Dalam perjalanan kereta api dari Clayton ke Melbourne beberapa minggu lalu, saya menyaksikan nyaris semua penumpang asyik dengan gadget mereka sendiri: mengirim SMS, menelpon, dan mengambil gambar. Sebagian tertawa sendiri saat jari-jemari mereka bermain dengan ponsel di tangan. Saya masih ingat selama studi di Canberra pada 2007, kebanyakan orang lebih suka menghabiskan waktu mereka membaca di atas bus ketimbang menggunakan ponsel sekadar utuk menyibukkan diri.
Terlepas dari pertumbuhan ponsel yang kian membesar dan tak terelakkan sebagai cara paling populer untuk mengakses internet, kecanduan terhadap gadget telah melahirkan zombie baru,orang menjadi budak gadget sehingga tidak menyadari lingkungannya sendiri. Hal ini kian relevan tatkala perilaku meng-update dan melihat akun media sosial telah berubah menjadi hiburan favorit. Berkat kecanduan gadget, media sosial secara ironis telah menghasilkan prilaku anti sosial.
Satu anggota keluarga tak jarang sibuk mengotak-atik gadget masing-masing tanpa saling berkomunikasi saat menunggu hidangan di sebuah restoran. Banyak perkawinan berantakan akibat penggunaan media sosial yang terlalu banyak, mengubah smartphone menjadi “mitra” baru. Terkadang orang beralih ke gadget untuk menghindari situasi sosial.
Efek anti-sosial dari media sosial ini sebetulnya sangat terkait erat dengan esensi teknologi. Diciptakan dengan tujuan membuat kehidupan lebih efisien, media sosial sebagai komponen kemajuan teknologi telah berperan meneguhkan individualitas. Apa yang kita inginkan dapat ditemukan secara online, semua pertanyaan yang mendesak dapat dijawab hanya dengan satu sentuhan jari. Kita lebih senang mengobrol dengan teman online di tempat lain melalui ponsel daripada berbicara dengan teman offline—seseorang yang duduk di sebelah di atas bus atau kereta api.
Sejumlah pengguna media sosial ekstrim memperkuat identitas mereka dengan mendirikan klub sosial yang anti-sosial (anti-social social club). Klub semacam itu menarik orang-orang yang suka terhubung dengan orang-orang secara online namun abai dengan lingkungan sekitar. Mereka menganggap bahwa sikap anti-sosial bukanlah skandal melainkan merupakan ekspresi dari kebebasan tingkat tinggi. Mereka yakin bahwa menjadi kelompok anti-sosial adalah upaya mereka menggagalkan apa yang mereka anggap sebagai hilangnya privasi.
Anak-anak muda kini lebih memilih menggunakan kategori media sosial yang tidak bisa diakses orang tua mereka sebagai cara untuk melindungi privasi. Sebagai misal, mereka memilih membuka akun Instagram alih-alih Facebook. Instagram dianggap memiliki tingkat privasi yang lebih dibandingkan Facebook karena tidak bisa diakses begitu saja secara bebas.
Syukurlah ternyata masih banyak pihak yang tetap memiliki rasa hormat yang besar terhadap kemanusiaan. Mereka percaya bahwa kedamaian berarti menjauhkan diri dari desakan media sosial pada khususnya dan internet pada umumnya. Banyak CEO dan spesialis IT menghabiskan liburan mereka di daerah-daerah yang tak ada jaringan internet tanpa smartphone.
Dalam upaya mereka untuk mencegah kecanduan media sosial dengan kecenderungan anti-sosial yang kuat, orang-orang yang sudah muak dengan media sosial dan internet kini beralih ke action game. Orang mungkin berpendapat bahwa bermain action game dan keranjingan media sosial memberikan dampak yang sama; sikap anti-sosial yang akut.
Anggapan ini ternyata keliru. Daphne Bavelier, seorang profesor di Universitas Jenewa dan ahli internasional menyangkut pembelajaran manusia, telah membandingkan kemampuan visual gamer dan non-gamer. Ia menemukan bahwa seseorang yang memainkan action video memiliki performa lebih baik daripada mereka yang tidak memainkan action video.
Teorinya adalah bahwa orang yang ligat dan cepat bermain action game amat cekatan mengalihkan perhatian dari satu layar ke layar lainnya seraya pada saat yang sama tetap menaruh perhatian terhadap kejadian apapun di sekitarnya. Singkatnya mereka piawai melakukan banyak tugas (multitasking) tanpa mengabaikan lingkungan mereka.
Tidak ada yang salah dengan media sosial. Ia amat krusial dalam melawan media arus utama yang makin dijejali oleh kepentingan tertentu. Pelbagai media sosial seperti Facebook dan Instagram memberi sinyal bahwa persepsi publik makin beralih lebih personal. Namun, keranjingan besar kepada media sosial bakal kontraproduktif dan berbahaya bagi hubungan manusia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.