Pengawasan Lemah, Perusahaan Kerap Abai
Terbakarnya Pabrik Kembang Api PT Panca Buana Cahaya Sukses (PBCS) di Tangerang, mencoreng penerapan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia. Bayangkan, sampai tahun 2017 saja, baru ada 1.221 perusahaan yang telah memiliki sertifikat K3. Jumlah yang sangat sedikit dari total 26 ribu industri sedang dan besar (data BPS tahun 2015) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal telah menyerahkan laporan resmi insiden pabrik mercon pada rapat Governing Body Badan Buruh PBB International Labour Organization (ILO) yang tengah berlangsung di Jenewa, Swiss, kemarin (29/10). ”Kami minta agar ILO menekan dan memberi sanksi Pemerintah Indonesia dan kalangan pengusaha yang mengabaikan K3,” katanya.
Iqbal menyatakan, sudah cukup jelas bahwa pemerintah mengabaikan kewajiban perusahaan terhadap K3. Insiden pabrik mercon bukan yang pertama. Juli 2015 lalu, 5 orang tewas dalam kebakaran di PT Mandom Bekasi. Kasus perbudakan panci di Tangerang, belum lagi tewasnya karyawan PT Freeport. ”Berulang terus setiap tahun, puluhan nyawa buruh melayang sia-sia,” kata Iqbal.
Di pabrik PT PBCS Bekasi kemarin, bisa dilihat bahwa pekerja tidak mendapat pelatihan memadai dalam mengatasi kebakaran yang merupakan risiko utama pabrik. Di TKP hanya ditemukan 4 alat pemadam ringan (Apar) dibandingkan dengan berdrum-drum bahan peledak.
Setelah dicek oleh tim dari Kemnaker, Apar-apar tersebut juga terlihat tidak pernah dipakai para pekerja saat insiden nahas terjadi, minimal menunjukkan ”sedikit” perlawanan pada api. ”Tidak dipakai, kemungkinan tidak pernah diajari menggunakan apar,” kata Herman Prakoso Hidayat, Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PNK-K3) Kemnaker.
Belum lagi, dari penuturan keluarga korban, para pekerja tidak memakai alat pengaman di sekitar pabrik. Hanya pakaian biasa.
Herman mengatakan, aturan penerapan K3 sudah cukup jelas. Ada UU Nomor 1 Tahun 1970 yang menyebutkan kalau di dalam ruang lingkup kerja sedang dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan atau disimpan bahan yang dapat terbakar dan meledak, maka perusahaan wajib melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Syarat K3 dimaksud antara lain mencegah dan mengurangi bahaya peledakan. Herman menyebut dalam Kepmenaker 187 Tahun 1999 disebut, apabila terdapat kegiatan menggunakan, menyimpan, memakai dan memproduksi bahan kimia berbahaya di tempat kerja, maka pengusaha atau pengurus wajib mengendalikan bahan kimia berbahaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Bentuk pengendaliannya, yakni menyediakan petunjuk komunikasi bahaya bahan kimia (material safety data sheet/MSDS dan label). Petunjuk-petunjuk ini harus ada di sekeliling pabrik, di tempat yang strategis dan tepat. ”Perusahaan juga wajib menunjuk Petugas K3 Kimia dan Ahli K3 Kimia,” kata Herman.
Kewajiban lainnya adalah, menyampaikan laporan berisi daftar bahan kimia, sifat dan kuantitas bahan kimia berbahaya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat. ”Tujuannya, menetapkan potensi bahaya instalasi yaitu besar atau menengah,” kata Herman.
Salah satu pemenuhan kewajiban dari hasil penetapan tersebut, kata Herman, dengan menyusun dokumen pengendalian potensi bahaya (safety report) yang akan disetujui pemerintah. Dokumen yang sudah disetujui berfungsi sebagai acuan perusahaan dalam pengendalian bahan kimia berbahaya di tempat kerja. ”Ini juga persyaratan izin memulai operasi (licence to initial start up),” kata Herman. Herman sendiri belum menemukan syarat-syarat di atas pada PT PBCS. ”Mereka juga belum pernah lapor Disnaker setempat,” kata Herman.
Guru besar bidang keselamatan kerja, Departemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3), Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI Prof Fatma Lestari menuturkan, secara regulasi keselamatan kerja di Indonesia sudah cukup banyak. Seperti UU 1/1970 tentang Keselamatan Kerja, PP 50/2013 tentang Penerapan Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di dalam sejumlah peraturan itu, di antaranya sudah disebutkan bahwa hak pekerja memperoleh jaminan keselamatan kerja. Kemudian, juga ada ketentuan bahwa perusahaan dengan karyawan 100 orang atau lebih, wajib menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). ”Dalam kondisi tertentu, jika perusahaannya terkait bahan berbahaya tidak harus menunggu karyawannya berjumlah 100 orang. Pokoknya menggunakan bahan berbahaya wajib menerapkan manajemen K3,” jelasnya.
Fatma menuturkan meskipun regulasi K3 sudah banyak, tetapi implementasi di lapangan, serta monitoring-nya perlu ditingkatkan. Otoritas terkait wajib memastikan perusahaan menerapkan manajemen K3. Kondisi penerapan manajemen K3 di lapangan sangat bervariasi. Ada perusahaan menerapkan manajemen K3 dengan maksimal. Tetapi, juga ada yang menerapkan tidak maksimal bahkan tidak menjalankannya.
Menurut Fatma, penerapan manajemen K3 tidak terkait dengan omset perusahaan. Jadi, perusahan dengan omset jutaan atau miliaran per bulan, selama menggunakan material atau bahan berbahaya, wajib menerapkan manajemen K3. Dia mengatakan, pada kasus ledakan pabrik kembang api di Tangerang, pemilik perusahaan bagaimanapun harus bertanggung jawab. ”Terkait pidananya berapa, itu domainnya polisi,” katanya.
Implementasi manajemen K3 di sebuah perusahaan, menurut Fatma, terkait erat dengan top level manajemennya. Selain itu, karyawannya harus memiliki kepekaan apakah dalam bekerja, dia sudah terjamin keselamatan dan kesehatannya. Karyawan bisa memiliki kepedulian seperti itu, di antaranya dengan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan. Kembali lagi manajemen harus berkomitmen menjalankan sosialisasi dan pelatihan K3 bagi karyawannya.
Selain itu, Fatma menuturkan, aturan-aturan yang ada tentang jaminan K3 perlu di-upgrade. Di antaranya, meningkatkan kesadaran perusahaan untuk menerapkan manajemen K3. Sehingga, seluruh karyawannya terlindung dari risiko kerja paling buruk. Di UU 1/1970 ada ketentuan soal sanksi penerapan K3, yakni minimal denda Rp 100 ribu atau kurungan tiga bulan.
Panggil Pejabat Kemnaker
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menuturkan setelah kebakaran pabrik di Kosambi, Tangerang itu, ada rencana memanggil pejabat Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk dengar pendapat tentang perlindungan tenaga kerja. Meskipun pada pekan ini para anggota dewan sedang dalam masa reses.
”Rencananya Selasa ini, pimpinan komisi IX sudah rencanakan. Tapi, menunggu izin dari pimpinan DPR. Pasalnya, hal ini sangat serius,” ujar dia, kemarin (29/10).
Politisi PAN itu melihat, persoalan kebakaran pabrik yang menewaskan sedikitnya 47 orang tersebut bukan hanya masalah perangkat keselamatan kerja yang diabaikan. Tapi, juga adanya fakta anak-anak yang dipekerjakan. Dia menilai bahwa persoalan kesulitan ekonomi warga setempat, juga harus menjadi perhatian.
”Mereka kan anak-anak masanya belajar dan bermain. Kalau sampai bekerja, anak-anak jadi cepat dewasa, masa depan mereka terbengkalai,” tambah politisi dari Sumatera Utara itu.
Selain itu, dia menilai ada sistem pengawasan ketenagakerjaan dan perusahaan yang tidak berjalan dengan baik. Pada saat rapat anggaran di DPR, dia sebenarnya sudah menyoroti persoalan minimnya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dia menyebut, ada sekitar 1.700an PPNS yang mengawasi lebih dari 200 ribu perusahaan. ”Di Kosambi ini daerah pabrik. Tak mungkin mereka bisa awasi,” katanya.
Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengungkapkan, kehadiran Menaker ke lokasi kebakaran itu dianggap sudah terlambat. Semestinya, pemerintah lebih serius dalam melakukan pencegahan. Bukan hanya sekadar mengevaluasi. ”Kalau yang berizin itu, semestinya pada saat pendaftaran izin itu harus dicek langsung,” ungkap dia.
Sedangkan untuk pengawasan perusahaan yang belum memiliki izin itu, semestinya bisa menggandeng tokoh masyarakat. Selama ini sering kali di suatu daerah yang minim lapangan pekerjaan tiba-tiba ada investor yang masuk dan membuat perusahaan tanpa pengawasan berarti. ”Perizinan itu saya kira banyak kasus, dia dirikan pabrik cukup minta izin RT, RW dan lurah. Tanpa ada lihat amdal, apakah penuhi peraturan ketenagakerjaan,” tambah Mirah. (*)
LOGIN untuk mengomentari.