Jakarta (Antarasumsel.com) – Bagi warga negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan hukum syariat agama.
Oleh karena itu, kehalalan suatu produk khususnya pangan yang dikonsumsi merupakan masalah yang sangat sensitif.
Apabila sebuah produk tidak secara jelas mencantumkan label halal, kemungkinan bisa berdampak fatal terhadap diri individu maupun bagi perusahaan yang memproduksinya.
Sejumlah contoh kasus seperti kasus “lemak babi” yang pernah terjadi pada tahun 1988, telah menimbulkan dampak fatal. Ketika itu banyak makanan produk industri tidak laku, sebab diisukan mengandung lemak babi, sehingga tidak halal untuk dikonsumsi.
Isu tersebut demikian hebatnya sehingga “mengguncang” perekonomian nasional. Begitu pula kasus MSG yang tercemar dengan enzim babi pada tahun 2000, berdampak protes masyarakat yang marak, sehingga produk tersebut ditarik dari pasaran, dan nilai saham perusahaan penghasil MSG itu pun jatuh.
Karena itulah, setiap produk yang beredar di masyarakat diwajibkan untuk menyertakan keterangan halal.
Keharusan mencantumkan keterangan halal dalam suatu produk, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). UU ini telah mengatur secara jelas bahwa setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa sertifikat halal tersebut dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.
Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan Sistem Jaminan Halal.
MUI sendiri memiliki Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau LPPOM MUI yang bertugas meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan produk kosmetika apakah aman dikonsumsi, baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi pengajaran agama Islam yakni terkait halal tidaknya produk tersebut.
Produk halal dengan Sertifikat Halal MUI bukan hanya dibutuhkan oleh umat Muslim, tetapi juga telah menjadi kebutuhan masyarakat secara umum. Karena produk konsumsi yang halal itu merupakan bagian dari kebutuhan konsumsi yang aman dan sehat serta layak konsumsi, sesuai dengan ketentuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Meski UU tentang JPH telah diberlakukan namun ternyata masih ada sejumlah persoalan yang muncul dalam pelaksanaan di lapangan.
Dalam investigasi yang dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia, Ombudsman RI menemukan sejumlah potensi kesalahan administrasi dalam pelayanan produk halal. Di antaranya ditemukan kurangnya peranan instansi terkait dalam hal pengawasan produk halal.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, mengatakan kurangnya peranan instansi terkait seperti Kementerian Agama, MUI, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah berakibat pada terkonsumsinya produk tidak halal oleh konsumen Muslim.
“Karena tidak ada petunjuk yang jelas apakah produk tersebut halal atau tidak,” ujarnya.
Selain itu, Ombudsman RI juga menemukan potensi maladministrasi dalam penerbitan sertifikat halal di MUI, seperti persoalan standar waktu penerbitan sertifikasi yang tidak jelas, pengenaan biaya beragam dan tidak memiliki auditor halal yang tetap.
Lebih lanjut dalam investigasi tersebut juga ditemukan data bahwa di Rumah Pemotongan Hewan tidak diketahui kehalalan produknya, akibat lemahnya pengawasan pemerintah. Ombudsman memberikan masukan agar di RPH maupun tempat pemotongan yang dikelola swasta atau masyarakat wajib terjamin kehalalannya.
Ombudsman RI juga memberikan masukan perlunya aturan yang menyebutkan bahwa bagi pengusaha UKM menengah ke bawah dibebaskan dari biaya permohonan pengajuan sertikasi halal. Hal ini sebagai bagian dari pelayanan negara kepada masyarakat. Biaya dapat dimasukkan dalam anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Kewenangan lembaga sertifikasi juga harus memperhatikan UKM kecil dengan memberikan kemudahan sertifikasi halal dan beban biaya ringan.
Lebih lanjut, Ombudsman RI bahkan menyarankan agar pemberlakuan UU JPH ditunda dulu karena infrastrukturnya dinilai belum siap. Ombudsman menilai UU JPH telah mengubah sifat sertifikasi halal yang semula voluntery (sukarela) menjadi mandatory (kewajiban) bagi seluruh produk, sementara infrastruktur belum memadai.
Namun demikian, Kementerian Agama menegaskan bahwa UU JPH tetap diterapkan atau terus berjalan. “Siap tidak siap, kita harus mempersiapkan itu, walau memang prosesnya lambat, dan melewati batas waktunya,” ujar Kepala Bagian Perencanaan Peraturan dan Perundang-Undangan Kementerian Agama, Imam Syaukani.
Dia mengakui batas waktu yang dijanjikan Kementerian Agama untuk disahkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU JPH Halal telah melewati batas yakni 1 November 2016.
Namun keterlambatan tersebut karena masih berjalannya koordinasi dengan kementerian lain dan apa yang tengah disusun peraturannya terkait hal yang cukup sensitif, sehingga perlu memastikan norma sesuai undang-undang yang mengakomodasi para pemangku kepentingan.
Imam Syaukani mengapresiasi hasil kajian dari pertemuan Ombudsman dengan Kementerian Agama dan instansi pemerintah terkait, yang memutuskan bahwa UU JPH tetap dijalankan sambil terus melakukan berbagai perbaikan.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Asrorun Niam Sholeh mengatakan tidak ada pertentangan terkait penerbitan sertifikat halal antara MUI dengan pemerintah, karena masing-masing punya peran sendiri.
Dia mengatakan MUI dan pemerintah akan saling bersinergi. Sebelumnya, sertifikat halal masih terdapat lubang di sektor pengawasan dan penindakan.
Sesuai UU JPH, dalam proses penerbitan sertifikasi halal, MUI berperan pada proses pengecekan dan labelisasi produk, sementara pemerintah lewat Kementerian Agama ada di bagian administrasi, pengawasan dan penindakan.
Proses pemeriksaan kelayakan produk tetap berada di ranah MUI seperti sebelumnya. Lewat UU JPH, lanjut Asrorun Niam Sholeh, pemerintah memiliki porsi untuk menindak sektor pengusaha yang melakukan pelanggaran terkait produk halalnya.
“Penindakan terhadap pengusaha yang melakukan kecurangan itu wilayah administratif. Di situlah negara memainkan peranannya, hadir dengan mekanisme badan penyelenggara yang mengurusi produk halal,” ujarnya.
UU JPH menyebutkan bahwa untuk melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal itu, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Dalam hal diperlukan, BPJPH juga dapat membentuk perwakilan di daerah.
Oleh karena itu, masyarakat seharusnya tidak perlu khawatir lagi terhadap kehalalan sebuah produk sebagaimana dijamin dalam UU JPH.
Bagi produk yang sudah jelas kehalalannya, harus mencantumkan label halal dengan Sertifikat Halal MUI.
Sedangkan produk yang haram, seperti minuman keras maupun produk yang mengandung babi, misalnya, juga harus dinyatakan dengan tanda yang jelas bahwa produk itu memang benar-benar mengandung unsur yang diharamkan dalam Islam.
Dengan demikian, konsumen akan dapat memilih produk konsumsi sesuai dengan yang dibutuhkannya, tanpa merasa ragu-ragu lagi.
Editor: Ujang
COPYRIGHT © ANTARA 2016