Dulu Dihina, Kini Tempat Mengadu
From zero to hero. Agaknya bisa disematkan pada Amrizal, petani karet dan sawit asal Kotobaru, Kabupaten Dharmasraya satu ini. Dulu dia berdarah-darah, kini manisnya dibagi-bagi, tak dilahap sendiri.
Pria berambut cepak tengah menyodok buah sawit setinggi dua meteran. Selang beberapa menit, pria yang mengenakan baju hitam dipadu hawai itu, didatangi dua warga. Dari kejauhan, ternyata dua orang itu mengadu untuk meminjam sejumlah uang.
Ya, begitulah keseharian Amrizal. Meski telah menjadi pengusaha sawit, dia tetap turun ke kebun. Kini, dari jerih payahnya, ada ratusan warga yang mendapatkan rezeki karena bisa bekerja di kebunnya. Apa yang diraih Amrizal tidaklah didapat secara instan. Lewat kerja keras.
Bahkan, semasa muda Amrizal sempat menjadi petinju lantaran tak ada pekerjaan. Sejak kecil Amrizal sudah terbiasa hidup keras dan dididik tahan banting. Satu-satunya laki-laki dan anak sulung dari pasangan Sulan dan Sari Banun di Kotobaru.
Keterbatasan ekonomi keluarganya, tidak membuat Amrizal kecil menyerah untuk melanjutkan pendidikan. Dia tamat sekolah dasar dari upah menyadap karet dan mengangkut kayu dari hutan. Kerasnya hidup membuat dia tumbuh “nakal”. Berkelahi menjadi sarapan sehari hari.
Tak pelak, dia selalu berpindah-pindah sekolah. “Sudah lupa SMP yang pernah Abang bersekolah. Sampai Sijunjung dan Tanahdatar,” ujar Amrizal saat ditemui Padang Ekspres di kediamannya di Jorong Sitiung V, Kenagarian Koto Padang, Kecamatan Kotobaru.
Selepas menyelesaikan sekolah menengah, Amrizal memilih bekerja sebagai security. Dia juga menjadi pengangkut kayu di hutan untuk dibawa ke sawmill.
Kerasnya hidup pulalah yang membawanya merantau ke Padang, menjadi kuli kasar di sebuah gudang rotan di kawasan Airtawar.
Karena sering berkelahi, keluar masuk kandang situmbin menjadi hal biasa baginya. “Polisi saja sudah bosan lihat Abang terus yang berkelahi,” ujar pria berkacamata ini.
Tahun 90-an, Amrizal merantau ke Jakarta. Dia menjadi kuli bangunan dan buruh kasar selama dua tahun. Hidup keras membuatnya tahan banting. Tahun 2000, tepatnya 2 Februari, Amrizal menikahi pujaan hatinya. Usahanya sempat jatuh bangun.
Di Jakarta, pria kelahiran 31 Desember 1971, itu pernah memiliki beberapa petak toko. Namun, akhirnya bangkrut. Semua itu tidak membuatnya patah arang. Dengan tabungan seadanya, dia pulang kampung dan memilih menjadi petani karet dan sawit.
“Gula atau tepung seberat 50 kg enteng diangkut saat jadi kuli di Jakarta Barat. Tapi alhamdulillah, ke mana pun merantau, insya Allah berhasil,” sebut pria sulung dari empat bersaudara ini.
Istrinya Resmanita berkisah, karena miskin, hinaan, cacian, serta cemoohan hal biasa baginya. Cibiran itu dijadikan pemantik semangat baginya untuk berusaha keras.
“Alhamdulillah, ayah tidak lantas jadi sombong. Semakin ada rezeki, semakin dermawan. Dulu kami sering diketawain karena cuma punya motor butut dan lampu minyak tanah. Waktu rezeki ada, ayah yang pasang listrik ke dusun ini,” ujarnya.
Hendri Pratama, satu dari teman Amrizal, menilai sahabatnya itu sang inspirator. “Sudah tak terhitung uangnya sama orang. Suka menolong, tak bisa lihat masyarakat susah,” sebutnya.
Amrizal ingin membangun negeri. Menjadikan Dharmasraya daerah terpandang. Mewujudkan itu, dia menamatkan sarjana hukum di salah satu universitas di Yogyakarta. Dia juga terjun dan masuk pada berbagi wadah.
Kini, dia menjabat sebagai Ketua Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila (PP) Dharmasraya. “Untuk kontrol sosial, Abang juga menjadi ketua LSM Pemantau Kinerja Aparatur (PKA) Dharmasraya,” ujar dia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.