Sewindu pascagempa 30 September 2009 silam, akhirnya penantian panjang korban gempa yang menghuni shelter gempa Nagari Sungaibatang, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam, terbayar sudah. Bantuan rumah relokasi yang diperuntukkan bagi 113 kepala keluarga (KK) di kawasan Damagadang sudah bisa didiami sejak 15 Agustus lalu. Termasuk 24 KK yang mendiami perumahan darurat Integrated Community Shelter (ICS), juga telah bergabung dengan korban gempa lainnya ke perumahan baru itu.
Seiring sudah pindahnya penghuni shelter di Sungaibatang itu, mengakhiri kisah pilu yang dirasakan korban gempa berasal dari empat jorong di Nagari Tanjungsani; masing-masing Jorong Mukojalan, Jorong Nanggai, Jorong Galapung dan Jorong Pandan itu. Shelter bantuan ICS yang dibangun Aksi Cepat Tanggap (ACT) bersama Pemkab Agam pada 24 Desember 2009 itu, mulai ditempati korban gempa sejak 24 Januari 2010. Di samping 175 unit shelter, juga ada satu unit mushala, satu unit perpustakaan, satu unit klinik, serta beberapa unit toilet.
Beberapa waktu kemudian, Pemkab Agam melalui BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) setempat juga membangun sebanyak 113 shelter beserta dua unit ruang relawan dan satu unit kantor ICS. Mulanya shelter ini dihuni 172 KK korban gempa dengan jumlah jiwa mencapai 669 orang. “Awalnya, warga keempat jorong itu tinggal di sini. Seiring berjalannya waktu, sudah banyak warga yang memutuskan pulang kampung. Ada pula membangun rumah di daerah lain. Sedangkan yang masih bertahan sampai hari ini berjumlah 24 KK,” jelas Koordinator Shelter Sungaibatang, Syafrial Sutan Basa saat dihubungi Padang Ekspres, Jumat (28/9).
Terkait ke-113 KK yang dipindahkan ke Damagadang tersebut, menurut Camat Tanjungraya Handria Asmi, sebagian besar di antaranya sudah dihuni. Terkesan lambannya pemindahan warga itu, menurut dia, akibat berlarutnya proses nogosiasi ganti rugi lahan yang dilalui PLN untuk memasok listrik ke kompleks relokasi. “Alhamdulillah persoalan itu sudah clear. Dalam pekan ini juga terus dikebut pemasangan meteran listrik,” kata Handria Asmi.
Kepada Padang Ekspres, Indra Junaidi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Rehabilitasi dan Rekontruksi korban gempa Nagari Tanjungsani menegaskan bahwa saat ini pembangunan 113 rumah di Damagadang sudah selesai sepenuhnya.
“Tidak ada lagi yang tinggal di shelter. Semuanya sudah pindah mendiami rumah baru. Sesuai kesepakatan dengan pemilik tanah tempat dibangunnya shelter, bekas bangunan shelter itu menjadi hak milik mereka setelah pengungsian pindah. Karena itu, pemilik sudah berhak menguasai bekas shelter itu. Bahkan, sebagian atap dan dinding yang masih utuh sudah dijual pemilik tanahnya,” beber Indra.
Dari awal rencana relokasi itu, menurut dia, merupakan rangkaian kegiatan rehabilitasi yang disokong dana rehab rekon BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sebesar Rp 55,7 miliar. Program rehabilitasi ditempuh dengan berbagai upaya. Sebanyak 602 KK yang menolak direlokasi, masing-masingnya diberikan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) senilai Rp 15 juta. Sementara itu, ada juga 51 KK lainnya yang bersedia direlokasi, namun memilih untuk membangun rumah di atas tanah sendiri di kecamatan lain.
“Mereka punya tanah di kecamatan lain, BPBD membangunkan rumah untuk mereka senilai Rp 56 juta sama dengan nilai rumah di daerah relokasi,” jelas Indra. Selain itu juga ada 32 KK yang telah membangun rumah secara swadaya pascabencana. “Bedanya, tanah milik mereka, mereka pulalah yang membangun rumah sendiri. BPBD lalu memberikan uang pengganti setara nilai rumah di wilayah relokasi, yaitu senilai Rp 56 juta juga,” bebernya lagi.
602 KK Bertahan
Di sisi lain, masyarakat yang menolak pindah ke kawasan relokasi masih bertahan di Nagari Tanjungsani dan sekitarnya. Artinya, masih terdapat 602 KK masih bertahan berada di kawasan zona merah. Bagi masyarakat yang tidak ingin direlokasi dan bertahan di kawasan bekas gempa, BPBD Agam mengaku telah mempergunakan sebagian dana rehab rekon untuk membangun gorong-gorong irigasi dan jembatan.
“Yang memilih tetap tinggal, tidak dibiarkan begitu saja. Untuk keadilan, selain memberi bantuan langsung BLM, sebagian dana rehab rekon diperuntukkan bagi perbaikan infrastruktur di zona merah ini,” bebernya. Selain itu, pemerintah juga membangun dua unit alat deteksi longsor Early Warning System (EWS) di Jorong Galapuang dan Jorong Batunanggai. “Kami sudah sosialisasikan ini kepada masyarakat setempat,” tambah Indra.
Menyikapi banyaknya warga yang masih berada di kawasan zona merah, Camat Tanjungraya, Handria Asmi mengaku cukup waswas. Untuk itu, salah satu program kerja prioritas yang dibebankan di pundaknya oleh Bupati Agam kepadanya adalah perihal mitigasi bencana.
Sementara itu, Bupati Padangpariaman Ali Mukhni menyebutkan bahwa pihaknya sudah berupaya mengembalikan kondisi Padangpariaman seperti sebelum bencana. “Kami terus berupaya menggencarkan program pembangunan. Alhamdulillah, sekarang sebagian besar fasilitas umum di Padangpariaman sudah dibangun. Sehingga, masyarakat kembali dipermudah menjalani aktivitas perekonomianya,” ujar Bupati Peraih Satya Lencana Pembangunan dari Presiden itu.
Untuk memperingati musibah tersebut, menurut Ali Mukhni, pihaknya bakal menggelar tablig akbar atau doa bersama. Hal ini sebagai harapan agar korban dalam bencana gempa itu selalu mendapat ketenangan di alam kuburnya. “Tablig akbar dan doa bersama ini, kita setalikan dalam peringatan tahun baru Islam. Insya Allah, kegiatan ini digelar di Tarok City,” tandas Ali Mukhni.
Di Pasaman Barat (Pasbar), BPBD setempat mengaku sudah mengusulkan delapan titik pembangunan shelter ke Pemprov Sumbar. Hal ini dimaksudkan sebagai tempat pelarian masyarakat apabila terjadi bencana. Adapun lokasi usulan pembangunan shelter itu adalah Sasak (dua unit), Sikilang, Maligi, Sikabau, Mandiangin, Katiagan dan Pulaupanjang.
Namun, sejauh ini usulan itu belum terealisasi. Hal itu semakin berat diwujudkan, mengingat sapanjang tahun 2017 dan 2018 tidak ada lagi pembangunan shelter sesuai kesepakatan Pemprov Sumbar dengan Pemerintah Pusat.
Bupati Pasbar Syahiran menyebutkan, sekitar 6.000 jiwa masyarakat di Nagari Katiagan, Kecamatan Kinali, membutuhkan jalur evakuasi dan shelter tsunami. Pasalnya, daerah tersebut merupakan salah satu nagari yang masuk zona merah dan rawan bencana. “Kami sedang mengupayakan agar dibangun shelter di daerah tersebut,” kata Syahiran.
Diklaim Rampung
Di sisi lain, Pemprov Sumbar mengklaim, jika perbaikan bangunan pemerintah, publik, hingga relokasi warga korban gempa nyaris rampung dilakukan. Bahkan, Sekretaris BPBD Sumbar, Eliyusman mengatakan, secara menyeluruh, relokasi terhadap korban gempa telah dilakukan. Bahkan, tidak ada warga yang kini tinggal di tenda pengungsian. Relokasi warga hanya dilakukan di Mentawai dan Kabupaten Agam.
“Tahun ini, sudah selesai sekitar 1.000 unit lebih hunian tetap (huntap) untuk warga Mentawai dari APBN,” kata Eliyusmas yang ditemui usai Shalat Jumat di kompleks kantor Gubernur Sumbar, kemarin, (29/9). Begitu juga soal shalter dan jalur evakuasi. Setidaknya, 3 dari 10 shalter program nasional didapat oleh Sumbar, dan ketiganya berada di Padang dan sudah selesai dibangun tahun 2016 lalu dengan anggaran Rp 30 miliar.
Tahun depan, sambung Eliyusman, Pemprov berencana menyulap kawasan bekas lapangan terbang Lanut Tabing menjadi bukit untuk shalter. Hal ini sudah dipersiapkan dan soal tanah juga telah selesai, tinggal menunggu realisasi APBN. “Kalau tidak ada kendala, program itu jadi tahun depan,” katanya.
Soal perbaikan bangunan akibat gempa, Kepala Dinas PUPR Sumbar, Fathol Bari menyebutkan, terhitung sejak Mei 2010 hingga 2017 ini sebanyak 62 bangunan dari total 64 bangunan pemerintah dan publik yang rusak akibat gempa, selesai direhabilitasi. Baik menggunakan anggaran APBN maupun APBD Sumbar.
Dua bangunan yang masih dalam tahap rehabilitasi itu, yakni gedung Dinas Pemberdayaan Perempuan dan KB. Kemudian, gedung bundo kanduang Sumbar. “Paling tidak, akhir 2017 ini selesai,” kata Fathol. (*)
LOGIN untuk mengomentari.