in

Penyair: Belajar dan Membuat Sejarah -2/Habis

Memang selalu ada persoalan mendasarkan yang mendera kita para penyair  dan penegak pancang perpuisian di Indonesia: Dalam perjalanan pulang itu, kita terkadang galau, bimbang, dan kerap seperti kehilangan ide, gagasan, inspirasi dan orientasi hidup dalam menulis puisi-puisi kita. Kita merasakan kehilangan kekuatan untuk menghasilkan puisi-puisi kehidupan kita yang lebih baru, lebih aktual. Lebih bergairah. Lebih hebat. Lebih baik dari puisi-puisi yang kita tulis sebelumnya, atau ditulis orang-orang lain yang juga mengembara bersama kita. 

Kita selalu terjebak dalam situasi yang stagnan ketika berusaha ingin mendedahkan luka, duka dan beban masa lalu dan mimpi masa depan kita, dengan cara-cara lebih kuat dan berkesan. Di antara kita terjadi persaingan yang ketat dalam proses kreativitas, aktualisasi dan implementasi gagasan. Kita terjebak dalam perangkap rutinitas, perangkap copy paste hidup,  yang sekan-akan membuat kita tak bergerak dan tetap seperti lalu-lalu juga. Jenuh dan secara perlahan membunuh kreativitas. Semacam proses bunuh diri kepenyairan kita. Kehilangan gairah, dan akhirnya merasa diri hanya sebutir pasir. Sebutir debu yang gagal menjemput takdir.

Kondisi ini terjadi, karena kita melupakan sumber utama dari energi puisi-puisi kita, yaitu sejarah. Kita lupa tak ada puisi yang ditulis tanpa bersumber dari jejak sejarah. Tanpa bersumber pada jejak dan riwayat kehidupan yang sudah ditulis oleh kita semua. Kita alpa untuk belajar, membaca dan menyerap makna sejarah yang sudah kita tulis. Belajar dan menggali esensi dan jejak kehidupan yang sudah kita pahat, serta kita catat. Kita lupa bahwa sejarah itu adalah sumur inspirasi dan gagasan yang tak pernah kering dan tidak tertandingi.

Adam dan Hawa pergi mengembara, dengan hanya membawa cinta dan dosa. Itulah sejarah yang mereka tulis dan buat. Itulah jejak kehidupan yang mereka warisi. Dan, kita anak cucunya, seperti mereka juga mengembara dengan memikul jejak sejarah itu. Cinta dan dosa. Cinta yang ujud dalam rasa kasih sayang, dan senantiasa ingin memberi. 

***

Sejarah bukan hanya secara filosofis menjadi sumber energi puisi kita, juga sejarah secara faktual. Peristiwa-peristiwa besar hasil dari perilaku kehidupan kita, telah menjadi sejarah, telah menjadi inspirasi dan melahirkan karya-karya puisi yang besar pula. Banyak puisi-puisi besar Chairil Anwar misalnya, lahir dari renungan dan jejak sejarah, terutama masa-masa revolusi.

Di Kepulauan Riau, Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji, adalah penyair yang menulis syair-syair indah tentang perjalanan bersejarah kakaknya Engku Puteri Raja Hamidah, pemegang Regelia Kerajaan Riau-Lingga. Bahkan seorang penyair wanita Melayu, Raja Sapiah, anak Raja Ali Haji, menulis syair yang panjangnya 6 meter (naskahnya yang harus digulung seperti gulungan kertas untuk menyimpannya, dan dapat dilihat pada pameran karya-karya penyair Kepulauan Riau di gedung Gongong), berisi tetang jejak dan riwayat kehidupan yang dia lalui. Jejak sejarah hidupnya. Dan tentu saja Raja Ali Haji, maestro sastra Melayu itu dengan Gurindan XII itu.

Penyair-penyair besar adalah penyair-penyair yang belajar memahami sejarah. Hakikat keberadaannya. Menggali sumur-sumur sejarah, menimba dan minum air sejarah dan kemudian membuat sejarah-sejarah baru. Yang lebih besar. Yang lebih bermakna. Yang lebih membanggakan bagi para pewarisnya dan masa depan kehidupan. Cinta, memanglah sumber energi batin yang kaya, kuat dan penuh gairah.

Tetapi, cinta adalah perjalanan batin yang tidak memberikan kita apa-apa yang luar biasa, kalau di dalamnya tidak ada sejarah kehidupan yang bernilai, yang dapat memberi kita energi baru dan terbarukan, yang bisa kita tinggalkan sebagai warisan kehidupan yang berguna. Puisi-puisi yang lahir dari cinta kering, cinta streotif, cinta tidak memberi kita rasa arif, akan menjadi jejak sejarah sia-sia.  

Sejarah adalah masa lalu yang kita tulis dalam puisi-puisi dengan persepsi tentang masa depan. Tentang harapan dan mimpi-mimpi. Orang yang tidak belajar tentang masa lalu, takkan meraih masa depan yang lebih cemerlang. Sejarah adalah tempat kita belajar tentang kehidupan ini. Tempat kita melihat dan merenungkan apa yang sudah kita lakukan, apa yang kita sumbangkan pada kehidupan kita ini sesuai kadar dan kualitas kepenyairan kita.

Sejarah adalah sumber inspirasi yang tidak pernah kering dari jejak keberhasilan dan kegagalan hidup kita. Dalam jejak sejarah itulah kita menemukan makna kehidupan kita. Makna dari luka sejarah yang kita rasakan menggelisahkan kita, duka sejarah yang kita rasakan pedih dan dosa sejarah yang kita rasakan perihnya, dan perinya, yang kemudian kita kuburkan perlahan-lahan dalam jejak masa lalu kita. 

***

Seperti pernah saya sampaikan pada pidato kebudayaan pada puncak peringatakan HPI 2016 lalu di Jakarta, Para Penyair Indonesia berutung karena kepenyairannya dibangun di atas landasan sejarah kreativitas yang kuat, yaitu sejarah kebahasaan sebagai medium ekpresi dan aktualisasi diri. Penyair Indonesia beruntung karena memiliki bahasa putika yang kuat dan indah, yaitu bahasa Indonesia.

Tidak banyak bangsa di dunia yang memiliki bahasa sendiri yang menjadi jati diri dan sarana konvensi kehidupan, terutama di dunia kepenyairan. Inilah yang harus dijadikan sebagai sumur sejarah, rumah bersama, medan kreativitas yang dipelihara dan dipertahankan secara bersama-sama. Di sinilah mereka lahir dan dibesarkan. Di sinilah mereka tumbuh dan berkembang.

Dari sinilah kemudian mereka mengembara untuk memberi makna kehidupannya, sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah keabadiannya. Ada kesadaran penuh bahwa bahasa adalah jati diri penyair. Penyair yang kehilangan bahasanya akan kehilangan jati dirinya. Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya dan mempertahankan sejarah kebahasaannya, menulis puisi-puisi besar yang akan memperkaya bahasanya.

Eksistensi seorang penyair, sastrawan, budayawan adalah  karyanya. Dan, karya-karya itu hanya lahir dari proses kreativitas, dan kreativitas itu hanya bisa tumbuh dan berkembang jika ada media ekspresinya yang hidup dan menggairahkannya,  dan itu adalah bahasa. Bahasa yang baik bagi penyair, adalah tanah air yang memberi kebebasan kepadanya untuk mengembangkan dan mengolahnya menjadi media komunikasi yang mudah, lancar dan bermakna dalam karya-karyanya.

Kondisi yang demikian diperlukan penyair untuk menghasilkan karya-karya kuat. Karya-karya besar hanya lahir dari bahasa yang merdeka, bebas, lentur, tidak terkurung dan terperangkap dalam berbagai aturan, serta tata bahasa yang kaku dan beku. Dalam hal ini, bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa di dunia yang sangat apresiatif. Bukan hanya memiliki kemerdekaan dalam bentuk dan struktur bahasanya, juga memiliki keindahan dalam diksi, intonasi dan rimanya, sehingga menjadi bahasa yang sangat puitis. 

Bahasa yang merdeka, bebas, adalah tanah air bagi penyair yang selalu memberi inspirasi, memiliki gairah yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, terus mengajaknya untuk menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk proses kreativitas dalam menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi, karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. 

Jejak langkah yang kita tinggalkan dalam pengembaraan kita bersama bahasa itu, adalah sejarah literasi yang kelak akan jadi warisan kehidupan para anak cucu Adam, penerus kita. Jejak itu, sekecil apa pun wujudnya akan menjadi bagian dari tradisi kepenyairan kita. Dan hanya tradisilah yang membuat ingatan tentang jati diri seorang penyair akan selalu ada. Tradisi mewariskan puisi-puisi dan kepenyairan yang bersejarah. Maka, para penyair belajarlah dari sejarah dan buatlah sejarah. Sejarah yang besar. Semoga! (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Yamaha Pakai Nama Lorenzo dalam Ucapan Natal dan Tahun Baru

Uang Baru tak Mudah Dipalsukan