Pada masa tertentu sebagian tokoh masyarakat Minang telah berhasil jadi elite nasional. Mereka yang tampil sebagai elite nasional pada masa awal berdirinya republik Indonesia adalah kaum terpelajar yang sebelumnya menjadi pejuang, negarawan dan tokoh politik. Posisi elite mereka dapatkan karena upaya-upaya memperjuangkan kemerdekaan melalui organisasi-organisasi yang menjadi instrument pergerakan nasional. Sejak muda, tokoh seperti Hatta, Syahril, Tan Malaka dan lainnya telah aktif dalam organisasi pemuda, demikian juga ketika sekolah di Belanda mereka tampil sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia. Mereka merepresentasi perjuangan rakyat Indonesia sebagaimana Soekarno dan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya.
Masuknya era kekuasaan Orde Baru menyebabkan terbentuknya elite baru melalui dominasi struktur kekuasaan. Elite masyarakat Sumatera Barat terbentuk dari tokoh-tokoh yang menjabat pada pemerintahan atau dekat dengan kekuasaan dari pusat sampai daerah. Mereka berasal dari kalangan ABRI, pengusaha, intelektual dan birokrat. Pembentukan elitenya lebih terstruktur dari level tertinggi sampai terendah melalui proses kaderisasi yang jelas dengan menggunakan berbagai instrument kekuasaan dan birokrasi. Hal ini juga dipengaruhi pola kekuasaan Orde Baru yang sangat sentralistik, dominan dan menghegemoni. Siapa yang akan tampil ”keatas panggung” harus melalui mekanisme jejaring atau struktur kekuasaan rezim Orde Baru.
Pasca reformasi mekanisme politik juga telah berperan untuk menjadi gerbang munculnya elite baru. Mereka yang selama ini tidak dikenal, kemudian secara perlahan melalui jabatan-jabatan politik telah mengukuhkan diri menjadi elite baru. Pola itu terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada sebagian orang, ketokohannya muncul dalam dunia politik dilatarbelakangi oleh keterlibatan pada Ormas, OKP dan NGO. Sebagian lain karena adanya dukungan uang untuk mendapatkan jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif.
Polarisasi kekuatan politik pasca reformasi dengan sistem demokrasi bercorak liberalis telah mempengaruhi sistem rekrutmen elite dari pusat sampai ke daerah. Kondisi demikian juga terjadi di Sumatera Barat dengan hadirnya tokoh-tokoh baru yang muncul melalui berbagai kekuatan politik setiap pemilu dan Pilkada. Golkar tidak lagi satu-satunya rumah produksi kader elite sebagaimana pada masa lalu.
Semakin kental nuansa demokrasi liberal, instrument uang kian menjadi dasar kehadiran elite. Instrumen uang mengalahkan ketokohan yang hadir karena aspek tradisional seperti ketokohan adat, ketokohan agama, ketokohan pergerakan sosial, kepemudaan dan ketokohan karna faktor intelektualitas dan karir akademis di perguruan tinggi. Trend politik dan pemilu begitu jelas memperlihatkan, uang menjadi faktor penting untuk membangun citra ketokohan seseorang. Apalagi media massa juga ikut mendukung hal itu karena dipengaruhi factor bisnis.
Dalam konsep tradisional masyarakat Minang sebagaimana masyarakat tradisional lainnya produksi elite melalui mekanisme adat. Posisi niniak mamak dalam nagari merupakan posisi elite permanen. Mereka kemudian didukung oleh kelompok elite lainnya yang disebut sebagai alim ulama dan cadiak pandai. Masih fungsionalnya sistem dan struktur adat sangat menentukan efektifnya posisi elite mereka. Lama kelamaan pergeseran nilai dan melemahnya fungsi struktur adat dalam kehidupan masyarakat Minang juga telah menggeser pengaruh mereka yang dulu dominan. Posisi elite tradisional kini antara ada dan tiada walau di tingkat nagari mereka masih dilibatkan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan di tingkat nagari namun hanya pelengkap belaka.
Elitee Karbitan
Permasalahan lainnya, sejauh mana elite yang terbentuk dalam tatanan sosial memberikan pengaruh perubahan dan kemajuan pada masyarakat. Karakter elite akan berpengaruh terhadap sikap masyarakat karena mereka adalah teladan. Elite yang tak memiliki karakter yang kuat menggambarkan masyarakat yang lemah. Rekrutmen elite yang bersifat instan melalui mekanisme politik saat ini akan menghasilkan elite karbitan. Elite yang tak mampu memberikan spirit baru bagi masyarakat. Lebih merupakan elite secara formalitas.
Ciri kaum elite saat ini yang menonjol adalah pragmatis dan hedonis. Elite yang hadir melalui berbagai institusi serta mekanisme sosial dan politik lebih sering mempertontonkan sikap pragmatis dan hedonis. Mereka memiliki pandangan bahwa masyarakat bisa dipengaruhi dengan uang dan barang-barang mewah. Kalau ingin mendapatkan dukungan dan perhatian harus memiliki uang. Budaya ini terus diciptakan dalam mekanisme pemilu yang dipenuhi para pemilik uang.
Kemunculan elite dalam setiap masa pemilu ditandai dengan banyaknya gambar-gambar mereka terpampang di hadapan publik. Gambar-gambar yang bergantungan di pohon-pohon dan di pembatas-pembatasjalan, serta gambar-gambar yang masuk ke rumah-rumah dan warung-warung dalam bentuk kalender. Wajah mereka yang dulu tak dikenali, kini secara perlahan mulai familiar walaupun hanya sebatas gambar.
Setiap akhir pemilu dan pilkada kita akan kedatangan lagi elite masyarakat yang baru. Mereka yang dulu tak dikenal dan tak terlalu diperhatikan kini muncul ke ranah publik dan mulai diperhitungan sebagai tokoh masyarakat. Orang-orang akan datang meminta bantuan dan mulai memperlakukan mereka sebagai orang penting karena memiliki uang, jabatan dan koneksi untuk berbagai urusan.
Lemahnya bangunan elite saat ini juga menyebabkan begitu gampangnya mereka dilupakan. Berbeda dengan elite masa lalu yang dibentuk dalam tatanan masyarakat tradisional baik oleh masyarakat adat ataupun masyarakat agama serta masa pergerakan kemerdekaan. Mereka menjadi elite karena perjuangan untuk masyarakat secara ikhlas. Mengutamakan keluhuran budi, kearifan dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.