in

Melacak Gua Lida Ajer yang Berada di Lahan Bekas Pabrik Marmer

Sering Didatangi Peneliti, Tempat Simpan Mortir dan Semedi

Dikepung bukit-bukit yang dihuni binatang buas, Gua Lida Ajer punya sejarah panjang. Digali peneliti Belanda sejak 1880-an, gua yang berada di lahan garapan bekas pabrik marmer itu tidak hanya menyimpan fosil homo sapiens, tapi juga memendam banyak cerita mistis. Pernah menjadi tempat penyimpanan mortir dan pembiakan walet. Dulu, lorongnya diyakini tembus ke goa lain. Jauh dari permukiman penduduk. 

Nama lengkapnya adalah Eugene Francois Thomas Dubois. Namun, dunia lebih mengenalnya sebagai Eugene Dubois. Dalam usia 26 tahun, pria berkebangsaan Belanda yang lahir 28 Januari 1858 dan wafat 16 Desember 1940 tersebut sudah meraih gelar dokter di Universitas Amsterdam. Dua tahun kemudian, Dubois diangkat sebagai dosen anatomi di kampus itu.

Dubois bukanlah akademisi yang suka duduk di atas meja. Dokter muda ini gemar meneliti fauna dan manusia purba. Maklum, Dubois adalah pemuja teori Charles Darwin. “Dia yakin betul dengan teori Darwin tentang missing link dan descent of man,” kata Profesor Riset Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Republik Indonesia ketika dihubungi Padang Ekspres, Senin (4/9).

Ketertarikan Dubois akan teori Charles Darwin, membuatnya ingin betul datang ke nusantara. Ini diakuinya dalam tulisan berjudul “Over de wenschelijkheid van een onderzoek naar de diluviale fauna van Ned. Indié, in het bijzonder van Sumatra” (Relevansi Penelitian tentang Penelitian Fauna di Hindia Belanda khususnya Sumatera). Tulisan tersebut diterbitkan Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië Published (Majalah Fisika untuk Hindia Belanda) edisi 49 tahun 1888.

Selain tertarik dengan teori Charles Darwin, Dubois meyakini nusantara sebagai wilayah tropis merupakan tempat tinggal terakhir anthropoid prasejarah. Keyakinan ini membuat Dubois nekat mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda, untuk bergabung dengan tentara kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang kala itu sedang menduduki nusantara. 

“Dubois akhirnya diterima sebagai perwira kesehatan KNIL yang datang ke Sumatera,” kata Truman Simanjuntak. Hal ini juga diceritakan Kepala Balai Penelitian Nilai Budaya Sumbar Nurmatias dan sejarawan dari Universitas Andalas Padang Wannofri Samri saat dihubungi Padang Ekspres secara terpisah, pekan lalu.

Nurmatias dan Wannofri menyebut, Dubois bertolak dari Hindia Belanda menuju nusantara pada akhir 1887. Kapal yang ditumpanginya bersama KNIL mendarat di Emmahaven atau Pelabuhan Telukbayur, Padang. Dari pelabuhan yang dipopulerkan Erni Djohan lewat lagunya itu Dubois terus ke Payakumbuh. 

“Di Payakumbuh, Dubois bertugas di rumah sakit setempat. Di senggang waktunya, ia mendatangi goa-goa yang ada, mencari dan meneliti fosil-fosil,” kata Harry Simanjuntak. Goa yang paling lama dimasuki dinamai Dubois dalam laporannya sebagai Goa Lida Ajer. 

Enam bulan berada di goa tersebut, Dubois menemukan fosil-fosil. Tapi, tidak ditemukan kerangka utuh. “Dia frustasi. Dan, baru bergairah kembali setelah mendapat kabar insinyur Belanda di Pulau Jawa menemukan kerangka manusia. Dia akhirnya ke Jawa dan kemudian tercatat sebagai penemu pithecanthropus erectus atau homo erectus,” jelas Nurmatias.

Meski tenggelam dalam lautan penelitian homo erecetus (manusia Jawa), tapi Dubois tetap memboyong fosil-fosil yang ditemukannya di Sumatera, terutama fosil dari Goa Lida Ajer. Siapa nyana, delapan tahun setelah Dubois wafat, persisnya pada 1948, seorang pelancong Belanda bernama Dirk Albert Hooijer meneliti kembali fosil-fosil temuan Dubois di Sumatera, terutama fosil berbentuk gigi. 

Hooijer yang lahir di Medan 30 Mei 1919, dan wafat di Bogor 26 November 1993, mengidentifikasi fosil gigi yang ditemukan Dubois di Goa Lida Ajer mirip dengan gigi manusia modern. Tapi, Hooijer tidak berani memastikan. Sejak itu banyak dugaan muncul. Penelitian pun berlanjut.

Puncaknya, Agustus lalu, tim ilmuwan dari Australia, Indonesia, Amerika Serikat, Jerman dan Inggris, dipimpin KE Westaway atau Kira Westaway dari Macquarie University Sydney, memastikan fosil gigi yang ditemukan Dubois di Goa Lida Ajer, memang fosil gigi manusia modern atau homo sapiens. Tim yang mengandalkan teknologi, meyakini gigi tersebut berusia antar 63 ribu hingga 73 ribu tahun lalu.

Sontak, jagat ilmiah pun “geger” dengan penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature tersebut. Di Indonesia, khususunya di Sumbar, banyak yang penasaran di mana letak Goa Lida Ajer. Pasalnya, tim peneliti hanya menyebut goa itu berada di selatan Kota Payakumbuh. Padang Ekspres pun menelusurinya.

***

Kaki Gito Roles,37, penuh lumpur. Ditemui di Jorong (Dusun) Sialang, Nagari (Desa) Tungkar, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Minggu pagi (3/9), buruh tani yang rajin menggali kuburan dan cekatan menebang bambu ini, sedang membantu familinya mendirikan panggung kenduri di atas kolam ikan.

Meski sedikit kaget dengan kedatangan Padang Ekspres, tapi Gito ditemani mantan Kepala Jorong Sialang Mitra Zulherman, tidak kehilangan sifat ramahnya. “Iya, saya ingat. Dua tahun lalu, ada tiga turis datang ke sini. Dua orang bule dan satu penerjemah. Waktu itu, mereka minta diantar ke Ngalau Lidah Aia. Tapi mereka menyebut Goa Lida Ajer,” kata Gito. 

Dia mengaku mengantar ketiga turis itu ke goa dimaksud. “Tapi, sebelumnya saya sempat lapor dulu ke Pak Di’im (warga yang mengelola goa tersebut, red), karena dulunya goa itu kan berada di lahan pabrik marmer tempak Pak Di’im bekerja. Kemudian, Pak Di’im juga memegang kunci terali sarang walet yang ada dalam goa itu,” ungkap Gito. 

Setelah dapat izin dari Pak Di’im yang bernama asli Alwadrim, Gito akhirnya berjalan kaki ke Goa Lida Ajer. “Sampai di sana, dua turis itu langsung mengambil gambar, mengukur tinggi dan luas goa. Mereka masuk ke lorong dalam goa. Saat badan tak bisa lagi lewat, mereka bahkan tiduran. Mereka juga sempat mengambil gigi di langit goa. Ada dua gigi, tapi hanya satu yang bisa diambil. Satunya lagi, masih di sana,” tuturnya.

Sayang, Gito tidak tahu siapa nama warga negara asing yang ditemaninya itu. “Saya tak tahu namanya. Tapi, di antara mereka, ada yang bisa bahasa Indonesia. Mereka bawa buku tebal. Ada peta Belanda juga mereka perlihatkan. Waktu mereka pulang, saya dikasih uang Rp 250 ribu,” kenang Gito.

Meski tak tahu siapa nama warga negara asing yang diantarnya, tapi dapat dipastikan mereka memang tergabung dalam tim ilmuwan yang melanjutkan penelitian Eugene Dubois. Dugaaan Padang Ekspres, salah satu pria yang ditemani Gito itu adalah Dr Gilbert Priece dari Sekolah Ilmu Bumi dan Lingkungan, Universitas Queensland, Brisbane, Australia. 

Dugaan ini makin menguat manakala di laman leakeyfoundation.org terpampang foto Gilbert bersama Gito yang sedang duduk di pintu Goa Lida Ajer. “Iya, ini orangnya. Itu sekitar dua tahun lalu. Tapi saya tidak ingat bulan dan harinya,” kata Gito sambil tersenyum melihat laman website yang diakses Padang Ekspres.

Di laman itu pula Dr Gilbert menceritakan kesulitan timnya menemukan Goa Lida Ajer. Sebab, ada beberapa goa yang bernama Lida Ajer (secara harfiah berarti Lidah Air). Tak hanya Dr Gilbert. Pemimpin tim penelitian ini, Kira Westaway sebagaimana dikutip sejumlah media terbitan luar negeri pun menceritakan betapa sulit mencari goa berjarak sekitar 2 kilometer dari permukiman penduduk ini.

Tim peneliti berjumlah 23 orang dari berbagai universitas di dunia, bekerja dengan cinta sejak 2008. Pekerjaan paling sulit adalah menemukan letak Goa Lida Ajer. Bahkan, menurut Kira, timnya sempat meminta catatan perjalanan Dubois, berikut peta yang tersimpan di Belanda.

Jauh sebelum Gito menemani Dr Gilbert dkk, warga Nagari Tungkar mencatat, dua kali rombongan peneliti datang ke kampung mereka. “Kedatangan pertama, persis saat di Sumatera Barat, baru dilaksanakan kembali program kembali ke pemerintah nagari. Saya waktu itu dipercaya jadi kepala Jorong Sialang. Pada suatu hari, datang pemuda memberitahu, bahwa ada turis yang hendak ke Goa Lida Ajer,” kata Muhammad Amin, mantan Kepala Jorong Sialang.

Amin yang guru bahasa Inggris di Pondok Pesantren Al-Makmur Tungkar, memanggil turis yang datang pertamakali ke Goa Lida Ajer itu sebagai Mr Jhon. “Lengkapnya saya tidak ingat. Waktu itu, mereka membawa peta Belanda sebagai penunjuk jalan,” kata guru yang punya hubungan emosional dengan musisi Ikang Fawzi ini.

Sedangkan kedatangan kedua tim penelitian ke goa ini, tercatat hampir dua tahun silam. “Waktu itu sedang musim durian. Yang datang, mengaku dari Australia dan Amerika. Tapi, ada penerjemahnya dari Indonesia. Saya waktu itu ikut menemani. Kami sempat makan durian bersama,” ujar Pak Di’im, mantan Kepala Jorong Dalam Nagari.

Menurut Pak Di’Im yang sudah masuk ke Goa Lida Ajer sejak 1980-an, goa ini berada di antara Jorong Sialang dengan Jorong Dalam Nagari. “Waktu muda-muda, kami sering tanak-tanak (masak-masak) di goa ini. Di pintu masuk dan di dalam goa, dulu saat digali, ada banyak mortir. Kata orang tua-tua, peninggalan zaman PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia),” ujarnya.

Dijelaskannya, Goa Lida Ajer lebih dikenal penduduk Nagari Tungkar yang dulunya masuk wilayah Kabupaten Tanahdatar, dan baru pada 1950-an bergabung dengan Limapuluh Kota, sebagai Ngalau Lidah Aia. “Dulunya, goa ini merupakan tanah milik Datuak Munap dari Suku Melayu yang kemudian dijual kepada PT Marmers Sumbar Nur Agung. Saya juga pernah bekerja di pabrik marmer ini,” bebernya.

Berdasarkan catatan Pemerintah Nagari Tungkar, perusahaan marmer tersebut dulunya mengelola lahan seluas 16 hektare. Perusahaan beraktivitas mulai tahun 1981 dan berakhir tahun 2001. Bekas pabrik belakangan menjadi tempat penggalian batu bagi penduduk.

“Dulu, pihak perusahaan pernah membuat jalan dari Sialang ke Tungkar, melewati Goa Lida Ajer, tapi tak jadi tembus, karena pemilik lahan di ujung lahan Datuk Munap atau dekat goa tidak mengizinkan,” kata Pak Di’im yang saat ditemui Padang Ekspres akhir Agustus lalu sedang menyabit rumput di kandang sapinya.

***

Tidak mudah memang menjangkau Goa Lida Ajer. Akses dengan sepeda motor hanya dua pertiga perjalanan. Selebihnya harus berjalan kaki mendaki bukit. Mereka yang tak biasa hiking, dijamin bakal ngos-ngosan setiba di pintu goa ini. Di sekitar goa hutan dan perbukitan yang berlembah. Tak ada rumah penduduk.

Menurut Zulkasmi Datuk Majo Anso, 62, niniak-mamak (pemangku adat) di Nagari Tungkar yang menemani Padang Ekspres akhir Agustus lalu, ada akses tiga jalan yang bisa dilalui untuk sampai ke goa tersebut. Dua jalan terdapat di Jorong Dalam Nagari, dan satu lagi berada di Jorong Sialang. Kedua jorong ini bertetangga. 

Kami memilih melewati jalan yang dibangun dari proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Jorong Dalam Nagari. Warga menyebutnya Jalan Bawah Baringin. Dari jalan ini, kami melewati areal persawahan yang disebut warga sebagai Sawah Di Ateh, Sawah Luluih, Lereng Sidayu, Kobuntuo, dan Sawah Nan Godang. 

Sepanjang perjalanan, Zulkasmi menceritakan sisi lain goa ini. Selain menyimpan misteri homo sapiens, goa ini dikenal angker. Konon, tahun 1970-an, mereka yang masih percaya dengan ilmu kebathinan, sering bersemedi di dalam goa. “Saya pernah bertemu, lima hingga enam orang yang bertapa di goa ini. Tapi sekarang sepertinya tak ada lagi,” kata Zulkasmi. 

Kami sampai di jembatan kecil yang melintasi Batang Sadayu atau Batu Losuang. Dari tempat ini, sepeda motor masih bisa lewat sampai kawasan Ujuangtanjuang. Setelah itu, kami harus berjalan kaki ke kawasan Atehtanjuang. Terus ke Ngarai Sibuku dan Batubagoluang. Dua tempat terakhir berada di perbukitan yang dipenuhi semak-belukar dan akar berduri. Binatang liar sering bersarang di sana.

Saat kami tiba di Batubagoluang, jejak-kaki binatang seukuran telapak tangan anak-anak, terlihat jelas di tanah yang lembab. Padang Ekspres mengira itu jejak beruang atau bisa jadi harimau. Tapi, Zulkasmi lekas menghilangkan kepanikan.

“Ini jejak-jejak babi hutan. Kalau harimau atau beruang tak seperti ini. Di kawasan ini, memang ada harimau. Tapi, tinggal sepasang. Dan, tidak mengganggu orang. Malah menjaga bukit. Jadi jangan khawatir. Lagi pula, kita tidak berniat jahat datang ke tempat ini,” ujarnya saat kami mendaki kawasan Batubagoluang.

Usai pendakian, kami akhirnya sampai di pintu masuk goa. “Alhamdulillah. Kita sudah sampai. Saya kira tadi pintunya sudah tertimbun karena aktivitas pabrik marmer dulu. Ternyata tidak. Ayo, kita ke dalam,” kata pria bergelar Datuak Majo Anso ini, sambil mengucapkan salam. 

Dia mengaku, sudah lama sekali tak datang ke Goa Lida Ajer. “Saya datang ke goa ini sejak 1970-an. Sebab, dari kecil, saya sudah tinggal di kawasan perbukitan Kojai ini. Dulunya, di bawah sana (di bawah perbukitan), ada perkampungan. Ada pokan (pasar desa). Namun, waktu perang saudara, penduduk disuruh tentara PRRI pindah ke pusat nagari,” kenang Zulkasmi.

Saat kami tiba di pintu goa, sekuntum anggrek putih sedang mekar. Goa yang sepi itu terlihat jadi indah. Di atas pintu goa, tiga pohon tampak tumbuh menjulang ke angkasa. Akar salah satu pohon, hampir menancap ke pintu goa. “Pohon yang paling besar itu namanya kayu kalumpang. Kalau yang kecil di sampingnya, itu kayu tanduk dan kayu sirih-sirih,” kata Zulkasmi.

Saat melihat pohon paling besar yang tumbuh di atas pintu masuk Goa Lida Ajer, seekor simpai atau Surili Sumatera (Presbytis Melaphos), terlihat mengintip dari balik ranting kayu. Ketika hendak dijepret, monyet berekor panjang dan berbulu merah itu langsung menghilang dari penglihatan. “Di sini, simpai dan rusa masih ada,” katanya.

Di dalam goa, bau menyengat tercium seperti bau kotoran binatang. Namun, dinding-dindiang goa yang indah, ditambah stalagnit dan stalagtit menawan membuat bau itu terasa hilang begitu saja. “Ayo, kita ke ujung goa. Di sana ada lorongnya,” ajak Zulkasmi, setelah kami melihat salah satu stalagnit goa menyerupai kelambu tempat tidur.

Terdapat satu lorong panjang di dalam Goa Lida Ajer. Dulu, menurut cerita Zulkasmi, dan sejumlah tetua Nagari Tungkar, lorong tersebut tembus ke goa lain. “Goa Lida Ajer ini dikeliling banyak goa. Ada namanya Goa Ngalau Panjang, Goa Mensiu atau Lansiyu, Goa Kobau, Goa Harimau, dan Goa Ngalau Singguguik. Nah, lorong dalam Goa Lida Ajer ini, dulu tembus ke Goa Ngalau Singguguik. Tapi, sekarang tidak lagi,” bebernya.

Saat ini, lorong dalam Goa Lida Ajer diperkirakan hanya memiliki panjang sekitaran 200-an meter. Makin ke ujung, lorong tersebut makin mengecil. Di sepanjang lorong, ada bilik-bilik atau kamar. Kami tidak sempat mengukur panjang lorong dan melihat bilik-bilik tersebut, karena senja sudah menjelang. Dan, kami pun balik kanan menuju ke luar goa untuk pulang. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kemacetan Lubukalung Kian Parah

Mencegah Korupsi Dana Desa