in

Mengkritik Penolakan Moratorium UN

Moratorium atau rencana penghapusan Ujian Nasional (UN) berakhir di tangan Presiden. Dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden (19/12), Presiden Joko Widodo memutuskan tetap mengadakan UN (Padang Ekspres, 20/12).

Mengutip alasan Presiden Joko Widodo yang ditulis Padang Ekspres edisi Selasa (20/12), hasil laporan survei PISA menunjukkan peringkat Indonesia meningkat. Sebelumnya, pada 2012 Indonesia berada di peringkat 71 dari 72 negara yang disurvei. Sementara, pada 2015, peringkat Indonesia naik menjadi 64. 

Presiden menegaskan, “baik sains, membaca, matematika, kelihatan sekali melompat tinggi.” Kenaikan tujuh peringkat dalam tiga tahun itu menurut Presiden merupakan peningkatan yang cukup tajam.

Pernyataan Presiden Joko Widodo ditulis Padang Ekspres di atas perlu dikritik (dikoreksi), karena data yang disampaikan Presiden tidak benar (salah). 
Data yang benar adalah di 2012, 65 Negara yang disurvei OECD, Indonesia berada pada urutan ke 64. Sedangkan 2015 Indonesia berada pada urutan ke-69 dari 76 Negara yang disurvei OECD (Sumber: www.indonesiapisacenter.com).

Terlepas dari kesalahan data itu, hemat penulis, alasan presiden Joko Widodo sangat tidak tepat dan kurang bijak, menjadikan Program for International Student Assessment (PISA) dan perolehan peringkat Indonesia melalui survei Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai dasar memutuskan tetap mengadakan UN. 

Ada beberapa argumentasi yang dapat penulis kemukakan. Pertama, mencermati kecenderungan hasil survei yang dilakukan oleh OECD yang dilaporkan oleh PISA sejak berdiri 2000 sanpai 2015.  Peringkat Indonesia pada enam kali survei OECD berikut; 2000 peringkat 39 dari 41 dan 2003 peringkat 38 dari 40. Pada dua kali pengukuran itu Indonesia berada pada peringkat 3 terbawah. Pada 2006, peringkat 49 dari 57 (8 terbawah), 2009 peringkat 61 dari 65 (4 terbawah), 2012 peringkat 64 dari 65 (2 terbawah), dan 2015 peringkat 69 dari 76 (7 terbawah).

Sebagai pemerhati pendidikan, bagi penulis ini ada sesuatu yang aneh. Indonesia tidak pernah bisa keluar dari peringkat 10 terbawah. Pada hal survei OECD diadakan setelah era reformasi, disaat perbaikan pendidikan Indonesia sudah sangat luar biasa.

Sebenarnya dari data peringkat itu dapat dijelaskan lagi, hasil survei OECD hanya dimanfaatkan untuk pemetaan ekonomi negara maju/pendiri PISA (negara produksi) dan negara berkembang (negara konsumen).

Di sini kita dapat belajar banyak, negara berkembang (konsumen) sebenarnya dijadikan sebagai sasaran ekspansi ekonomi negara maju (negara produksi), terutama negara pendiri PISA. 

Indonesia dengan jumlah penduduk dunia terbanyak dunia ke-4, menjadi sasaran empuk untuk pemasaran barang produksi negara pendiri PISA dan mitra. Jangan berharap banyak, selagi bangsa ini menjadi negara konsumtif, sampai kapan pun pendidikan kita akan selalu berada di peringkat bawah hasil pengukuran yang dilakukan PISA.

Kedua, PISA sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi negara pendiri; terutama Amerika dan Australia, begitu juga dengan Belanda dan Jepang serta negara mitra. Mereka dibantu konsultan ahli dari berbagai negara OECD, antara lain; China dan Singapura.

Ketiga, PISA hanya mengedepankan standar hasil, mengabaikan standar input dan proses. PISA lebih tegas bertujuan untuk pengembangan dan ekspansi ekonomi negara-negara pendiri. PISA hanya mengukur tiga kemampuan belajar, kemampuan Matematika, IPA, dan Membaca, PISA mengabaikan kemampuan belajar lain.

Berdasarkan argumentasi yang dipaparkan di atas, penulis ajukan beberapa hal dalam menyoal (menyikapi) UN 2017, seperti uraian berikut: pertama, pada peserta didik penulis berpesan, bersegera saja melakukan regulasi diri dalam menghadapi UN 2017 yang tinggal beberapa bulan lagi. Ada beberapa langkah regulasi diri menghadapi UN penulis tawarkan; tetapkan tujuan belajar untuk UN, buatlah perencanaan belajar dan ketiga kontrol diri dengan tepat dalam belajar.

Apabila kesulitan, bersegeralah mencari bantuan belajar, berikut tingkatkan motivasi diri dalam belajar dan buat strategi belajar sehingga kegiatan belajar menjadi mudah serta setiap saat setelah belajar lakukan evaluasi diri dalam belajar (Lebih jelasnya baca Padeks 25/3/2015 atau Padang Ekspres Digital Media http://www.koran.padek.co/read/detail/21697).

Kedua, para orangtua peserta didik yang akan mengikuti UN 2017, jangan galau dan risau. Berikan dukungan penuh dan kepercayaan untuk mandiri mengikuti UN.  Dorong dan motivasi anak untuk mengikuti UN dengan baik, dan yang tidak kalah pentingnya lengkapi sarana prasarana yang mereka butuhkan.

Ketiga, pemimpin Bangsa ini harus berani mengikuti langkah negara-negara maju yang tidak memberlakukan UN untuk kelulusan dan pemetaan pendidikan, seperti; Finlandia, Jerman, Amerika dan Kanada. Bahkan Arab Saudi dan Brunai Darussalam juga.

Finlandia saat ini dinobatkan sebagai negara dengan pendidikan termaju dunia tanpa ujian nasional. Negara ini membuktikan, melalui enam kali survei OECD, Finlandia selalu berada di lima besar teratas, bahkan menjadi negara dengan pendidikan terbaik dunia di 2012 (tanpa UN).

Keempat, tetap kita dorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mendikbud) Muhadjir Effendy untuk tetap mengajukan moratorium penyelenggaraan UN selama masa jabatannya. Melengkapi bukti-bukti yang tepat, agar dapat memperkuat dihapuskannya UN di negeri ini. Semoga Berani! (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Jadi PNS Bukan Ukuran Sukses

Pensiunan Guru Agama Tewas Dirampok