Sudah cukup lama saya tinggal di Kota Padang. Hampir 30 tahun. Dari tahun ke tahun, banyak hal yang berubah dari Kota Bengkuang ini. Dari yang dulunya ada terminal, sekarang entah bagaimana ceritanya. Dari yang dulunya tak ada mall, sekarang warga sudah bisa memilih untuk berbelanja di mana. Tak hanya mall, mini market juga berjibun banyaknya. Dari Minang Mart hingga sejumlah nama yang memakai akhiran mart. Lapau sepertinya kehilangan taji. Mungkin pemilik lapau sudah bosan dihutangi.
Banyak hal positif dari segi pembangunan yang nampak terus menggeliat. Wisata contohnya. Pantai Purus yang dulu sepi, sekarang sudah ramai karena hamparan pasirnya sudah bersih dan nyaman untuk bersantai. Pulau-pulau yang berada di kawasan Kota Padang pun juga mulai dilirik wisatawan lokal maupun asing untuk menghabiskan liburan.
Pokoknya banyak perubahan yang terjadi di Kota Padang. Ya walaupun kadang ada juga segelintir orang yang menilai Kota Padang terlalu lamban dalam pembangunan, tapi Padang hari ini patut diacungi jempol. Apalagi sempat diruntuhkan gempa pada tahun 2009 silam.
Saya sering keliling Kota Padang, ke mana pun angin membawa. Satu hal mulai membuat saya dan juga para pengendara lainnya mulai resah dan tak jarang terpancing amarah ketika melaju di jalan raya, yakni kemacetan. Apalagi jalan raya di akhir minggu, dan saya pun nyeletuk, “Padang sudah rasa Jakarta.”
Jika benar Kota Padang sedang melaju menuju cap kota metropolitan, ya memang begitulah keadaannya, kemacetan akan menyertai. Warga butuh kendaraan pribadi, proses kredit motor semakin mudah, dan jadilah jalan raya penuh dengan kendaraan.
Pemerintah Kota Padang pun dari tahun 2014 sudah mencoba untuk mengurangi kemacetan dengan mengoperasikan Trans Padang. Kabarnya, pada 2017 ini ada tambahan 10 unit bus, maka Kota Padang akan memiliki total 35 bus Trans Padang. Ya cukuplah, walau belum maksimal dimanfaatkan oleh warga.
Kemacetan bukan masalah sepele, dan pasti juga berdampak buruk terhadap perekonomian. Berdasarkan survei yang dibuat oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta, kemacetan di Jakarta membuat ongkos transportasi membengkak 2,9%. Selain biaya transportasi, perusahaan terpaksa harus menaikkan biaya persediaan bahan baku. Ujungnya, keuntungan yang diperoleh pengusaha pun berkurang.
Dari hasil survei BI tersebut diketahui bahwa kemacetan dirasakan korporasi sehingga mengurangi laju lalu lintas 30 persen, dampaknya 2,9 persen biaya transportasi meningkat sehingga mengakibatkan profit margin perusahaan turun. Bagaimana tidak, kemacetan mengakibatkan waktu tempuh perjalanan menjadi lebih lama, sehingga banyak waktu yang hilang selama diperjalanan. Jarak yang sama jika dalam keadaan normal bisa ditempuh dalam 1 jam, karena kemacetan menjadi 2 jam, bahkan 4 jam. Masyarakat telah kehilangan waktu 1 jam di perjalanan.
Tidak saja berdampak buruk pada perekonomian, kemacetan juga pencipta polusi, baik itu polusi udara maupun polusi suara ikut berkontribusi di dalamnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika hal ini terus-menerus terjadi. Penyakit pernafasan, kanker dan kelainan-kelainan lain akibat pencemaran logam pun bisa terjadi. Jika kendaraan dinyalakan dalam keadaan diam atau tidak bergerak, kendaraan akan mengeluarkan gas-gas beracun akibat pembakaran yang tidak sempurna, apalagi kemacetan yang sangat padat, pasti akan menimbulkan akumulasi gas-gas beracun yang dihasilkan. Keadaan ini akan memicu penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), memicu kanker otak, menurunkan fungsi otak, bahkan kematian.
Selain kesehatan tubuh, kesehatan jiwa juga terancam. Stres, frustasi, dan timbulnya rasa tertekan adalah efek dari kemacetan. Bagaimana tidak, seharusnya hanya 20 menit sampai tujuan, namun ini bisa sampai satu jam lebih, bahkan dua jam. Situasi ini juga pastinya tidak dialami satu kali atau dua kali, tapi hampir setiap hari. Sedangkan tubuh kita tidak dirancang untuk bisa menahan stres dalam jangka waktu yang lama.
Keadaan jiwa yang stres, frustasi dan sejenisnya pun gampang tersulut emosi dan bersikap agresif di jalan raya. Saling memaki, ganti berganti meneriaki nama binatang, bercarut-marut dan ada juga yang sampai adu jotos.
Begitulah jalan raya di kota metropolitan, dan Kota Padang yang melaju menuju predikat metropolitan. Seberapa siap kita? Membiarkan kemacetan terjadi atau menanggulangi?
Di kota besar, Jakarta misalnya, pengendara di sana bisa dibilang sudah pasrah dengan kemacetan. Mau tak mau harus mau. Walau ada segelintir yang terbakar emosi gara-gara terjebak kemacetan, namun sebagian besar sudah maklum. Kalau kendaraan tersengol atau disengol, biasanya tak menjadi api emosi ataupun berkelahi. Senyum pun lebih baik, atau paling tidak tak menanggapi sama sekali. Ya, bagaimana lagi? Namanya juga terjebak kemacetan.
Jika iya Kota Padang mau juga predikat metropolitan itu, tidak masalah. Tidak saja pemerintahnya, warga kota juga mesti bersiap dari sekarang. Kalau tersenggol jangan cepat tersulut emosi, dan jangan pula gampang diprovokasi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.