Kematian Ikan bukan Kutukan
Upaya Pemkab Agam melakukan normalisasi Danau Maninjau dengan menekan kepemilikan keramba jaring apung (KJA), belum membuahkan hasil. Kelebihan kapasitas KJA belum bisa ditekan signifikan. Dari 6 ribu KJA yang direkomendasikan LIPI, hingga kini masih terdapat 17.226 petak di salingka Danau Maninjau.
Kelebihan kapasitas (over capacity) KJA memicu berulangnya kasus kematian ikan di Danau Maninjau. Selasa (6/12), sedikitnya 100 ton bangkai ikan mengapung. Bau tak sedap menebar di sekeliling danau.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Agam menunjukkan, kasus kematian ikan mengalami fluktuatif tiap tahun. Tahun 2012, sebanyak 500 ton ikan mati di Nagari Bayur dan Nagari Maninjau akibat badai. Pada tahun 2013, sebanyak 20 ton ikan mati.
Kasus kematian ikan meningkat drastis sepanjang tahun 2014. Diperkirakan sebanyak 650,85 ton ikan mati. Rinciannya, 5 Januari 20 ton mati di Nagari Maninjau, 17-18 Maret 175 ton kematian ikan menimpa pemilik KJA di Nagari Kotomalintang, 5 Agustus pemilik KJA kehilangan 50 ton ikan di lokasi yang sama.
Masih bulan Agustus, 11 pemilik KJA kehilangan 400 ton ikan di Kotomalintang dan Tanjungalai. Pengujung tahun 2014, 100 ton ikan mati di Bayur dan Maninjau.
Kasus kematian ikan berlanjut tahun berikutnya. Mujur, tak separah 2014. Februari 2015 misalnya, sebanyak 175 ton ikan mati di Bayur, Maninjau dan Duokoto.
Tahun ini, kasus kematian ikan kembali melonjak drastis. Sekitar 1.776 ton ikan mati. “Khusus Desember ini, kematian ikan tak separah Agustus dan Oktober lalu. Soalnya, petani masih dalam tahap pembibitan,” terang Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Agam, Ermanto.
Berulangnya kasus kematian ikan ini, mendapat sorotan sejumlah pihak. Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar, Ade Edward menilai akibat lambannya proses normalisasi Danau Maninjau.
“Harusnya, Pemkab Agam lebih tegas. Danau Maninjau merupakan warisan geologi dunia. Dengan 18.000 KJA yang ada, sementara diperbolehkan LIPI hanya 6.000 KJA, jelas menimbulkan berbagai masalah. Solusinya hanya satu, stop pembiaran KJA dan tegakkan perda yang telah dibuat,” ujar dia.
Bupati dan Wakil Bupati Agam yang notabene jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB), menurut Ade, seharusnya sangat memahami kejanggalan di Danau Maninjau, plus dampak yang akan ditimbulkan.
“Jika dibiarkan berlarut, alam akan murka. Tidak tertutup kemungkinan terjadi bencana lebih besar akibat pencemaran Danau Maninjau,” tegasnya.
Seperti diketahui, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lewat kajiannya tahun 2014, merekomendasikan daya tampung Danau Maninjau hanya 6 ribu KJA. Jumlah KJA saat ini mencapai 17.226 unit.
Pemerhati lingkungan hidup yang juga anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Sumbar, Nofri Yani mengungkapkan, beberapa tahun sebelum munculnya KJA, masyarakat hidup berkecukupan dengan mata pencarian yang beragam.
“Jika generasi muda yang terjebak ke usaha KJA dapat diluruskan ke jalan benar, tentu program Pemkab lebih bermanfaat,” jelasnya.
Pengamat pariwisata Sumbar, Zuhrizul menekankan perlunya ditelusuri berapa warga berperan sebagai owner dan employer dengan gaji Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per hari.
“Kini, kita lihat para kapitalis sudah menguasai keramba. Biasanya setiap fenomena kematian ikan, keramba dijual ke kapitalis. Andai danau bersih, maka bisa saja keramba menjadi homestay dan restoran apung. Wisata kembali hidup. Tapi, ini butuh waktu 2-3 tahun ke depan,” jelasnya.
Menurut Zuhrizul, kepentingan bisnis sekelompok orang telah membuat penderitaan panjang anak cucu salingka danau. “Dalam jangka panjang berpengaruh terhadap kecerdasan anak-anak Maninjau yang terkenal sukses di seantero dunia,” paparnya.
Zuhrizul membandingkan penataan Danau Maninjau dengan Pantai Padang. “Dalam hal destinasi, sebetulnya yang dianggap tidak mungkin dibenahi Pantai Padang. Ternyata, Pantai Padang bisa berubah,” ujarnya.
Tim Revitalisasi
Menanggapi hal itu, Bupati Agam Indra Catri menyatakan saat ini tim revitalisasi Danau Maninjau terus bekerja keras.
“Secara persuasif terus diupayakan. Kami lebih mengharapkan petani KJA membongkar sendiri keramba miliknya dan beralih ke pekerjaan lain. Menghilangkan mata pencarian warga tanpa jalan keluar, tentu menimbulkan masalah baru. Kita berharap setiap tahun KJA dapat berkurang secara perlahan sampai menuju angka yang disarankan,” jelasnya.
Dalam rapat “Save Danah Maninjau” yang dipimpin Wakil Bupati Agam, Trinda Farhan Satria beberapa waktu lalu, diakuinya Pemkab Agam membutuhkan aturan guna memperkuat Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Kawasan Danau Maninjau.
“Paling lambat akhir 2016, aturan penguatan perda itu sudah harus ada. Sehingga, aksi penyelamatan danau dapat dilakukan lebih cepat,” kata Trinda Farhan Satria.
Hal senada disampaikan Sekkab Agam, Martias Wanto. Menurutnya, implementasi perda harus diterapkan bertahap.
“Seyogianya penambak dapat mengurangi jumlah KJA secara mandiri, membersihkan KJA yang tidak terpakai, serta mengurangi jumlah penyebaran benih dan pemberian pakan. Diharapkan dalam kurun waktu 5 sampai 6 tahun ke depan, dapat tercapai jumlah KJA yang ideal,” harapnya.
Usulan menarik diutarakan Wali Nagari Kotomalintang, Nazirrudin terkait normalisasi Danau Maninjau. Pertama, stop mobil bermuatan bambu yang menyalahi izin trayek.
“Biasanya, bambu yang menjadi bahan pembuat KJA diangkut jauh lebih panjang daripada bak mobil, ini bisa dirazia,” ungkapnya. Kedua, jangan biarkan pemasok pakan memasuki Maninjau dengan truk tronton. Selain merusak jalan raya, tentunya bisa mengerem pembuatan KJA.
“Jika dua hal ini diputus, keramba tidak akan menjamur lagi,” terangnya. Berulangnya musibah kematian ikan KJA di Danau Maninjau bukanlah kutukan. Tapi, ulah kerakusan segelintir orang mengeksploitasi alam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.