in

Pandemi Dapat Memicu Krisis Utang

» Inisiatif Penangguhan Layanan Utang dari negara G20 diperkirakan 5 miliar dollar AS.

» Patokan batas maksimum utang 60 persen dari PDB berpotensi jadi pemicu gagal bayar.

BERLIN – Presiden Bank Dunia, David Malpass, pada Minggu (4/10), mengatakan pandemi Covid-19 da­pat memicu krisis utang di beberapa negara. Oleh sebab itu, investor harus siap memberikan beberapa bentuk ke­ringanan termasuk kemungkinan me­lakukan pembatalan utang.

“Beberapa negara terbukti tidak da­pat membayar kembali utang yang me­reka tanggung. Sebab itu, kita juga harus mengurangi tingkat utang. Ini bisa dise­but keringanan atau pembatalan utang,” tutur Malpass kepada harian bisnis Handelsblatt dalam sebuah wawancara.

“Adalah penting bahwa jumlah utang dikurangi dengan restrukturisasi,” tam­bah Malpass seperti dikutip dari Reuters pada Minggu (4/10).

Malpass mengatakan langkah mem­berikan keringanan sudah pernah di­lakukan dalam krisis keuangan sebe­lumnya di Amerika Latin yang disebut inisiatif Heavily Indebted Poor Country (HIPC). Skema tersebut diprakarsai oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Inter­nasional (IMF) pada 1996 setelah dilobi oleh sejumlah Lembaga Swadaya Ma­syarakat (LSM) dan badan lain.

Inisiatif itu memberikan keringanan utang dan pinjaman berbunga rendah untuk membatalkan atau mengurangi pembayaran utang luar negeri ke tingkat yang berkelanjutan, sehingga mereka dapat membayar kembali utang tepat waktu di masa depan.

Pada bulan lalu, lanjut Malpass, ne­gara-negara kaya mendukung perpan­jangan dari Inisiatif Penangguhan Layan­an Utang atau Debt Service Suspension Initiative (DSSI) dari negara-negara G20 yang disetujui pada April. Layanan itu di­maksudkan untuk membantu negara-ne­gara berkembang bertahan dari pandemi Covid-19. Dari inisiatif tersebut, sebanyak 43 dari 73 negara yang memenuhi sya­rat berpotensi mendapat penangguhan pembayaran sekitar lima miliar dollar AS.

Dia juga menyerukan agar bank swas­ta dan perusahaan pengelola investasi untuk ikut terlibat karena pandemi yang berlangsung saat ini dapat mendorong 100 juta orang ke dalam kemiskinan eks­trem. “Para investor ini tidak melakukan cukup banyak dan saya kecewa dengan mereka. Juga, beberapa pemberi pin­jaman besar seperti Tiongkok tidak cu­kup terlibat. Oleh karena itu, dampak dari langkah-langkah bantuan kurang te­rasa dari yang seharusnya,” katanya.

Malpass juga memperingatkan bahwa pandemi dapat memicu krisis utang lain karena beberapa negara berkem­bang telah memasuki spiral pertumbuh­an yang lebih lemah dan masalah ke­uangan. “Defisit anggaran yang sangat besar dan pembayaran utang membe­bani negara-negara ini. Apalagi, bank-bank di sana kesulitan karena kredit ma­cet,” tukas Malpass.

Kondisi yang disampaikan Malpass itu sangat mirip dengan kondisi pereko­nomian Indonesia saat ini, di mana de­fisit anggaran sangat besar yaitu diper­kirakan mencapai 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan pembayaran bunga utang tahun ini diproyeksikan sebesar 338,8 triliun rupiah. Begitu juga ratusan triliun kredit yang berpotensi macet, na­mun direlaksasi dengan restrukturisasi.

Potensi Gagal Bayar

Menanggapi seruan Bank Dunia yang mirip dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, Direktur Eksekutif Center Budget Analysis, Uchock Sky Khadafi mengatakan momentum tersebut seharusnya diman­faatkan pemerintah untuk meminta po­tongan utang dan moratorium, ketimbang menarik dan menambah utang baru.

“Semua negara mengalami hal yang sama sulit mencari pembiayaan, jadi tidak perlu sungkan memanfaatkan penawaran tersebut. Potongan utang dan moratorium ada koridornya dan di­mungkinkan karena tuntutan kondisi , bukan sesuatu yang tabuh,” kata Uchock.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan dengan profil utang pemerintah pada 2020 yang telah mencapai 5.594,9 triliun rupiah per Agustus 2020 atau meningkat 816,3 triliun rupiah dibandingkan posisi 2019 sebesar 4.778,6 triliun rupiah, maka akan sangat membahayakan kesehatan fiskal dan po­tensi default atau gagal bayar sangat tinggi.

Pemerintah, katanya, terlalu berpa­tokan pada ketentuan batas aman utang yang diatur dalam Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selama belum mencapai ambang batas maksimum, maka pemerintah berusaha menambah utang, sebagai jalan pintas pembiayaan program dalam situasi pandemi saat ini.

“Meski pemerintah optimis keuangan negara masih mampu membayar utang, namun harus hati-hati, jangan sampai gagal bayar dikemudian hari, terutama penerbitan Surat Utang Negara (SUN) yang sangat berisiko,” kata Badiul.

n SB/uyo/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Rahmat Fauzi  Mursalin Jabat Kepala Sekretariat Bawaslu Sumsel

UU Cipta Kerja untuk Efektifkan Birokrasi