Oleh Al Chaidar*)
Tulisan ini merupakan hasil awal penelitian tentang gerakan politik Islam radikal di Indonesia yang sedang mengalami kerumitan, semacam situasi disorientasi, dislokasi dan diposisi yang kemungkinan akan mengalami titik-balik (turning point) lahirnya pemimpin baru yang berbeda atau lebih baik pasca Ustadz Abdusshomad atau yang lebih dikenal dengan nama Ustadz Abubakar Baasyir (ABB). ABB adalah pemimpin kharismatik terakhir dari kalangan jihadis Indonesia yang mengalami gonjang-ganjing perpecahan dalam kurun sejarah pergolakan yang panjang. Perpecahan terakhir yang terjadi setelah pernyataan baiat-nya ke Daulah Khilafah Islamiyyah Irak dan Syam pimpinan Abubakar Al-Baghdadi adalah panggung terakhir (the last frontier) bagi figur yang sangat dikagumi kalangan pergerakan radikal Indonesia dan sangat disegani oleh para jihadis di berbagai belahan dunia. Pernyataan baiat ABB ini menyebabkan munculnya perpecahan (firqah) penghujung dari serangkaian perpecahan yang terjadi dalam sejarah panjang pergerakan jihad di Indonesia.
Sejarah pergerakan jihad di Indonesia hampir sama dengan sejarah munculnya kesadaran nasionalisme Indonesia di akhir abad ke-19. Sejarah pada masa awalnya ini adalah sejarah modern kontinuitas (continuity) atau estafeta kepemimpinan jihad di Nusantara. Dimulai dari Hadji Samanhoedi di Surakarta dengan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905, dilanjutkan dengan Hadji Mas Tirtoadisoerjo, kemudian dibentuk kesadaran yang lebih politis oleh Hadji Oemar Said atau yang lebih dikenal dengan nama HOS Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam-nya (SI), berlanjut dengan dibentuknya Partij Sjarikat Islam Indonesia (PSII) dan kemudian Masjoemi (Madjlis Sjoera Muslimin Indonesia). Kontinuitas gerakan modern jihad ini mencapai puncak kesempurnaannya ketika Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949. Sejarah panjang pergerakan Islam pasca SM Kartosoewirjo selanjutnya adalah sejarah perpecahan panjang dan rumit.
Pasca tahun 1962, perkembangan gerakan jihad mengalami titik involusi yang rumit dan melelahkan dari semenjak Abdul Fatah Wirananggapati, secara asinkronik ke Tahmid Rahmad Kartoesoewirjo, kemudian Adjengan Masduki, berliku ke Haji Ismail Pranoto (Hispran), ke Ustadz Abdul Halim atau Abdullah Sungkar hingga kemudian jatuh ke tangan ABB. Pasca 1962, sejarah gerakan jihad ini tidak dapat disebut dengan sejarah kontinuitas, juga tidak dapat disebut diskontinuitas karena masih terus berlangsung dalam proses yang tidak menentu. Sejarah pasca 1962 ini adalah sejarah perubahan (history of change) atau sejarah perpecahan (history of split) gerakan jihad Indonesia yang tidak bisa direkatkan lagi dalam bentuk integrasi. Saya memprediksikan, titik-balik yang akan terjadi setelah ini adalah titik integrasi yang akan berdampak pada seluruh komunitas polity Indonesia. Atau akan munculnya apa yang disebut oleh Clifford Geertz (1972) sebagai revolusi integrasi.
Karl Jackson (1976) menggambarkan bahwa gerakan politik Islam sangat ditentukan oleh pemimpin kharismatik. Faktor figur kepemimpinan yang spiritual, kadang mistik dan bahkan magis menjadi alasan utama bersatunya ummat (Islamic polity) Indonesia di bawah asuhan para ustadz penggerak kesadaran politik yang bahkan menyeruak hingga ke alam modern. SM Kartosoewirjo dalam konteks ini adalah figur kharismatik yang mampu menjadi negarawan. Negara sebagai entitas politik modern diasuh dalam manajemen ilmiah di bawah Imam Kartosoewirjo hingga NII menjadi tonggak penting sejarah politik Islam di Indonesia yang mengubah gaya tradisional ke gaya modern. Adalah Abdullah Sungkar yang kemudian melanjutkan gaya modern ini ke dalam bentuk korporasi jihad yang ultra-modern dengan mengadopsi plot dari Al Qaeda di bawah Osamah bin Laden. Plot rencana Al Qaeda 2020 adalah blueprint korporasi politik radikal Islam yang ikut mempengaruhi Jamaah Islamiyyah (JI) Indonesia hingga bersublimasi ke gerakan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Kepemimpinan kharismatik ABB dibangun mulai dari kasus makar yang dituduhkan Orde Baru terhadap Abdullah Sungkar dan ABB di Jawa Tengah. Para gembong pelanjut Hispran melihat cahaya spiritual bersinar dari sikap konsisten dan konsekuennya dalam mempertahankan kebenaran di tengah otoriterisme Orde baru yang terkenal kejam dan bengis. Kemampuan ABB dalam referensi Islam dan manajemen pergerakan yang berhasil mengirimkan para pengikutnya ke Moro dan Afghanistan telah membuat ABB dianggap sebagai titisan atman ilahi. Kharisma tidak bisa bertahan terlalu lama dalam iklim politik yang terus berubah.
Perpecahan awal pada tahun 1992, ketika lahirnya Jamaah Islamiyyah setelah terbelahnya para jihadis Indonesia yang berjihad dan berhasil ikut serta bersama Thaliban dalam proses futuh (kemenangan) Afghan tahun 1989. Abdullah Sungkar dan ABB memisahkan diri dari Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) dan restart dari entitas awal, Jamaah Islamiyyah (JI). Sebagamana yang diakui oleh Nasir Abbas, keberangkatannya ke Afghanistan adalah representasi dari NII dan, oleh karenanya, futuh Afghan adalah partisipasi politik kaum jihadis Darul Islam di pentas global. JI kemudian berjalan sendiri karena marasa NII telah dibajak secara ashobiyyah oleh puak tradisional di Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, JI menjadi mitra politik tunggal Al Qaeda di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Terpaan terorisme telah menjadikan JI sebagai organisasi tertutup dan terpaksa menyelam di kedalaman samudra harakah jihad yang tersembunyi. Tertangkapnya beberapa mujahidin dan juga para syahid menjadikan JI mati suri. Pengakuan ABB yang menolak kesaksian Faiz Bafana di persidangan Bom Bali menjadi titik didih perpecahan korporasi jihad JI yang sudah dibangun lama di negeri pengasingan, Malaysia. Korporasi jihad ini kemudian dikayuh oleh Dr Azhari dan Noordin M Top dengan biduk yang berbeda dan bertahan hingga kini dalam situasi yang nanar.
Perpecahan Kedua, semenjak berdirinya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tahun 2000. MMI adalah organisasi yang mencoba memberikan napas bagi JI yang sudah mati suri di awal millenium ini. ABB terangkat ke permukaan dan muncul secara sangat notorious di dalam sorotan mata dunia. Selama satu dekade berada di atas biduk baru yang penuh semilir angin dakwah yang penuh keterbukaan dan reformasi, ABB tetap konsisten hingga pada suatu waktu ia tidak menyukai sistem politik internal MMI yang dianggapnya mengadopsi sistem Yahudi. Perpecahan pun membasahi pipi para mujahidin yang terpuruk dalam sikap tawadhu dan hanya berani bertahan dalam perlawanannya terhadap sosok kharismatik ABB.
Perpecahan ketiga, ketika berdirinya Jamaah Ansharut Tauhid tahun 2010. Perpecahan ini membuat komunitas jihad Indonesia hanya tertinggal beberapa gerbong saja. Dengan gerbong yang sedikit, laju JAT semakin dekat ke tujuan sementara: persinggahan di penjara. JAT semakin terjerumus ke lembah radikalisme dan intoleransi yang semakin menjauhkannya dari publik Islam yang sudah mulai begah dengan gaya keras dan mulai mengambil posisi sebagai konstituen partai politik dan sesekali menghirup segarnya udara demokrasi. Situasi yang dialami JAT dari tahun 2010 hingga 2014 ini adalah situasi jihad dealock yang memperlihatkan disorientasi, dislokasi dan disposisi yang sangat parah bersamaan dengan mendekamnya ABB di penjara Nusa Kambangan. Penjara tidak selamanya merupakan tempat yang bisa memberikan pengaruh simpati pendukung, justru terkadang malah bisa menyebabkan munculnya friksi dan faksionalisme. Apalagi ditemani oleh Aman Abdurrahman yang banyak menyumbangkan ide-ide over-radikal paham Wahabi yang kemudian menyebabkan keruntuhan kharisma ABB hingga ke titik nadir.
Perpecahan keempat, ketika munculnya isu ISIS (Islamic State of Iraq and Syam) dan pernyataan sumpah setia ABB kepada figur Abubakar Al-Baghdadi yang mengakibatkan pecahnya JAT dan lahirnya JAS (Jamaah Ansharus Syariah) di bawah pimpinan Ustadz Achwan dan Abu Tholut (Imron Rosyidi). ABB sudah ditinggalkan oleh para pembela setianya, bahkan anaknya pun terpaksa terlontar keluar dan membentuk ikatan baru dari serpihan-serpihan yang terbuang. Perpecahan ini adalah perpecahan terakhir sebuah organisasi jihad di Nusantara yang tidak akan mungkin bisa terpecah lagi setelahnya. Ibarat gelas yang jatuh berkeping-keping, maka perpecahan ini adalah keping terkecil yang jikapun dilempar lagi tidak mampu untuk berpecah lagi (least ability to split). Saya memprediksikan, setelah perpecahan ini akan mengalami suatu titik balik dimana revolusi integrasi adalah sesuatu yang sangat historical inevitability. Keniscayaan sejarah ini tentu membutuhkan analisis lebih komprehensif tentang ausnya perpecahan gerakan jihad di Nusantara hingga futuh Indonesia terjadi dan tibanya ajal Pancasila.
Kondisi keruntuhan kepemimpinan kharismatik jihad Indonesia ABB akan merupakan situasi vacuum of leadership yang akan membuka peluang bagi tokoh-tokoh muda yang sudah lama merajut impian integrasi umat Islam secara politik. Tokoh-tokoh muda radikal Islam di negeri ini tersisa hanya sedikit. Tokoh dengan kemampuan agamis dan manajemen pergerakan modern yang mungkin akan muncul adalah Ustadz Irfan S. Awwas dan Imron Rosyadi (Abu Tholut). Tokoh muda lainnya dianggap tidak memiliki kapasitas keislaman yang memadai meski dengan visi politik yang berlebih. Tokoh mudah radikal Islam Indonesia yang lain umumnya lebih bergelimang dengan asupan demokrasi dan mengepul dalam asap kapitalisme dan liberalisme.
*)Penulis adalah pengajar di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Pengamat terorisme.
Sumber foto internet. Sudah tidak terlacak pemiliknya.