Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), disebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1 UU Desa). Sebagai kesatuan masyarakat hukum, desa memiliki hak untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat dan wilayahnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Konsiderans UU Desa, menyebutkan bahwa ”dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera”. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah telah menganggarkan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan dan pemberdayaan desa, yang kita kenal dengan nama dana desa.
Dana desa termasuk ke dalam keuangan desa yang merupakan dana yang dianggarakan dalam APBN dan dana perimbangan PAD kabupaten/kota (Pasal 72 ayat (1) UU Desa). Dana desa digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk memajukan perekonomian desa dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Namun, besarnya dana desa yang dianggarkan tiap tahunnya untuk pembangunan dan pemberdayaan desa telah membuat dana desa dilirik sebagai salah satu subjek untuk dikorupsikan. Sebagaimana diketahui, bahwa awal Agustus 2017 KPK berhasil mengamankan Bupati Pamekasan, Kajari Pemekasan, Kepala Desa Dassok dan 2 orang Apartur sipil dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap kepada aparat penegak hukum untuk menghentikan penanganan kasus korupsi penyelewengan dana desa.
Almas Sjafrina, peneliti ICW menjelaskan dalam periode Januari-Agustus 2016 kerugian akibat korupsi dana desa sebesar Rp 10,4 miliar dan pada periode yang sama ditahun 2017 meningkat menjadi Rp 19,6 miliar.Periode Agustus 2016-Agustus 2017 ICW menghitung ada 110 kasus korupsi dana desa, 139 pelaku dan 107 di antaranya berprofesi sebagai kepala desa. Berdasarkan hasil penelitian ICW tersebut didapat tiga bentuk tindakan korupsi di desa, yakni (i) penggelapan dana, (ii) penyalahgunaan anggaran, dan (iii) penyalahgunaan wewenang. Selain itu, ICW juga menyebut bahwa pemerintah desa masuk pada urutan ketiga pelaku korupsi di Indonesia (hukumonline.com, Sabtu/12/Agustus/2017).
Faktor Penyebab
Menurut hemat saya, ada dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa terhadap penggunaan dana desa, yakni lemahnya pengawasan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai di desa-desa. Hal ini juga turut diperparah dengan tidak optimal kinerja lembaga desa yang berfungsi memberdayakan masyarakat dan demokrasi seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Anggota komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera menilai proses pendistribusian dana desa yang harus melewati rekening pemerintahan kabupaten/kota juga menjadi salah satu faktor besarnya potensi penyelewengan oleha aparatur pemerintahan. Selain itu, menurut Ali jabatan kepala desa juga bermuatan politis walaupun ditingkat desa itu sendiri (hukumonline.com, Sabtu/12/Agustus/2017). Saya sependapat dengan pernyatan Ali, karena UU Desa sendiri memberikan peluang untuk membuat dinasti politik oleh kepala desa. Hal ini bisa kita lihat pada pengaturan Pasal 39 UU Desa yang menyatakan bahwa kepala desa memegang jabatan 6 tahun dan dapat menjabat sebanyak tiga kali secara berturut-turut.
Selain itu, adanya tumpang tindih kewenangan di tingkat kementerian, setidaknya ada tiga instansi yang mengatur tentang pedesaan dan dana desa, yakni kementerian desa, kementerian dalam negri, dan kementerian keuangan (hukumonline.com, Sabtu/12/Agustus/2017). Tumpang tindih kewenangan ditingkat kementerian ini tentu akan menghambat pengelolaan dana desa di tingkat desa bila tidak ada harmonisasi dan siknronisasi baik itu dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan terkait dana desa. Hal ini hanya akan menyebabkan tarik ulur dan ego sentris kewenangan dan keberhakkan secara vertikal di instansi tersebut.
Pencegahan
Pada tahun 2018, pemerintah berencana akan menaikkan 10 persen alokasi dana desa di APBN. Dalam R-APBN 2018 diketahui bahwa dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah yakni Rp 60,0 triliun. Niatan baik pemerintah untuk memajukan kesejahteraan masyarakat desa, mengentaskan kemiskinan di desa, dan menjadi desa sebagai basis utama juga harus dibarengi dengan kesiapan di tingkat desa itu sendiri.
Dalam tulisan saya yang berjudul “Dilema Dana Nagari Dalam Bajorong”, saya memberikan saran dengan cara menyiapkan dan meningkatkan kualitas SDM di desa dengan cara : (1) membuat standarisasi pelayanan yang bertumpu pada pelibatan masyarakat di dalam proses dan penilaian kinerjanya, dan (2) dan jika kuantitas SDM di desa tidak memadai, maka proses pemilihan kepala desa harus dilakukan secara lebih terbuka. Maksudnya, calon kepala desa yang dianggap cakap tapi domisilinya berada diluar kabupaten/kota lain (masih dalam satu provinsi) dan bukan dari desa yang bersangkutan dibolehkan mencalonkan diri di desa tersebut dan atau juga bisa dengan cara memberikan peluang bagi para perantau dari desa tersebut yang sudah mapan diperantauan untuk pulang kampung membangun desanya.
Nah, kali ini saya ingin memberikan suatu alternatif cara yang mungkin bisa dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan dana desa untuk memberdayakan masyarakat desa berdasarkan hasil penelitian saya ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) 40 hari yang telah berlalu. Di Nagari Kapalo Hilalang, pengelolaan dana nagari di bawah naungan Tim Pengelola Keuangan (TPK) menyalurkan dana desa untuk memberdayakan masyarakat dengan cara mendirikan Badan Usaha Milik Nagari (Bumnag) berupa peternakan itik dengan prinsip koperasi.
Dalam Bumnag ini, yang menjadi pengurusnya bukanlah apartur/perangkat desa, melainkan masyarakat itu sendiri. Mulai dari ketua sampai anggota diisi oleh tokoh masyarakat seperti pemuda/karang taruna, cadiak pandai, para niniak mamak hingga warga biasa diberikan peran aktif untuk menjadi anggota dalam pengelolaan Bumnag tersebut. Keterlibatan langsung masyarakat seperti inilah dalam pengelolaan dan pemanfaatan dana desa dapat meminimalisir penyelewengan/korupsi dana desa oleh aparat desa. (*)
LOGIN untuk mengomentari.