in

Menelusuri Pulau Pagai Utara dan Selatan Kepulauan Mentawai -2

Huntap tak Dihuni, Rusus tak Kunjung Selesai

Enam tahun pascagempa dan tsunami melanda Pulau Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 26 Oktober 2010 lalu, imbas bencana itu masih terlihat sampai sekarang. Warga masih terlunta-lunta, tanpa rumah, aliran listrik dan sumber ekonomi.

Di Dusun Mabulau Buggei, Dusun Mapinang Utara, Dusun Baubekku, Pasapuat dan Pujaringan yang terletak di Desa Saumanganya dan Desa Silabu, Pagai Utara, para korban tsunami menjalani kehidupan di hunian tetap (huntap). Sebagian lagi, memilih meninggal huntap mencari penghidupan di tempat lain. 

Warga yang mendapat bantuan rumah khusus (rusus), hidup terlunta-lunta karena pembangunannya terbengkalai. Material dan upah warga yang bekerja, tak dibayar kontraktor yang kabur. 

Minggu (4/12) lalu, Padang Ekspres didampingi tim Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai meninjau kawasan ini.  Di tengah hujan lebat, kami menelusuri dusun-dusun tersebut dengan mengendarai motor yang berjarak sekitar 50 km dari Masabuk. Dari Masabuk hingga kawasan Matobe berjarak sekitar 17 km. 

Kami melewati jalan beton yang merupakan Jalur Trans Mentawai yang dimulai pengerjaannya sejak tahun 2014 lalu. Di kiri-kanan, terlihat rumah penduduk yang letaknya berjauhan. Dikelilingi  hutan lebat. 

Memasuki Dusun Sarere, Desa Matobe perjalanan mulai berat. Di ujung Trans Mentawai, kami mendapati jalan belum dibeton dan berlumpur. Lepas dari jalur beton tersebut, kami berbelok ke kanan dan memasuki penurunan di jalan kecil dengan lebar sekitar 1,5 meter. 

Ular, babi hutan dan babi peliharaan sering ditemui sepanjang perjalanan. “Mungkin Abang tidak mau ke sini lagi,” ucap seorang aktivis YCM ketika melepas penat setelah motor terpuruk di lumpur. 

Setelah dua jam berkendara di hujan deras, sesampai di Pasapuat disambut panas menyengat. Pasapuat adalah kawasan pantai di Desa Saumanganya. Bekas gempa dan tsunami masih terlihat jelas. Rumah roboh dan bangunan miring belum dibersihkan warga. 

Di pantai, sepuluh anak-anak dan ibu-ibu mengambil pasir untuk dijual ke proyek pembangunan rusus. Satu kubik pasir seharga Rp 125 ribu. Pasir itu diangkut dengan perahu.  

Setelah istirahat siang di kedai warga, perjalanan dilanjutkan ke Dusun Mabulau Buge dan Baubekku. Sebelum tsunami, warga kedua dusun itu tinggal 70 meter dari bibir pantai. Seusai tsunami, mereka dipindahkan ke bagian atas kampung itu.

Syafridin Tasilipet, 41, warga setempat, terpaksa membangun pondok di tanah milik orang setelah menghuni tenda bantuan relawan selama setahun. “Kami membangun pondok di tanah milik Ray (warga Pasapuat, red) menggunakan puing-puing rumah dulu,” ujar pria yang sehari-hari bekerja serabutan ini. 

Setelah empat tahun tinggal di pondok, dia memperoleh bantuan rusus. Tahun 2016, pembangunan mulai dilaksanakan. Kontraktor mempersilakan warga mencari materialnya, seperti kayu, pasir dan batu. Nantinya, keseluruhan biaya  diganti kontraktor. 

Karena tidak ada pekerjaan, Syafridin dan beberapa warga lainnya memohon kepada kontraktor agar diperbolehkan jadi buruh harian dalam proyek pembangunan rumah tersebut. Lokasi rumah Syafridin berada di Muntei, setelah membeli tanah Rp 500 ribu.

Dalam perjalanannya, ternyata tak seperti yang diharapkan. Entah apa sebabnya, kontraktor menghilang dan tak melanjutkan pembangunan di Mabulau Buge. Upah dan material yang dicari warga pun tak dibayar.

“Padahal, hanya pembayaran material dan upah itu yang saya harapkan dalam merayakan Natal,” ujar bapak lima anak ini. Dia sering mencari talas untuk bertahan hidup.

Armina, 60, warga Dusun Baubekku, duduk termenung di rusus yang hampir selesai dibangun. Rumah berukuran 6×6 m ini, terdiri dari dua kamar, berlantai keramik dan satu kamar mandi.

Ibu lima anak ini bersyukur dapat bantuan rusus. Maklum, rusus ini jauh lebih representatif dari rumahnya sebelumnya. “Cuma saja, pintu belakang dan pintu kamar hanya dibuat dari triplek,” ujarnya. 

Jelang mendapat bantuan rumah itu, sebetulnya nasib Armina sama dengan Syafridin. Dia menghuni hunian sementara (huntara) yang dibangun menggunakan puing-puing rumahnya.

Di Dusun Baubekku, terdapat ada 24 rusus yang dibangun pemerintah. Semuanya sudah hampir selesai dan layak huni. Sedangkan di Dusun Mabulau Buge, terdapat 64 rusus yang masih terbengkalai pembangunannya. 

Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Saumanganya, Jaminsen Purba mengatakan, proyek pembangunan rusus di Mabulau Buge terbengkalai akibat salah komunikasi antara pihak kontraktor dengan warga. 

Pihak kontraktor tidak bersedia melanjutkan proyek di Mabulau Buge, menurut dia, karena merasa dihalangi warga memasok bahan. Bahan yang sedianya didrop untuk Mabulau Buge, diturunkan di Dusun Baubekku. 

“Pihak kecamatan sudah memediasi dan mendamaikan warga dengan pihak kontraktor. Namun, sampai sekarang pihak kontraktor tak kunjung datang,” ujarnya. 

Ditinggal Penghuni

Terbengkalainya proyek rusus, bukanlah satu-satunya permasalahan korban tsunami Mentawai. Di Dusun Silabu, Desa Silabu dan Dusun Sabeuguggung, huntap yang dibangun pemerintah ditinggalkan para pemiliknya. Sebab, lokasi huntap jauh dari ladang dan perkampungan yang lama. 

Warga menghuni huntap tersebut sekali seminggu. Dari Senin sampai Sabtu, mereka tinggal di perkampungan lama untuk mencari kopra, talas, pisang, menyelam ikan dan melakukan pekerjaan lainnya. Barulah Sabtunya, warga kembali ke huntap untuk beribadah keesokan harinya. 

Kepala Dusun Sabeuguggung, Demas Saogo mengatakan, penghuni huntap bukannya tak berusaha mencari sumber kehidupan di kampung baru tersebut.

Namun, apa yang ditanam belum menghasilkan. “Ada yang tanam pisang, tapi tak berhasil. Mungkin tanahnya berbeda,” ujarnya. Dusun Sabeuguggung sendiri dihuni 56 KK.

Jarak antara kampung lama dengan permukiman huntap mencapai 10 km. Hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Makanya, warga terpaksa menginap di rumah lamanya. Sementara anak-anak mereka yang sekolah dititipkan di rumah tetangga. 

Alasan lain warga meninggalkan huntap karena tak ada listrik, fasilitas kesehatan dan pendidikan. “Ini akan menjadi perhatian kita ke depannya,” kata Camat Pagai Utara Jarlinus Ridwan. 

Soal terbengkalainya pembangunan rusus di Mabulau Buge, Jarlinus mengaku sudah memfasilitasi pertemuan antara warga dengan kontraktor. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat kontraktor kembali datang dan menyelesaikan pembangunan rusus tersebut,” jelasnya. (*) 

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Murtaza Ahmadi Akhirnya Bertemu Sang Idola

Teguh Juwarno dan Arif Wibowo Diperiksa KPK Terkait Fee Korupsi e-KTP