Bagi orang Aceh, agama dan adat lage zat ngon sifeut. Tak bisa dipisahkan dan akan selalu bersama. Bahkan untuk kadar tertentu,agama tetap diutamakan, atas pertimbangan keyakinan. Namun itu hanya hadih maja. Karena faktanya, orang-orang akan meninggalkan agama dan adat, hanya untuk memuaskan nafsu duniawi.
Awal Agustus 2017, telah ditemukan sosok jenazah perempuan di perbulitan Gampong Lamreh, Mesjid Raya, Aceh Besar. Usut punya usut, perempuan beranak dua itu dibunuh oleh dua selingkuhannya. Kedua lelaki itupun sudah memiliki istri dan anak. Si perempuan berselingkuh tatkala suaminya mengadu nasip ke Malaysia sebagai TKI. Ia yang berencana pulanglah Idul Adha, harus kembali lebih awal,karena sang istri ditemukan tewas dan sedang berbadan dua.
Di Aceh Utara, masih dalam tahun 2017, seorang lelaki dibunuh di rumahnya, tatkala memergoki istrinya sedang tidur dengan lelaki lain asal Sumatera Utara. Setelah membunuh, si istri meminta selingkuhannya lari menggunakan sepeda motor suaminya serta membekalinya. Dengan sejumlah uang.
Di Pidie, seorang perawat asal Peusangan, harus bersimbah darah dan meninggal dunia setelah dibantai oleh suami kedua,karena menolak menyerahkan emas. Lelaki itu lari setelah membacok wajah perempuan malang itu.
***
Tatkala dua insan bersepakat membangun mahligai rumah tangga, sesungguhnya mereka sedang memasuki labirin gelap yang tiada berujung. Bila boleh diibaratkan, kala dua sejoli bersepakat menikah, sesungguhnya mereka sedang mencebur diri dalam ketidakpastian.
Masa ta’aruf adalah masa penuh kepura-puraan. Wanita dan lelaki -dalam masa itu– penuh dengan citra positif. Keduanya saling menebar aura harum untuk saling meyakinkan. Istilahnya: bila cinta sudah melekat, tahi kucing rasa alpukat.
Namun, begitu ikrar nikah diucapkan di depan penghulu resmi atau penghulu bale giri, perangai asli mulai terlihat pelan-pelan. Keduanya pun kembali menjadi manusia seutuhnya. Artinya, segala perangai baik dan buruk akan terlihat.
Sungguh beruntung pasangan yang mau hidup dalam konsep sakinah mawadah warahmah. Mereka–miskin atau kaya– akan menyambut hari-hari bahagia sembari berjuang bersama membangun bahtera rumah tangga. Mereka akan saling memberikan semangat bila pasangannya down. Selalu ada senyum di tengah ujian. Bahkan saling mendoakan di tiap tahajud malam.
Namun, bagi pasangan yang keduanya atau salah satunya memiliki perangai buruk, maka cukup tiga hari, maka bahtera keluarga segera menjadi neraka dunia. Rumah tangga mereka akan dipenuhi dengan makian, sumpah serapah, fitnah, teror dan segala hal buruk yang seharusnya tidak terjadi. Hati mereka segera menjauh antara satu dengan lainnya.
Tak ada apa yang bisa membuat mereka untuk berhenti. Karena bagi orang yang melakukan demikian, agama adalah sesuatu yang mustahil untuk dipercaya. Karena hati mereka sudah tidak lagi memiliki cahaya kasih sayang. Hati yang penuh amarah tiada henti, adalah tempat singgasana syaitan laknatillah. Sehingga tidak jarang, akhir dari sejarah rumah tangga yang demikian, paling ringan adalah perceraian. Menengah adalah selingkuh dan paling ekstrim untuk ukuran dunia adalah saling bunuh.
Pada akhirnya, waktu mengajarkan kita,bahwa orang yang hatinya selalu diliput amarah tak mendasar, ia adalah manusia sebenarnya celaka di muka bumi. Dalam bertindak,mereka selalu mendahulukan nafsu amarah, ketimbang akal sehat. Orang-orang yang demikian, adalah individu yang tak pantas dipertahankan. Mereka tak pantas diperjuangkan. Sebelum mendatangkan mudharat lebih besar, segera ambil sikap. Lupakan para pengkhianat. Karena di luar sana, ribuan orang baik masih membutuhkan pasangan hidup. []