DIGITALISASI layanan publik di lingkup pemerintah daerah (Pemda) selama ini sering dipromosikan sebagai bagian dari modernisasi birokrasi.
Janjinya menggiurkan: layanan lebih cepat, transparan, ringkas, dan mudah dijangkau warga. Namun, dalam praktiknya, digitalisasi justru menghadirkan paradoks.
Di banyak daerah, teknologi yang diperkenalkan tidak sepenuhnya menjawab persoalan mendasar. Alih-alih memudahkan, sebagian layanan justru memperlihatkan jarak antara visi reformasi birokrasi dan realitas pelaksanaan di lapangan.
Paradoks: Antara Ambisi dan Kesiapan
Pertama, infrastruktur digital yang belum merata menjadi hambatan paling nyata. Pemda meluncurkan berbagai aplikasi layanan, namun di banyak wilayah jaringan internet masih lemah, perangkat tidak memadai, dan ruang server kerap tidak siap. Akhirnya, inovasi hanya menjadi etalase modernisasi tanpa kekuatan operasional.
Kedua, layanan digital berjalan dalam pola yang terfragmentasi. Banyak pemda mengembangkan puluhan aplikasi tanpa integrasi data. Warga harus berkali-kali membuat akun, mengunggah dokumen serupa, dan berpindah aplikasi hanya untuk satu urusan dasar pemerintahan. Digitalisasi menjadi birokrasi baru yang melelahkan.
Ketiga, kesiapan sumber daya manusia belum mengikuti laju teknologi. Pelatihan aparatur sering tidak memadai. Alur layanan memang berpindah ke platform digital, tetapi eksekusi tetap dilakukan secara manual—formulir digital tetap diminta dalam bentuk fisik, antrean online tetap mengharuskan warga datang pagi-pagi. Akarnya adalah budaya kerja yang belum berubah.
Keempat, warga jarang ditempatkan sebagai pusat desain. Banyak aplikasi sulit digunakan, tampilan membingungkan, petunjuk tidak jelas, dan fitur tidak inklusif bagi lansia maupun masyarakat dengan literasi digital terbatas. Dalam suasana seperti ini, warga justru kembali bergantung pada bantuan informal atau calo.
Digitalisasi menjadi paradoks: teknologi berkembang cepat, tetapi kualitas layanan publik tidak selalu ikut bergerak maju.
Memasuki tahun 2026, pemda membutuhkan langkah korektif yang lebih terarah.
Pertama, integrasi layanan menjadi kunci. Penerapan single sign-on, portal terpadu, dan satu pintu layanan akan memutus rantai fragmentasi aplikasi dan menurunkan beban administratif warga.
Kedua, investasi pada infrastruktur digital perlu diprioritaskan. Tanpa konektivitas yang kuat dan perangkat yang andal, digitalisasi hanya berfungsi sebagai dekorasi birokrasi.
Ketiga, peningkatan kapasitas aparatur harus dilakukan secara sistematis. Literasi digital, keterampilan mengelola data, dan budaya pelayanan menjadi fondasi transformasi yang sesungguhnya.
Keempat, setiap inovasi digital harus dirancang berbasis kebutuhan pengguna. Prinsip aksesibilitas, kesederhanaan, dan keberpihakan kepada warga harus ditempatkan sebagai orientasi utama.
Kelima, evaluasi tahunan terhadap efektivitas aplikasi perlu dilakukan secara transparan. Pemda harus berani menghapus aplikasi yang tidak digunakan, menggabungkan yang tumpang tindih, dan mengembangkan hanya layanan yang benar-benar memberi manfaat.
Digitalisasi seharusnya bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan layanan publik yang lebih manusiawi, inklusif, dan efisien.
Paradoks yang muncul hari ini adalah pengingat bahwa teknologi tidak otomatis menghadirkan kualitas. Ia memerlukan kesiapan ekosistem, perubahan budaya birokrasi, dan orientasi kuat pada kebutuhan masyarakat.
Refleksi menjelang 2026 menjadi momentum memperbaiki arah. Yang dibutuhkan bukan sekadar lebih banyak aplikasi, tetapi lebih baiknya pelayanan: yang mudah diakses, tidak diskriminatif, dan benar-benar mempermudah hidup warga.
Dengan cara itulah digitalisasi pemda dapat kembali pada esensinya sebagai alat untuk meningkatkan kepercayaan publik sekaligus mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. (**)
Berita Serupa