Perkembangan pengguna media baru (new media) semakin meluas di seluruh dunia. Bagi masyarakat Indonesia, media baru bukan merupakan hal yang asing lagi. Keakraban masyarakat kita dengan media baru sudah menjadi gaya hidup (life style) apalagi di masyarakat perkotaan. Dari individu-individu hingga perusahaan-perusahaan media telah menggunakan media baru dengan berbagai tujuan maupun kepentingan.
Dalam kurun sepuluh tahun terakhir misalnya setiap grup media besar di Indonesia terus berupaya agar mereka dapat masuk ke ranah new media. Media konvensional tetap dipertahankan namun para perusahaan media besar tersebut juga merambah pada media baru sebagai respons atas perkembangan teknologi dan media saat ini. Sebagai contoh grup Kompas Gramedia memiliki Kompas.com dan tribunnews.com, grup EMTEK mempunyai Liputan6.com, Jawa Pos Group dengan jejaring JPNN.com, CT Corps mempunyai detik.com, MNC Media mempunyai okezone.com dan masih banyak lagi. Tidak hanya media baru yang bergenre portal berita online, media sosial meramaikan industri media baru di Indonesia. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line dan sebagainya.
Dengan berbagai macam jenis media saat ini, tentu memberikan berbagai alternatif bagi publik untuk menggunakan jenis media apa yang digunakan untuk mendapat atau menyebarkan informasi. Jika dahulu pada era 1980-1990-an, mungkin kita masih sering melihat momen-momen ketika suatu keluarga berkumpul di ruang tengah atau ruang keluarga dan menikmati siaran televisi secara bersama-sama. Hal itu tentu menjadi momen penting yang sangat membahagiakan bagi keluarga. Sebab, saat-saat itulah akan terjadi interaksi dan komunikasi yang lebih santai antar anggota keluarga misalnya nenek kita mengomentari tayangan televisi tersebut kemudian disambung oleh komentar anggota keluarga lainnya.
Untuk saat ini, fenomena tersebut tentu tidak ditasakan lagi sebagai kesan untuk berkumpul keluarga akibat perubahan era penggunaan media yang berdampak pada pola perilaku individu dan kehidupan sosial. Kini pengguna media baru dengan menggunakan ponsel begitu tinggi. Data yang dilansir dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hasil survei Oktober 2016 menjelaskan bahwa pengguna ponsel pintar dalam menggunakan browsing melalui internet di Indonesia kini telah mencapai 89,9 juta orang. Ini artinya kurang lebih sepertiga penduduk di Indonesia telah memiliki akses terhadap media baru.
Besarnya pengguna ponsel serta akses terhadap media baru membuat media konvensional seperti televisi, radio dan media cetak tidak lagi sepenuhnya menjadi sumber utama bagi segelintir penduduk Indonesia dalam menemukan informasi baik yang bersifat berita maupun hiburan. Bahkan pada konteks tertentu media baru justru mempengaruhi media konvensional.
Seseorang berdiam diri sambil menggenggam ponsel dapat mencari bahkan sekaligus menyebarkan informasi kepada orang lain. Informasi itu dapat menjadi viral yang dengan cepat menyebar kepada khalayak. Dalam banyak kasus viral yang tersebar melalui ponsel ramai dibicarakan publik hingga ke ruang-ruang media konvensional bahkan ke ruang privat. Kasus Jessica yang marak atau isu-isu politik pilkada dapat menjadi contoh atas fenomena tersebut.
Perilaku New Media
Perilaku penguna internet di Indonesia berdasarkan data hasil survei Oktober 2016 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menjelaskan bahwa Konten komersial yang sering dikunjungi publik adalah 82,2 juta online-shop dan sedangkan konten sosial media Facebook 71,6 juta (54 %), Instagram 19,9 juta (15 %) dan Youtube 14,5 juta (11%).
Di Indonesia pola konsumsi dan perilaku pengguna media baru cukup unik. Berdasarkan survei yang dilakukan Nielsen pada tahun 2015 terdapat perbedaan yang menarik pada pola konsumsi media antara kota-kota di Jawa dan luar Jawa. Konsumsi media televisi di luar Jawa masih lebih tinggi jika dibandingkan konsumsi televisi di Jawa. Sementara itu konsumsi internet atau media baru di Jawa lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan media baru di Indonesia berpotensi dalam mengubah perilaku pemirsa dalam mengkonsumsi media dari media konvensional seperti televisi, radio dan cetak ke media yang berbasis digital. Dalam komunikasi massa, terdapat teori Uses and Gratifications yang menjelaskan bahwa pengguna media secara selektif memilih informasi yang ia butuhkan berdasarkan kebutuhan personal atau ketertarikannya. Berbeda dengan media konvensional yang sifatnya menyuguhkan informasi, melalui media baru penggunanya dapat lebih bebas memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhannya saat itu seperti mendengarkan musik, mencari berita atau menemukan informasi mengenai biaya hotel sekalipun.
Graeme Burton dalam bukunya Media and Society (2005) menjelaskan bahwa dengan keaktifan seperti itu, pemirsa mampu membuat pilihan media yang akan digunakan, dan cenderung lebih kritis dalam memproses informasi yang ia terima. Dengan semakin membludaknya informasi di media baru, maka pemirsa atau audiens dapat bersikap lebih aktif untuk memproses atau mencari kebenaran dari informasi yang ia peroleh melalui beberapa media sekaligus.
Di sisi lain keaktifan pengguna media baru dapat juga berefek negatif. Informasi yang secara subjektif mereka anggap benar, namun belum terbukti kebenarannya dapat secara cepat menjalar (viral) ke berbagai user lainnya. Sebagai contoh, kita sering mendapatkan informasi yang kadang menyebarkan kebencian kepada orang padahal informasi itu tidak benar atau bahkan informasi tersebut palsu di media sosial.
Ke depan, masyarakat yang menggunakan media baru akan semakin bertumbuh dan tentunya pola perilaku konsumsi media akan terus tergantung kebutuhan penggunanya. Menggunakan media baru dengan mengisi konten-konten positif dan selektif merupakan upaya membangun peradaban masyarakat yang lebih baik di masa depan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.