Rehabilitasi merupakan proses pemulihan penyalah guna narkotika yang meliputi pecandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan baik secara medis maupun sosial dalam rangka mengembalikan mereka menjadi warga masyarakat yang berguna. Rehabilitasi menjadi alternatif pidana yang ditetapkan bagi penyalah guna narkotika dengan syarat tertentu.
Penetapan rehabilitasi dilakukan oleh aparat penegak hukum dan lembaga yang berwenang dengan membentuk Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari dokter, psikolog, Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Tim ini atas permintaan penyidik melakukan analisis peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap sebagai pecandu, penyalah guna, atau korban penyalahgunaan narkotika.
Menurut Pasal 54 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Untuk melaksanakan pasal tersebut, pemerintah menyediakan layanan dan akses pada layanan rehabilitasi bagi pecandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang memerlukan rehabilitasi. Layanan dan akses rehabilitasi tersebut meliputi balai rehabilitasi, loka rehabilitasi, rumah rehabilitasi, dan institusi penerima wajib lapor (IPWL). Di samping layanan yang disediakan pemerintah, terdapat pula layanan rehabilitasi yang disediakan masyarakat melalui intervensi berbasis masyarakat (IBM).
Selama 2022, sebanyak 31.868 penyalah guna narkotika mengakses layanan rehabilitasi secara nasional, naik dari tahun 2021 yang berjumlah 26.693 penyalah guna. Angka tersebut melebihi target RPJMN sejumlah 27 ribu penyalah guna. Namun demikian, belum dapat memenuhi arahan Presiden sebagaimana disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Narkoba Tahun 2015 untuk merehabilitasi sebanyak 100 ribu penyalah guna per tahun. Di sisi lain, BNN sebagai leading sector Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) hanya mampu menyelenggarakan rehabilitasi sebanyak 12.570 orang pada 2020, 11.290 orang pada 2021, dan 13.374 orang pada 2022.
Berdasarkan pemantauan, dapat diidentifikasikan beberapa masalah dalam pelaksanaan rehabilitasi, yakni: i) keterbatasan anggaran yang dimiliki kementerian/lembaga penyelenggara rehabilitasi; ii) pasien rehabilitasi banyak yang tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS)/BPJS Kesehatan sehingga tidak dapat dilakukan tindakan medis; iii) penyediaan layanan rehabilitasi belum cukup merata; dan iv) pemahaman wajib lapor bagi pecandu atau orang tua/wali belum cukup baik serta kurang disosialisasikan.
BNN sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi pencegahan dan penanggulangan narkotika berdasarkan Peraturan BNN Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Rehabilitasi Berkelanjutan mengupayakan penyelenggaraan rehabilitasi secara kolaboratif melibatkan masyarakat melalui IBM serta penyelenggaraan rehabilitasi mitra BNN milik instansi pemerintah. Layanan rehabilitasi yang diselenggarakan BNN terus ditingkatkan kualitasnya dari segi kelembagaan maupun sumber daya manusianya dengan menerapkan SNI 8807:2022 tentang Penyelenggara Layanan Rehabilitasi bagi Orang dengan Gangguan Penggunaan NAPZA. BNN bersama Kemenkumham, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Sosial (Kemensos) telah memberikan 1.223 layanan rehabilitasi yang responsif gender dan usia serta berbagai latar belakang dan 434 layanan rehabilitasi sesuai SNI 8807:2022.
Mengingat jumlah penyalah guna narkotika yang terus meningkat dari tahun ke tahun, perlu adanya kebijakan yang diambil untuk mempercepat rehabilitasi penyalah guna narkotika. Hasil temuan BNN bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Pusat Statistik (BPS), angka penyalahgunaan narkotika tahun 2021 sebesar 1,95 persen atau sekitar 3.662.646 penyalah guna. Angka ini naik dari tahun 2017 dan 2019 yang masing-masing sebesar 1,77 persen (3.376.115 penyalah guna) dan 1,80 persen (3.419.188 penyalah guna).
Setidaknya terdapat tiga kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan capaian rehabilitasi. Pertama, peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi melalui peningkatan kelembagaan, sumber daya, serta infrastruktur balai/loka rehabilitasi dan IPWL. Pengoptimalan layanan rehabilitasi eksisting juga dapat dilakukan untuk mendukung peningkatan kapasitas layanan rehabilitasi baik dengan fasilitas rawat inap maupun rawat jalan. Selain itu, peran serta masyarakat melalui IBM menjadi pilar penting dalam peningkatan layanan rehabilitasi guna menjangkau penyalah guna narkotika yang memiliki keterbatasan akses terhadap rehabilitasi karena faktor geografis dan keterbatasan biaya.
Kedua, optimalisasi peran TAT yang terdiri dari Kemenkes, Polri, BNN, Kejaksaan, dan Kemenkumham dan penerapan restorative justice terhadap pecandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan narkotika serta memaksimalkan penerapan rehabilitasi dibanding pemidanaan. Peningkatan kompetensi terhadap para pihak dalam TAT dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan performa TAT.
Ketiga, penguatan peraturan perundang-undangan untuk mendukung pencapaian target rehabilitasi 100 ribu penyalah guna setiap tahun sebagaimana arahan Presiden pada tahun 2015. Peraturan perundang-undangan dimaksud meliputi UU, peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri (permen) yang mengatur lebih kuat mengenai kelembagaan, personel, dan dukungan anggaran.
Melalui dukungan kebijakan tersebut di atas dapat diharapkan adanya peningkatan kapasitas dan kualitas rehabilitasi. Pada lingkup yang kecil, rehabilitasi dapat memulihkan individu baik fisik, mental, maupun sosial sehingga dapat reintegrasi pada lingkungan masyarakat serta dapat kembali melaksanakan fungsi sosial sebagaimana mestinya. Sementara lingkup yang lebih luas, rehabilitasi yang optimal akan mengurangi overcapacity lembaga pemasyarakatan beserta multiplier effect-nya serta menekan angka residivis pelaku tindak pidana narkotika di kemudian hari.
Upaya penanggulangan narkotika melalui rehabilitasi mudah-mudahan mendapatkan momentum dengan adanya peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) tanggal 26 Juni mendatang.
—oOo—
(Kedeputian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan)