Gempa 6,2 SR yang mengguncang Sumatera Barat tengah malam menjelang Idul Adha lalu, kembali menyentakkan kesadaran kolektif kita bahwa bencana alam tetap menjadi salah satu prioritas kewaspadaan. Apalagi sebulan terakhir ini, tingginya curah hujan yang nyaris di luar prediksi telah menyebabkan banjir dan longsor di beberapa titik rawan. Artinya, bencana alam terus mengintai kelengahan kita.
Peristiwa bencana gempa, banjir dan longsor, cenderung lebih didekati secara ilmiah geologis ketimbang teologis. Jikapun dibaca secara teologis biasanya mengerucut kepada fatalisme yang menggiring pemahaman bahwa bencana adalah musibah takdir ataupun azab akibat dosa. Mujiyono Abdillah dalam buku Agama Ramah Lingkungan; Perspektif Al-Qur’an, memaparkan dua model teologi bencana yang urgen dipahami. Teologi, pada tataran praktis menjadi pondasi cara pandang yang memengaruhi penyikapan atas realitas, termasuk dalam konteks mengelola ekologi.
Teologi Bencana Konvensional
Menurut Abdillah, kisah banjir besar yang melegenda dimuat Al Quran dalam beberapa episode. Sejak banjir besar zaman Nuh AS, banjir zaman Hud AS, hingga banjir bandang raksasa negeri Saba’. Dari ketiga peristiwa dahsyat itu, banjir zaman Nuh AS terlengkap dikisahkan pada empat tempat; QS.11:32-49, QS.23:31, QS.23:59-64, dan QS.71:5-20. Bahkan pada QS.11:32-49, terekam prolog sampai epilog kejadian secara jelas. Ayat dimulai dari dialog Nuh dengan kaumnya yang tidak saja menolak kebenaran, malah menantang Nuh dan Tuhan. Epilognya, Nuh akhirnya selamat dan bencana dahsyat itu menjadi peringatan manusia.
Kisah banjir zaman Nuh, Hud, dan galodo Saba’, secara eksplisit mengaitkan fenomena alam dengan ekspresi kemurkaan Tuhan. Menurut Abdillah, perspektif banjir sebagai hukuman maupun ujian keimanan, adalah pemahaman teologis “konvensional” yang membangun sikap etis, sabar, tawakkal, dan introspeksi diri yang tinggi. Ritual pertobatan massal, doa bersama tolak bencana, serta ajakan berlaku sabar, merupakan wujud dari sikap teologis konvensional ini.
Konsep ini, menurut Abdillah memunculkan persepsi yang cenderung kontradiktif, bahwa Tuhanlah penanggungjawab bencana, padahal Ia diyakini Maha Pengasih, Pemaaf, dan Penyantun. Untuk kasus banjir legendaris masa silam, teologi ini menurutnya masih bisa diterima. Namun untuk masa kini, pandangan itu dikritisi sebagai tidak relevan karena bencana di zaman modern lebih dominan akibat ulah destruktif manusia dalam mengelola ekologi. Lantaran itulah perlu perumusan ulang konsep teologi baru atau neo teologi yang bisa dijadikan paradigma dalam pengelolaan ekologi secara benar dan bertanggung jawab.
Neo Teologi Bencana
Secara singkat konsep neo teologi adalah pandangan bahwa bencana bukanlah fenomena kemurkaan Tuhan atau musibah ujian keimanan, tetapi fenomena ekologis akibat ulah destruktif manusia yang mengelola alam dengan menentang “sunnah lingkungan”. Argumentasi teologisnya antara lain QS. Al-A’raf: 64 dan 72 ; “Kami tenggelamkan dan Kami punahkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami”. Makna “ayat-ayat Kami” tidak hanya mencakup ayat qouliyah (wahyu) tetapi juga kauniyah yang terhampar di alam semesta. Sunnatullah sebagai hukum alam untuk memelihara keseimbangan dan kesinambungan ekologis adalah ayat kauniyah. Inilah yang dilanggar sehingga bencana ekologi terjadi sesuai prinsip kausalitas.
Refleksi neo teologi akan melahirkan sikap ekologis positif dan tanggung jawab yang besar bagi manusia sebagai khalifatullah fil ardh atas fenomena bencana. Dengan potensi akal pikiran, manusia bertanggung jawab mengelola ekologi sebaik mungkin agar bencana dapat dihindari. Pengabaian dan pelanggaran sunnah lingkungan merupakan pengkhianatan manusia atas mandat khalifatullah yang diberikan Tuhan.
Khalifatullah, Eksekutif Pengelola Ekologi
Jabatan khalifatullah adalah amanah ketuhanan yang dibebankan ke pundak manusia, relevan dengan beragam potensi yang melekat pada dirinya. Konsep inilah yang menjadi pembeda dari konsep positivisme Barat dalam membaca hubungan manusia dengan ekologi. Paradigma keilmuan positivisme Barat telah memutuskan mata rantai Tuhan dengan fenomena alam. Tuhan tidak ada dalam terminologi sains. “Got its tot, Got bleibt tot, und wir ihn getott, requiem aetemam deo” adalah ungkapan terkenal Nietzsche sebagai klimaks bahwa Tuhan telah tiada. Akibatnya, diskursus sain positivisme Barat bersikap abstain bahkan menegasikan Tuhan dalam fenomena alam.
Sedangkan Islam mengaitkan Tuhan dan manusia dalam diskursus ekologi. Tuhan adalah kreator (pencipta) alam semesta, jadi bukan tercipta secara kebetulan dan sia-sia belaka lewat evolusi. Tuhanlah pemilik mutlak dan pemelihara tunggal alam raya. Konsep kejadian manusia memiliki misi ketuhanan, sebagai khalifah, mandataris eksekutif pengelola bumi. Hak pengelolaan bersifat nisbi, sementara, terikat dengan ruang dan waktu, serta akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sebagai Pemilik dan Pemberi mandat di akhirat.
Karenanya, manusia tidak bisa begitu saja mengelola alam menuruti hawa nafsu yang memang berpotensi destruktif. Islam tidak menganut antroposentrisme yang memandang manusia serba bisa, serba kuasa dan serba istimewa. Mandat pengelolaan alam harus berjalan dalam koridor ketuhanan, baik dengan ayat qouliyah dalam kitab suci yang melarang perilaku destruktif dan eksploitatif, maupun ayat kauniyah lewat sunnatullah yang kausalistik. Karena itu, dalam konteks neo teologi, selain berdoa agar terhindar dari bencana, manusia juga mesti mematuhi sunnah lingkungan dalam mengelola ekologi. Sangat irrasional tentunya, jika kita berdoa terhindar dari bencana, sementara justru kita sendirilah aktor bencana itu. Wallahu a’lam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.