in

Pengamat: Paska Putusan Sengketa Pilkada Aceh, Kedudukan UUPA Semakin Terjepit

ACEHTREND.CO,.Jakarta – Pengamat Politik dan Hukum Aceh, Erlanda Juliansyah Putra menilai putusan Mahakamah Konstitusi yang menolak 9 permohonan yang diajukan oleh para pemohon dari 10 permohonan yang dilayangkan ke mahkamah konstitusi, semakin menegaskan bahwa kedudukan UUPA yang saat ini berlaku sebagai norma hukum yang khusus di Aceh itu  semakin terjepit.

Erlanda yang sejak awal memprediksikan putusan MK itu akan bermuara pada penolakan 9 putusan ini mengatakan, “MK saat ini tidak  mungkin mengesampingkan keberlakuan Pasal 158 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, karena hal itu merupakan syarat formilnya.

“MK itu pasti mempergunakan ketentuan ini terlebih dahulu, sebab MK itu sudah pernah memutuskan  persoalan syarat formil ini melalui putusan MK No. 58/PUU-XIII/2015  tentang syarat formil pengajuan sengketa yang dicantumkan didalam Pasal 158 UU Pilkada, tidak mungkin MK itu mengesampingkan putusannya sendiri.”

Walaupun memang disatu sisi persoalan ini menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum yang berpendapat bahwa hal itu tidak berlaku bagi Aceh karena ada ketentuan khususnya melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, namun bukan berarti ketentuan terkait dengan syarat formal yang diatur didalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada itu tidak berlaku.

“lihat saja putusan sengketa Muzakir Manaf dan TA Khalid kemarin, MK itu menilai permohonan pemohon terkait dengan ketentuan khusus UUPA itu  tidak ada hubungannya dengan “lex specialis” dan “lex generalis”, andaikatapun ada terkait dengan perihal lex specialis itu bukan berarti ketentuan lex generalis disitu tidak berlaku, sepanjang hal itu tidak diatur didalam lex specialis ketentuan lex generalis itu tetap berlaku, dan itu jelas pendapat MK, bukan pendapat saya, bisa dilihat didalam putusan MK kemarin di halaman 85.

Walaupun memang disisi lain, MK itu terkesan mengabaikan permohonan pemohon dan tidak mempertimbangkan keadilan substansial yang diajukan pemohon, dan condong mempergunakan  keadilan yang sifatnya prosedural saja melalui syarat formil, namun putusan itu tetap harus dianggap benar.

Karena  memang ada istilah hukum yang menyebutkan bahwa “res judicata pro veritate habetur”, apa yang diputus hakim itu harus dianggap benar, karena memang hakim itu yang menggali kebenaran dan menetapkan keadilan diatas kebenaran.

Meskipun disisi lain, menurut Erlanda keputusan kemarin itu sebenarnya lebih memberikan pelajaran kepada kita bahwa UUPA itu ternyata tidak selamanya sakral dimata hukum, ada pengaturan-pengaturan baru yang lebih relevan yang terkadang tidak terakomodir lagi didalam UUPA yang juga sama sakralnya dengan UUPA, sehingga butuh perevisian atau perbaikan yang lebih relevan untuk penguatan UUPA itu sendiri.

Lihat saja dasar pertimbangan UUPA itu sendiri, hampir keseluruhan dasar hukum menimbangnya sudah direvisi baik terkait undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang tentang pemerintah daerah, dan undang-undang tentang partai politik, semuanya telah mengalami perubahan.

Begitu juga terkait dengan pelaksanaan pilkada itu sendiri juga telah mengalami beberapa kali perubahan, banyak hal yang tidak diakomodir UUPA saat ini termasuk perihal  cuti petahana kemarin itu juga hanya diatur di UU Pilkada  bukan di UUPA.

Persoalan inilah yang menurut Erlanda, harus segera disadari oleh para elit politik kita saat ini. “UUPA kita ada kelemahannya dan ini yang harus segera diperbaiki oleh para elit politik Aceh kedepannya”, jangan selalu terpaku pada penafsiran lex specialissemata, ada  dua adigium hukum perundang-undangan lainnya yang berkaitan satu sama lain, yakni lex superior dan lex posterior, ketentuan hukum yang sifatnya lebih tinggi dan ketentuan hukum yang sifatnya lebih baru, ini juga harus diperhatikan.

Bahkan dalam konteks hukum modern saat ini ada dua adegium baru yang dikenal di kalangan ahli hukum, walaupun adegium ini tidak semua ahli hukum dapat memahami konteks ini, seperti adigium “lex superior generalis derogat legi infriori” (undang-undang atau norma umum yang superior dapat menghapus norma khusus), dan “lex prior specialis derogat legi posteriori generali” (undang-undang atau norma khusus terdahulu dapat menghapus norma umum yang dibuat kemudian).

Sebagaimana halnya, putusan MK kemarin terhadap sengketa pilkada Aceh yang cendrung mempergunakan adegium hukum baru yakni “lex superior generalis derogat legi infriori” (undang-undang atau norma umum yang superior dapat menghapus norma khusus), untuk itu elit politik di Aceh setidaknya harus segera berbenah melepaskan ego kepentingan sendiri-sendiri dan harus segera duduk bersama membahas persoalan ini, karena ini penting bagi Aceh.[]

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Lokbin Cempaka Putih Barat Dilengkapi Photo Booth

Mainset Bangun Aceh Ditentukan Pada Keseriusan Membangun Perguruan Tinggi