» Ruang fiskal harus ditingkatkan untuk menaikkan belanja guna mengatasi kesenjangan infrastruktur.
JAKARTA – Bank Dunia dalam risetnya menyebutkan Indonesia (RI) diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar 1,6 triliun dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 22 ribu triliun rupiah (asumsi kurs 14 ribu rupiah per dollar AS) untuk menutupi kesenjangan infrastruktur. Total kebutuhan anggaran itu lebih besar dibandingkan dengan ukuran ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
“Nilai sebesar ini melebihi kapasitas keuangan publik untuk membiayainya,” sebut Lembaga tersebut dalam risetnya bertajuk Kajian Belanja Publik Indonesia: Untuk Hasil yang Lebih Baik, yang dikutip pada Selasa (30/6).
Perkiraan kebutuhan investasi itu sesuai dengan perhitungan rencana investasi Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 dan 2020-2024. Dalam rencana investasi Indonesia menurut RPJMN 2015–2019 kebutuhannya sebesar 415 miliar dollar AS atau sekitar 5.810 triliun rupiah, sedangkan RPJMN 2020–2024 membutuhkan biaya sebesar 412 miliar dollar AS atau sekitar 5.768 triliun rupiah.
Menurut riset tersebut, jika pemerintah mempertahankan alokasi belanja untuk perumahan dan tidak melibatkan sektor swasta, maka butuh waktu hingga 26 tahun untuk menutup kekurangan biaya pembangunan perumahan di dalam negeri. Sebab itu, pemerintah harus meningkatkan ruang fiskal untuk menaikkan belanja demi mengatasi kesenjangan tersebut.
“Namun, ini akan menjadi lebih sulit disebabkan dampak krisis dari penyebaran virus korona,” sebut Bank Dunia.
Beberapa langkah untuk meningkatkan ruang fiskal yang bisa dilakukan, antara lain berupaya meningkatkan penerimaan domestik khususnya dari pajak, meningkatkan kualitas belanja publik dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitasnya, serta melakukan pinjaman secara hati-hati oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Menjadikan belanja publik lebih efisien dan efektif sangat penting karena dapat membantu meningkatkan investasi swasta di bidang-bidang yang penting bagi modal manusia dan modal fisik,” jelas Bank Dunia.
Berkaitan dengan tingginya kebutuhan pembiayaan infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah mengalihkan dana pembangunan infrastruktur tahun ini sebesar 36,19 triliun rupiah untuk membantu menangani pandemi Covid-19. Dana tersebut merupakan bagian dari Daftar Isian Paket Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2020 senilai 120 triliun rupiah. Realokasi itu merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 tentang “Refocussing” Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Partisipasi Swasta
Direktur Center for Sustainable Infrastruktur Development (CSID) Universitas Indonesia, Mohammed Ali Berawi, kepada Koran Jakarta, Selasa (30/6), mengatakan estimasi Bank Dunia mengenai gap infrastruktur Indonesia yang butuh 22 ribu triliun rupiah sebenarnya berbasis pada kebutuhan infrastruktur yang baik bagi sekitar 270 juta penduduk Indonesia. Infrastruktur itu mulai dari transportasi publik, air bersih dan sanitasi, perumahan, energi, telekomunikasi, infrastruktur pendidikan, dan sosial.
“Pembangunan infrastruktur akan meningkatkan kualitas taraf hidup dan pengentasan kemiskinan, peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan yang berkeadilan,” kata Ali.
Menurut dia, untuk mengurangi gap infrastruktur, kebutuhan dana pembangunan infrastruktur di estimasi sebesar 6.400 triliun rupiah hingga 2024 dengan harapan partisipasi swasta sekitar 40 persen dan BUMN 20 persen. Alternatif pendanaannya bisa dari pasar modal, obligasi daerah, pemanfaatan dan optimasi aset negara, hingga dana asuransi dan crowd funding.
“Jenis pendanaan disesuaikan dengan waktu dan skala pembangunan proyek infrastruktur,” paparnya. n uyo/E-9