Minggu malam, 140 lebih pengunjung Atlantis Gym dan Sauna digeruduk Kepolisian Jakarta Utara. Mereka digerebek, ditangkap lantas diboyong ke kantor Polres. Polisi ikut menyita barang bawaan mereka termasuk rekaman CCTV untuk dijadikan barang bukti. Belakangan, beredar foto-foto yang memperlihatkan kondisi mereka di Polres. Mereka dituding melakukan apa yang disebut polisi sebagai ‘pesta seks gay’. Pandangan negatif langsung mengarah ke kelompok LGBT.
Polisi menetapkan sepuluh orang sebagai tersangka. Ada pemilik gym, resepsionis, kasir, dan petugas keamanan setempat. Polisi pun menetapkan enam orang lain atas dugaan melanggar Pasal 36 juncto Pasal 10 UU Pornografi. Isinya; orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Tapi betulkah mereka mempertontonkan kegiatannya di muka umum?
Apa yang mereka lakukan adalah hak pribadi – entah itu berhubungan seksual maupun bersenang-senang. Kegiatan pun dilakukan di ruang privat: tamu tidak bisa bebas masuk, tamu harus membayar, undangan tidak untuk umum. Polisi mestinya bisa membedakan mana ruang publik, mana ruang privat.
Undang-undang Pornografi yang dijadikan acuan penangkapan pun sedari lahir sudah bermasalah. Pengertiannya bisa rancu dan rawan menjerat siapa pun. Perempuan dan LGBT, yang kerap didiskriminasi, seringkali jadi korban. Kalau produk hukumnya saja begitu buruk, bagaimana bisa terus dipakai?
Penangkapan di ranah privat seperti yang dilakukan polisi dikhawatirkan bisa memicu kekerasan di ruang publik. Tindakan polisi bisa jadi pembenaran terhadap kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBT. Negara mestinya memastikan perlindungan terhadap warga negara, apa pun orientasi seksualnya, juga menghormati ranah privat.