Headlinee Padang Ekspres, Kamis (12/1), berjudul Diduga ISIS, 8 Warga Agam Dideportasi, dan “Gambar ISIS Dikirim Orang Lain” mengupas soal delapan guru dan santri Pondok Pesantren Darul Hadist di Jorong Tampunik, Nagari Kototangah, Kecamatan Tilatangkamang, Kabupaten Agam, dideportasi Malaysia melalui Batam, Selasa (10/1), menimbulkan suasana kurang nyaman dan gundah di kalangan pemimpin, guru, santri, alumni, dan masyarakat pencinta pondok pesantren di Sumbar.
Bukan tidak mungkin berita tersebut sulit dikendalikan efek yang dibawanya, karena memang begitu hukum informasi. Saat dia sudah menyebarluas, tidak dapat lagi dikontrol berikut akibat yang menyertainya.
Sebutan dan atau istilah pesantren bagi masyarakat Sumbar baru dikenal luas sejak pemerintah Orde Baru yang menyeragamkan sebutan lembaga pendidikan Islam.
Nama pesantren bagi institusi pendidikan Islam pada awalnya bentuk penyesuaian nomeklatur Kementerian Agama guna mendapatkan bantuan pembiayaan dan pembangunan. Aslinya, pendidikan agama di Sumbar menggunakan istilah perguruan, seperti Perguruan Thawalib, Madrasah Tarbiyah Islamiyah disingkat MTI, Madrasah Aliyah/Tsanawiyah Negeri, Diniyah Putri dan Pengajian Halakah, kini disebut Pesantren Salafi.
Sejarah pendidikan Islam di Minangkabau jauh sebelum kemerdekaan, ditandai berdirinya MTI Candung bersama MTI lainnya di awal abad 20. Thawalib Padangpanjang dan Thawalib lainnya menyebutkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut didirikan, dibesarkan dan menjadi referensi umat Islam karena dia hidup mencerdaskan umat dan sekaligus menjadi pilar penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peneliti asing dan dalam negeri yang menggali tentang sumbangan pendidikan Islam —dalam hal ini Perguruan MTI, thawalib, diniyah dan madrasah— terhadap pencerdasan bangsa dan keteribatannya dalam memelihara dan mengembang RI dipastikan tidak berbeda, artinya luar biasa banyaknya.
Tidak bisa dipungkuri bahwa sumbangan MTI, Perguruan Thawalib, dan Diniyah Putri selama lebih satu abad, tidak bisa dinilai besarnya dan ia dirasakan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Munculnya lembaga pendidikan dengan nama pesantren akhir-akhir ini, tentunya patut disambut gembira. Namun, juga harus disikapi secara bijaksana. Kasus Pesantren Darul Hadis di Tilatangkamang Agam yang berdiri belum setahun, kini guru dan santrinya sempat berhadapan dengan hukum dan dideportasi, tentu harus dibaca dengan jernih.
Pembacaan publik terhadap dunia pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang murni mendalami ilmu agama Islam, dan dalam konteks Sumbar lebih banyak yang sudah berakar secara kultural, diharapkan lebih cerdas, arif dan tidak menyudutkan.
Sikap tabayyun (mencari kejelasan informasi secara lengkap), proporsional, menempatkan masalahnya secara tepat dan adil, harus lebih dikemukakan. Kearifan lokal mengajarkan jaan karano sikue kabau ba kubang sadonyo kanai luluknyo (karena ada satu ekor kerbau berkubang, semuanya kena lumpurnya).
Ratusan pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan di Sumbar yang memakai nama pesantren untuk kepentingan teknis adminsitratif, lalu kemudian menjadi korban, hanya karena ada satu pesantren yang bermasalah.
Pascalahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan Islam di Sumbar umumnya berada dalam sistem pendidikan Islam yang diurus pemerintah dalam hal ini, Kementerian Agama. Kecuali, akhir-akhir ini memang ada beberapa pondok pesantren yang lahir dengan mengikuti arah perkembangan dari luar tradisi surau dan atau perguruan di Minangkabau.
Adanya tradisi baru pondok pesantren yang mendapat tempat di hati masyarakat, karena pesantren salah satu alternatif tempat mendidik anak-anak guna menjauhkan mereka dari gempuran budaya hedonis yang merusak mental generasi bangsa.
Adanya budaya pesantren bercorak baru yang berbeda dengan budaya asli Minangkabau, tentu tidak perlu dicemaskan. Yang harus menjadi perhatian adalah materi ajar, tradisi, pola pikir dan bentukan kepribadian yang ditanamkan pada santri.
Sejauh pengamatan akademik, belumlah dapat dikatakan bahwa pondok pesantren di Sumbar menjadi biang, sarang atau apapun tuduhan negatif lainnya. Pondok pesantren masih berada dalam situasi sosial yang kondusif, terbuka dengan masyarakat lingkungan dan memiliki hubungan dengan Kementerian Agama sesuai jenjangnya. Kalaupun ada di luar control, semua itu masalah bersama yang perlu dicarikan solusi bersama pula.
Dugaan pesantren memiliki jaringan dengan organisasi terlarang seperti ISIS, aparat tentunya dapat menegakkan hukum secara profesional, adil dan tidak membunuh karakter pesantren lain dalam bentuk generalisasi. Umat memerlukan pesantren, bangsa membutuhkan pesantren. Bahkan, bangsa berutang budi pada pondok pesantren. Ribuan santri telah mengorbankan jiwanya sejak masa pra-kemerdekaan, membela tanah air, begitu juga saat revolusi mempertahankan NKRI.
Merawat Pesantren
Dalam sejarah perkembangan dan tradisi pesantren, lembaga dan institusi pendidikan Islam, keunggulan pesantren adalah menjadi pilar utama pembentukan karakter anak bangsa. Ketakwaan sebagai nilai dasar dalam setiap denyut nadi institusi pendidikan Islam tidak saja dilihat dari pembelajaran, tapi lebih nyata dalam setiap gerak kehidupan.
Pesantren—salafi atau modern—memulai aktivitas pembinaan ketakwaan sejak sebelum Shalat Subuh, Shalat Subuh, pengajian selesai Shalat Subuh, belajar pagi sampai siang, Maghrib berjamaah, mengaji selesai Maghrib, dilanjutkan Shalat Tahajud di malam hari.
Pondok pesantren adalah kawah candra dimuka untuk terjadi pembiasaan. Berupa, membiasakan nilai-nilai positif yang dikembangkan dalam sistem pendidikan surau. Dengan begitu, pendekatan pembiasaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah melakukan kebiasaan baik (good habbit).
Penanaman pendidikan berkarakter melalui pembiasaan cukup kuat dan solid di lembaga pendidikan Islam sejak lalu sampai saat ini. Perbedaan hanya pada fokus dan intensitasnya. Pembiasaan yang berlaku cukup kuat di surau atau pesantren, dimulai dari cium tangan kepada guru, hormat sesama kawan, cinta dan kasih sayang yang kuat pada orangtua, dan perilaku kesantunan lainnya.
Pondok pesantren juga mendidik kematangan emosi. Pendekatan emosional menekankan kepada aspek raso (rasa) peserta didik. Lewat pendekatan emosional ini, peserta didik berperilaku atas dorongan dari dalam (internal motivation). Dalam istilah lain, pendekatan ini relevan dengan pendekatan instrinsik.
Pendekatan emosional yang berorientasi pada aspek instrinsik melahirkan keikhlasan (do more expect less) dalam setiap aktivitas. Kenyataan ini sudah diperlihatkan pendidikan surau, di mana hubungan antara guru-murid, ulama-jamaah berkelindan dan tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan surau dan “doktrin” ulama surau pada umumnya.
Penutup kalam ingin ditegaskan bahwa pondok pesantren di Sumbar adalah kelanjutan dari Perguruan Thawalib, MTI, diniyah, surau dan madrasah. Soal pondok pesantren corak baru karena bersentuhan dengan dunia di luar tradisi pendidikan Islam yang sudah kokoh di Sumbar, adalah keniscayaan sejarah yang hendaknya disikapi bijak.
Adanya pondok pesantren berbeda atau menyimpang dari khittah, tradisi dan visi perguruan, surau, MTI, madrasah tantangan bersama yang harus diluruskan. Masyarakat dan aparat diminta jernih, bijak dan adil memberikan pandangan terhadap pondok pesantren yang mayoritas pemimpin, ulama, guru, santrinya menjadi pilar penyangga NKRI dan kehidupan berbangsa yang maju dan berkeadaban. Semoga pesantren sebagai warisan budaya luhur bangsa tetap kokoh dan kuat dalam menghadapi cobaan ini. Amin. (*)
LOGIN untuk mengomentari.