitas’ yang mendorong kita berutang lagi ke bank itu.

Suatu hal yang jelas, dengan hasil penelitian itu Bank Dunia menempatkan lembaga pendidikan kita di kelompok yang tidak bermutu. Hasilnya pun manusia tidak bermutu. Tidak pandai membaca dan tidak mengerti ilmu pengetahuan.

Haruskah kita sakit hati membaca laporan itu? Mestinya tidak. Rendahnya kemampuan kita dalam membaca dan ilmu pengetahuan adalah buah yang kita panen setelah puluhan tahun membebek terus kepada pemikiran dan sistem pendidikan Barat. Kepala kita dipenuhi mitos bahwa produk pemikiran dan ramuan pendidikan apa pun di Barat adalah yang terbaik, dan dengan mental inlander yang kita miliki kita merasa tidak perlu membangun identitas keilmuan kita sendiri.

Coba tengok, dari ribuan profesor di Indonesia sudah berapa di antara mereka yang melahirkan teori? Sudah berapa di antara mereka yang berusaha menawarkan rancangan pendidikan dan pikiran-pikiran khas Indonesia yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan? Kalaupun ada, kita harus pakai mikroskop khusus untuk menemukan mereka.

Akademisi kita—boleh jadi saya juga termasuk di dalamnya—tak lebih dari agen-agen pemikiran Barat. Konsep neoliberalisme yang sudah dibuat Hayek tahun 40-an, misalnya, tidak diperdulikan orang di dunia Barat selama hampir lima puluh tahun. Tapi kemudian diterima oleh Thatcher dan Reagan di pertengahan tahun 1990an, dan ternyata begitu mudah diserap oleh akademisi Indonesia. Hanya segelintir yang menolak konsep yang sangat berpihak kepada kepentingan kapitalis itu. 

Demikian juga ketika perempuan-perempuan Yahudi memasarkan ide jahat mereka yang diberi nama feminisme, akademisi Indonesia juga seperti ayam termakan rambut dibuatnya. Mereka menerima tanpa memikirkan apa hidden agenda dari pikiran-pikiran tersebut. Saya pernah menyerukan agar feminisme itu dilarang masuk kampus. Tapi siapa peduli?

Sangat sedikit yang melihat sisi lemah apalagi sisi jahat dari pemikiran Barat yang dikembangkan di Indonesia, alih-alih melontarkan kritik dan menawarkan sesuatu yang baru. Kalau kelemahan itu dipertanyakan-jawaban yang biasa kita dengar: kita tak punya dana.

Tak punya dana? Itu argumen palsu. Banyak akademisi yang hidup makmur, punya mobil bagus dan rumah bagus. Tapi, kualitas pemikiran mereka tidak ada bedanya dengan yang tidak punya mobil dan rumah bagus. Seharusnya, jika memang komit kepada ilmu pengetahuan, mereka tidak mengedepankan properti dalam keseharian, yang membuat mereka kelihatan hebat di jalan raya. Harusnya mereka tidak mengambil terlalu besar dari anggaran penelitian, agar hasil penelitian mereka berkualitas.

Untuk keluar dari ketertinggalan yang begitu parah akademisi, mestinya bertekad untuk memerdekakan diri dari penjajahan kognitif Barat. Sekarang ini, setelah terjajah secara kognitif, kita jadi orang asing pula secara afektif dan konatif di negeri sendiri. Kita nyaris jadi alien.

Ke depan, kita harus menata ulang konsep ilmu pengetahuan, mengembangkan pemikiran yang tune in dengan realitas kehidupan dan nilai-nilai budaya kita, dan selanjutnya mewariskan pemikiran itu melalui sekolah-sekolah. 

Harus ada keberanian melakukan perubahan. Bukankah dulu orang-orang Eropa dan Amerika juga tidak punya konsepsi sains dan belajar dari orang-orang Arab dan Persia? Mereka tidak lahir dengan keistimewaan, bahkan lebih bodoh dari kita sekarang. Tapi, mereka bisa menjadi imperialis di bidang sains karena istiqomah mengejar ketertinggalan. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Pemerintah Bersedia Revisi UU Ormas

Perbatasan Sumbar Pintu Masuk Narkoba