Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam, maka setiap pada tanggal 1 Muharam kalender hijriyah dijadikan sebagai hari libur nasional. Untuk tahun ini, 1 Muharam jatuh pada tanggal 21 september. Penetapan sebagai hari libur nasional pada 1 Muharam, tentu tidak sekadar peringatan historis yang dilakukan. Namun, harus mampu mengambil nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menyongsong perubahan ke depan yang lebih baik. Untuk itu, setiap peringatan ini perlu kiranya ada rekonstruksi nilai-nilai terkait dengan hijrahnya Rasulullah SAW.
Apa yang menjadi tujuan atau makna di balik penetapan awal dari tahun hijriyah? Dalam hal ini tentu Amirul Mukminin Khalifah Umar Ibn al-Khattab tak sembarangan dalam menetapkan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah sebagai awal penanggalan dalam kalender Islam. Kendatipun peristiwa hijrah itu terjadi di pengujung Safar dan Nabi sampai di Makkah 12 Rabiul Awal, namun khalifah dan para sahabat saat itu sepakat untuk menetapkan peristiwa hijrah sebagai tahun pertama dalam sistem kalender Islam. Jika pada saat ini kita memasuki tahun 1439 hijriyah maka harus dipahami bahwa tahun awal itu pada peristiwa hijrah.
Hal yang menarik untuk dikaji adalah mengapa sosok Khalifah Umar menetapkan peritiwa hijrah yang oleh banyak pakar seperti Fazlur Rahman menyebutnya sebagai titik balik peradaban Islam, sebagai awal dari kalender Islam? Padahal banyak peristiwa lainnya yang lebih besar, seperti kelahiran Rasulullah atau yang lainnya. Hijrah sesungguhnya merupakan metode perubahan atau transformasi dalan Islam. Tentu hijrah tidak bisa dipahami hanya dalam konteks perubahan tempat atau lokasi. Namun hijrah memiliki makna yang sangat luas sekali. Dikatakan metode perubahan, karena memang tidak ada cara untuk memajukan Islam atau menjadikan peradaban Islam sebagai lokomotif peradaban dunia kecuali dengan hijrah.
Menurut analisis M Quraish Shihab seorang pakar tafsir, setidaknya ada tiga nilai penting yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah dalam menyongsong perubahan. Pertama, nilai pengorbanan. Dalam bahasa Al Quran, pengorbanan ini disebut dengan jihad. Dalam hal ini, jihad bisa dilakukan dengan harta maupun jiwa dalam makna yang sangat luas.
Kalau kita merujuk pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, nilai pengorbanan ini dengan cukup indah digambarkan oleh Rasulullah. Ketika Rasul ingin melaksanakan hijrah, Abu Bakar datang membawa seekor unta untuk diberikan kepada Rasulullah sebagai kenderaan untu hijrah. Namun pada saat itu Rasulullah tidak mau menerima pemberian Abu Bakar tersebut, dan ini sungguh berbeda dengan sebelumnya di mana Rasulullah sering menerima pemberian dari para sahabat sebagai hadiah termasuk dari Abu Bakar.
Dari sikap Rasulullah ini, sebetulnya Rasul ingin mengajarkan kepada kita, bahwa untuk mencapai suatu tujuan besar apalagi dalam kerangka membangun peradaban manusia dibutuhkan sebuah pengorbanan. Mustahil rasanya jika kita ingin bangkit namun tidak siap untuk berkorban. Selanjutnya, sekecil apapun pengorbanan kita, kalau itu dimaksudkan untuk tujuan yang mulia, maka akan tetap berharga dan tentunya dibalasi oleh Allah SWT di akhirat kelak.
Kedua, nilai makna hidup. Apa sesungguhnya hakikat kehidupan itu? Dalam banyak hadist Rasul menyampaikan bahwa hidup yang bermakna itu adalah hidup yang memiliki nilai pengabdian. Rasulullah SAW bersabda khairunnaas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain). Hidup akan bermakna jika memberikan manfaat kepada kemanusiaan lebih-lebih kepada agama dan bangsa.
Kembali merujuk pada peristiwa hijrahnya Rasululullah, nilai dari makna hidup yang memberikan manfaat kepada orang lain ini, sungguh dicontohkan dengan lantang oleh Khalifah keempat Ali Ibn Abu Thalib. Saat Rasulullah hendak berangkat, Rasul meminta Ali Ibn Abu Thalib untuk menggantikan posisinya di tempat tidur. Tujuan Rasul adalah hendak mensiasati kafir Quraiys yang sudah siap mengepung rumah Rasul dan berencana ingin membunuhnya. Ketika tawaran ini disampaikan kepada Ali Ibn Abu Thalib tanpa ragu-ragu ia langsung menerimanya kendati pun ia sadar bahwa taruhannya adalah nyawa. Lalu, pertanyaanya adalah kenapa Ali siap memenuhi permintaan tersebut? Ternyata Ali menyadari bahwa pada hakikatnya, hidup yang bermakna itu adalah hidup yang memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam bahasa buya Hamka hidup bukan hanya sekadar perjalanan siklus antara makan dan tidur, namun hidup adalah melahirkan prestasi terbaik untuk kepentingan agama.
Ketiga, nilai usaha dan tawakkal. Dalam rangka perjalanan hijranya Rasullullah, Allah SWT tidak memberikan Buraq kepada Rasul sebagaimana Allah menyiapkannya ketika Rasul Isra’ dan Mi’raj, Allah juga tidak menghalangi orang-orang kafir yang hendak membunuh Rasul. Padahal, tidak ada sulitnya bagi Allah untuk menghujani orang-orang kafir dengan batu-batu neraka jahanam. Namun Allah tidak melakukannya sampai pada titik dimana Rasulullah dan Abu Bakar memerlukan batuan.
Nabi harus berjuang dulu bersama Abu Bakar, melewati kepungan kaum kafir, menelusuri bukit berbatu dengan sengatan matahari yang sangat panas. Hampir 12 hari perjalan yang harus ditempuh untuk sampai di Madinah al-Munawaroh. Di dalam perjalanan itu ada usaha dan kerja keras. Namun pada titik tertentu, disaat kemampuan berusaha berada pada titik nadir, Nabi juga bertawakkal kepada Allah SWT. Ketika berada di gua Tsur, disaat kaum kafir berada dimulut gua dan siap untuk memergoki Rasul, Rasul hanya berkata laa takhof walaa tahzan, innalloha ma’anaa (jangan takut dan jangan gentar,sesungguhnya Allah bersama kita). Benar, Allah menolong Nabi dan akhirnya selamat dari kejaran kaum kafir.
Sayangnya seringkali kita keliru dalam menempatkan usaha dan tawakkal ini. Adakalanya masa untuk berusaha dijadikan sebagai masa untuk bertawakkal kepada Allah, dan sebaliknya, masa untuk bertawakkal digunakan untuk berusaha. Dalam peristiwa hijrah di atas, Rasul mengajarkan kepada kita bagaimana menempatkan usaha dan tawakkal tersebut. Usaha harus dilaksanakan dengan maksimal, barulah kemudian kita bertawakkal. Guna tawakkal adalah ketika apa yang kita inginkan tidak sama dengan keinginan Allah.
Demi mencapai suatu perubahan kepada yang lebih baik, maka dengan beberapa nilai-nilai hijrah yang telah dikemukakan di atas, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai pedoman. Sehingga, perubahan-perubahan yang ingin kita capai memiliki kesamaan konsep dengan perubahan yang dilakukan oleh Rasul, yaitu bukan untuk kemajuan sendiri, tapi untuk kemajuan bersama. Wallahu a’lam. (*)
LOGIN untuk mengomentari.