Marhaban Ya Ramadhan. Kehadiran bulan Ramadhan bagi umat Islam adalah waktu terbaik menata kehidupan individu, sosial, umat dan bangsa. Satu bulan lamanya umat Islam dengan keikhlasan tinggi diimbau untuk meningkatkan jumlah dan mutu ibadah kepada Allah subahanahuwata’ala dalam makna vertikal dan horizontal, (hablum minal Allah dan hablum minan nas).
Setiap detik, menit dan hari Ramadhan tidak boleh ada perbuatan yang menciderai kesucian Ramadhan, menyediakan iklim kondusif untuk hadirnya kebaikan dan kemaslahatan adalah wujud nyata kecintaan pada Ramadhan yang suci, mensucikan dan memuliakan.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia di era demokrasi kini, sulit mengatakan mulus dan baik. Krisis kepercayaan (trust) antara pemimpin dengan yang dipimpin, saling curiga dan menyalahkan, hujat menghujat, dan tindakan tidak terpuji yang begitu mewabah adalah ancaman serius berpotensi besar merusak tatanan sosial umat dan bangsa.
Rahmat era digital yang faktanya menghubungkan warga bangsa, kini tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial, justru banyak yang renggang, retak dan runyam.
Bentuk retak dan runyamnya hubungan sosial dalam ilmu pengetahuan sosial dapat direferensi bahwa ada dua gerakkan dan tarik menarik yang dikenal dengan istilah kohesi dan adesi. Kohesi tarik menarik dalam satu jenis (internal). Adesi tarik menarik yang beda jenis (eksternal). Kohesi sosial berupa tarik menarik satu kepentingan dalam memperebutkan posisi, prestasi dan reputasi.
Kohesi sosial bangsa Indonesia di tahun 2017 ini mengalami kerapuhan dan keretakan yang harus dibaca dengan jernih dan hati-hati. Unjuk rasa damai dengan ikon cantik, 212, 412, terakhir 505 yang dipicu oleh penodaan agama yang dilakukan oleh gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (BTP). Kini BTP dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan Wakil Gubernur menjadi Plt Gubernur sejak tanggal 10 Mei 2017 lalu, adalah kondisi sosial yang melibatkan emosi sosial dalam tensi dan dinamika tinggi.
Bom retak dan rapuh sosial yang dipicu ekses perilaku tidak terpuji pejabat negara, megakorupsi, korupsi sistemik, pungli terencana, pemikiran radikalisme bukanlah fenomena sosial yang berdiri sendiri, dia berkaitan dengan geopolitik, liberalisasi politik, otonomi daerah dan banyak variabel lainnya.
Kondisi ekonomi yang belum baik, kepastian hukum diragukan, pola pikir jangka pendek adalah sumbu peledak keresahan begitu juga keretakan dan kerunyaman sosial. Analisis kerapuhan dan keretakan kohesi sosial bila dicermati dengan seksama, berasal dari tiga masalah utama.
Pertama, menipisnya penghargaan pada nilai. Nilai agama yang sangat sensitive pun diseruduk, dipolitisasi dan dikapitalisasi untuk tujuan sesaat. Agama sebagai ideologi, identitas dan harga diri di-uyah-uyah oleh mereka yang seharusnya menjamin nilai itu. Pendekatan agama dan budaya sering dikesampingkan dalam menyelesaikan gesekan, retak dan konflik sosial.
Kedua, ketidakmatangan teori, metode dan pendekatan dalam menetapkan kebijakan. Konklusi atau pemikiran utuh “pembisik” pada penentu kebijakan sering didasari asumsi keliru, dan input bias. Pendapat bahwa berpikir transaksional dapat mengatasi masalah ternyata berbeda 180 derajat, bahwa uang dan kekuasaan tidak dapat mendelegetimasi agama, nilai dan moral luhur. Menjadikan “pembisik” pakar berhati jernih dan berwawasan luas adalah solusinya.
Ketiga, faktor kuasa. Pemegang kuasa yang pragmatis, hedonis dan materialistik adalah virus yang membusukkan sosial antar-warga. Sulit dan jarang sekali pemimpin yang berkarakter negarawan, yang banyak itu pejabat daulat tuan bukan daulat rakyat.
Agenda pokok pemimpin, pendidik, tokoh umat untuk merekat retak sosial adalah memberikan apresiasi pada simbol dan seremonial agama, budaya dan kearifan lokal. Artinya, mengunakan pendekatan budaya dalam merekat kohesi sosial. Pelurusan berpikir yang komperhensif, akademik dan pencerahan melalui gerakan pendidikan utuh dan diikuti oleh budaya taat asas dan law enforcement adalah kerja kolektif yang hendaknya mendapat prioritas semua elemen. Rambu-rambu hukum harus dapat dijadikan pengikat dan pengontrol semua kepentingan.
Ramadhan Ukhuwah dan Ishlah
Satu di antara pesan penting Ramadhan adalah menegaskan persaudaraan (ukhuwah) dan terus menerus memperbaiki kualitas ukhuwah itu (ishlah). “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 10). Hubungan ukhuwah akan dengan mudah tercemar ketika upaya ishlah diabaikan, dengan merusak tatanan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”(QS. Al-A’raf 7: Ayat 56).
Dua ayat di atas dan beberapa ayat lagi menyatakan perlawanan antara kebaikan dan keburukan adalah watak orang tidak baik, tentunya harus dijauhi dan dikikis habis dalam diri umat beriman, Ramadhan kesempatan untuk mengendalikan dan mengikis habis perilaku bertengkar, saling hujat dan menimbulkan konflik. Mereka yang sedang berpuasa, harus mampu menjadi muslih dan saleh. Ishlah (bahasa arab) artinya baik dan terus berusaha untuk memperbaiki. Kendala dan tantangan yang dihadapi oleh orang baik dan orang yang ingin memperbaiki adalah mereka yang terjangkit hama fasad.
Fasad (bahasa arab) artinya rusak dan berusaha untuk merusak. Merusak sesuatu yang sudah baik atau sudah diperbaiki. Fasad itu mereka yang memiliki sikap mental menyimpang. Mereka yang suka pada merusak tatanan setelah ditata dengan baik.
Mentalitas fasad adalah mereka selalu tidak senang bila ada kebaikan. Keamanan akan dikacaukan oleh mereka yang mentalitasnya disusupi virus fasad. Fasad itu juga bagian dari rusaknya ion-ion positif dalam diri, sehingga mengedepan itu pikiran negatif dan prasangka. Pemikiran fasad sama ganasnya dengan dengki yang membakar jagad kebaikan laksana api membakar daun kering.
Fasad yaitu rusak dan kerusakan. Kerusakan, merusak dan perusakan adalah sifat dan sikap dilarang Allah. Tatanan dunia, alam fisik dan non fisik, yang sudah ishlah atau baik mestinya harus dijaga dan dikembangkan lebih baik lagi. Perusakan lingkungan hidup alami sama buruknya dengan perusakan sistim sosial. Ekosistem bukan hanya dalam artian alam fisik saja, tetapi di dalamnya juga ada perusakkan sistem sosial, politik dan tatanan yang sudah baik.
Hama, virus dan bakteri fasad mudah sekali menghancurkan ishlah. Lebih berbahaya dan ganas sekali dampaknya, saat ada yang mengambil keuntungan dari perusakan ishlah. Ada dan kuatnya kecenderungan fasad oleh mereka yang merasa paling benar, menutup pintu dialog, memaksakan kehendak sepihak adalah indikasi melemahnya nilai iman dan ukhuwah.
Kata ukhuwah yang disandingkan dengan mukminun menegaskan artinya bahwa sesungguhnya orang beriman itu bersaudara adalah untuk memastikan bahwa tidak boleh ada perselisihan yang diabadikan, diwariskan dan lebih sangat dilarang sengaja diciptakan.
Sungguh naif, sedih dan prihatin sekali bila umat yang mengaku beriman mengabaikan perintah nyata Al Quran untuk menginisiasi ishlah untuk ukhuwah, lalu dengan alasan remeh temeh atau motif tidak jelas, mereka rusak ishlah itu. Egoisme sektoral dan tujuan tertentu yang mengalahkan nilai dasar akidah dan moralitas Islam, ishlah dan ukhuwah, harus disadarkan dan diingatkan bahwa melawan, anti dan menolak ishlah adalah menciderai dan menafikan ajaran Al Quran.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa merekat keretakan dan kerunyaman sosial adalah kerja besar yang hanya dapat terlaksana dengan komitmen tinggi pada nilai, kecerdasan dan kearifan. Kesempatan bulan Ramadhan hendaknya dapat dimaksimalkan semua elemen bangsa untuk merekat retak sosial yang disebabkan menipisnya ukhuwah. Teruskan perjuangan untuk membangun bangsa berketuhanan yang adil dan beradab, maju, sejahtera, mulia dan bermartabat. (*)
LOGIN untuk mengomentari.