in

Menggugat Independensi Mahasiwa

Hiruk pikuk pilkada 2017 ternyata bukan hanya menggoda politisi dan pengusaha, bukan hanya rakyat tanpa pendidikan, kaum terdidikpun ikut larut dalam suasana pilkada. Peran mereka berbeda dan manfaat mereka pun berbeda, orientasi berbeda pula, tergantung syahwat.

Semisal pengusaha dan kontraktor yang mendukung salah satu paslon atau beberapa paslon sekaligus. Orientasi balas jasa menjadi tradisi politisi dan pengusaha, proyek APBA dan APBK nantinya akan mempertimbangkan aspek siapa dukung kami saat pilkada.

Selain pengusaha dan kontraktor, ada kelompok lain yang cukup menarik perhatian kita bersama. Kelompok terdidik seperti dosen juga ikut larut dalam tim pemenangan paslon. Harapan kita, mereka akan semakin menambah kualitas pilkada dengan konsep dan ilmu yang mereka tularkan.

Kelompok terdidik lain yang harusnya menjadi kontrol sosial, mengkritisi pemerintahan mendatang, namun ikut larut dalam hajatan tersebut. Mahasiswa sebagai kelompok yang harusnya menjadi harapan terakhir rakyat ketika politisi berkhianat, mahasiswa yang harusnya idealis dan independen, tapi kebanyakan malah menjadi tim kampanye.

Polemik peran dan fungsi mahasiswa di dalam tim pemenangan paslon Cagub maupun Cabup/Cawalkot memang belakangan tabu dibicarakan, mahasiswa dianggap pantas berada dalam tim pemenangan. Katanya mahasiswa memang harus mendukung salah satu pasangan yang dianggap baik. Pemikiran ini dianggap sebagai salah satu pembenaran bagi mahasiswa untuk berpolitik secara praktis.

Mahasiswa berpolitik nyata di luar kampus, aksi saling dukung paslon, kini dianggap biasa saja. Mahasiswa tak lagi berada dikhittahnya sebagai sosial kontrol karena kini mereka yang malah dikontrol politisi. Polarisasi mahasiswa tak terhindari, kelompok atau personal mahasiswa yang satu dengan yang lain saling curiga, saling hujat dan fitnah.

Syahwat meraih uang dan posisi bila calonnya menang menjadi kebutuhan mahasiswa. Kini rakyat tak tahu harus kemana, mahasiswa yang harusnya kritis dan rasional malah menjadi budak politisi. Mahasiswa hanya menjadi kelompok terdidik yang tak lagi bermarwah, cukup dengan sanjungan politisi dan uang kopi, mahasiswa takluk di hadapan politisi.

Isu keummatan yang harusnya dikritisi mahasiswa hanya menjadi diskusi dalam secangkir kopi. Apa yang mereka cari? menurut mereka dengan menjadi budak politisi akan memudahkan menjadi pejabat publik setelah purna dari kampus. Kalaupun tak menjadi pejabat setidaknya memudahkan dalam mencairkan proposal kegiatan dan uang tak terduga lainnya. Paham materialisme sudah mengakar, sehingga kelompok terdidik malah jadi badut politik.

Saya percaya mahasiswa yang terlibat dalam tim pemenangan tidak setuju, namun faktanya isu keummatan kini mereka tinggalkan. Dalih adalah hak setiap orang mendukung paslon itu benar, namun meninggalkan kewajiban moral demi kekuasaan dan uang tidak bisa dibenarkan. Para senior yang kini terjun kedunia politik seharusnya juga tak mengajak apalagi mengancam juniornya untuk turut serta.

Kita berharap mahasiswa tetap berada dalam khittahnya, biarkan mereka menjadi penasehat sejati dengan mengkritisi kebijakan pemerintahan. Kalaupun para senior mereka yang memimpin pemerintahan, bukan berarti mereka haram mengkritisi, justru itu yang diharapkan agar terjadi chek dan balance. Hubungan emosional jangan sampai menumpulkan daya kritis mahasiswa sebagai agent of change, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (QS.103) harus tetap ada.

Selain menjadi budak politisi, mahasiswa malah belakangan ini menjadi pelacur politik. Jual nama dan lembaga di setiap paslon, walaupun memang masih ada mahasiswa yang tetap berada dikhittahnya, tetap komitmen untuk independen. Kelompok mahasiswa yang independen malah dianggap kurang pergaulan, dan yang melacur dianggap hebat. Stigma inilah yang dibangun, kalangan aktivis mahasiswa merasa bangga menjadi tim pemenangan cagub, cabup dan cawalkot.

Melacur dan menjadi budak politisi dianggap sebagai cara sukses meraih masa depan. Kekuasaan sebagai penghasil pundi-pundi rupiah walaupun halal-haram tak diindahkan menjadi trend aktivis mahasiswa. Saat itulah independensi mahasiswa dipertanyakan, saat itulah kemunafikan begitu dekat, dan saat itulah sebenarnya mahasiswa hanya menjadi badut politik walaupun dia pikir dan rasa dirinya hebat.

Menarasikan independensi mahasiswa saat ini seperti menarasikan dongeng captain Amerika atau dongeng pahlawan dalam komik berseri. Mahasiswa menjadi kontrol sosial hanya dongeng, mahasiswa menjadi badut dan pelacur politik, itu yang nyata. Badut-badut yang mengaku kelompok terdidik, pelacur politik yang mengaku idealis, itulah realitas kebanyakan mahasiswa hari ini.

Sumber foto: Juang News. Hanya sekedar ilustrasi.

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Piala Presiden 2017 Bangkitnya Sepak Bola Prestasi

Nasruddin, “Kembaran” Ridho Rhoma yang Kece Badai